Dalam beberapa waktu belakangan ini, Kota Kupang mengalami intervensi pembukaan ruang publik di beberapa tempat. Taman Nostalgia (Tamnos) yang selama ini dikenal oleh masyarakat Kupang sebagai tempat yang gelap dan sepi, telah dirubah dan ditata ulang melalui program Sunday Market Buat Orang Kupang (SABOAK). Program ini menghadirkan banyak UMKM lokal, events, serta pemasangan lampu taman yang tidak hanya membuat taman tersebut menjadi terang, tetapi juga mengundang masyarakat Kota Kupang untuk meramaikannya. Sekitar 2 km ke arah barat Tamnos, ruang publik yang serupa juga tercipta melalui pergelaran “Pameran Pembangunan NTT BaGaYa 2025” yang selain menghadirkan UMKM lokal dan events, juga memamerkan stand-stand dari berbagai Organisasi Perangkat Daerah (OPD) serta instansi-instansi lainnya.
Kedua ruang publik ini bertindak sebagai arena akumulasi kapital, yaitu tempat di mana ekonomi berputar, praktek jual-beli terjadi, dan para pelaku usaha mampu meningkatkan pendapatan mereka. Dalam konteks ini, ruang publik diatur dan ditata sedemikian rupa sehingga memberikan semacam kapasitas-kapasitas tertentu bagi ruang tersebut agar dapat mengakumulasikan kapital. Hal ini terlihat pada Tamnos dan Pameran Pembangunan, di mana pada kedua ruang tersebut dibangun stand-stand UMKM, panggung, lampu taman serta hiasan- hiasan lainnya. Elemen-elemen ruang inilah yang memberikan kapasitas akumulasi kapital bagi Tamnos dan Pameran Pembangunan. Elemen-elemen ruang tersebut mampu menciptakan relasi sosial baru, seperti praktik jual-beli, rekreasi, pameran barang dan jasa, kuliner, konser, edukasi dan lain sebagainya. Relasi sosial ini kemudian memproduksi ruang Tamnos dan ruang Pameran Pembangunan sebagai arena akumulasi kapital.
Akan tetapi, sesungguhnya relasi sosial yang terbentuk di dalam kedua ruang tersebut tidak hanya memiliki manfaat ekonomi semata. Kedua ruang yang telah diproduksi oleh relasi-relasi sosial baru tersebut sebenarnya mampu menjadi arena inklusivitas sosial, di samping arena akumulasi kapital. Inklusivitas sosial berbicara mengenai sebuah proses di mana semua orang, tanpa memandang latar belakang atau kondisinya, memiliki kesempatan yang setara untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Dalam konteks ruang publik, inklusivitas sosial berbicara tentang akses ruang yang setara bagi semua orang, rasa kenyamanan dan keamanan yang sama di dalam ruang tersebut, serta kesempatan yang merata bagi semuanya untuk dapat memanfaatkan ruang tersebut demi kepentingannya. Jika kita menghubungkannya lebih jauh dengan konsep demokrasi, maka inklusivitas sosial di ruang publik berbicara tentang apakah kelompok rentan dan marginal dapat berbicara dan mempengaruhi tata ruang, elemen ruang, serta aturan di ruang publik tersebut.
Penulis ingin mencoba melihat inklusivitas sosial dalam dua ruang publik di Kota Kupang (Tamnos dan Pameran Pembangunan) dengan meminjam konsep meaningful contact (kontak bermakna). Meaningful contact secara sederhana adalah kontak atau interaksi antar orang yang terjadi dalam suatu ruang dan waktu tertentu yang memungkinkan adanya “aktivitas bersama” (doing together) sehingga orang-orang yang terlibat dalam interaksi ini dapat mempelajari satu sama lain dan menghilangkan perbedaan di antara mereka melalui dialog mendalam yang menghapus persepsi/stereotipe antar sesama. Meaningful contact mampu mengubah cara pandang, menurunkan prasangka dan membentuk relasi baru antar orang.
Meaningful contact tidak dapat terjadi pada spaces of transit, seperti bemo, trotoar, warung, pasar dan lain sebagainya, di mana interaksi antar orang terjadi secara singkat dan mereka hanya saling berpapasan serta tidak ada “aktivitas bersama” yang memungkinkan mereka untuk saling mengenal perbedaan mereka. Sebaliknya, meaningful contact hanya dapat terjadi pada spaces of interdependence, yakni ruang yang sengaja direkayasa agar orang-orang di dalamnya saling bergantung satu sama lain melalui aktivitas bersama. Selain itu, aspek “waktu” juga perlu diperhatikan agar tercapainya meaningful contact. Ini artinya, spaces of interdependence yang dimaksud tadi, haruslah dilakukan secara terus-menerus (baik tiap minggu atau tiap hari), dalam tempo dan ritme yang berulang. Sehingga interaksi menjadi bermakna ketika orang melakukan sesuatu bersama dalam durasi yang cukup, bukan hanya saling melihat lalu berlalu.
Jika kita kontekstualisasikan konsep ini pada fenomena SABOAK Tamnos dan Pameran Pembangunan, kita dapat menarik analisa kritis yang dapat menjadi masukan bagi kedua ruang publik tersebut untuk menjadi arena inklusivitas sosial. SABOAK Tamnos dan Pameran Pembangunan sebenarnya telah memiliki kapasitas awal untuk menjadi arena inklusivitas sosial. Ritme berulang (mingguan dan harian), adanya berbagai aktor (UMKM, tokoh publik, dan OPD) dan aktivitas ekonomi, menjadi prasyarat terbentuknya meaningful contact. Tapi, di sinilah kritisnya, meaningful contact justru tidak otomatis terjadi. SABOAK Tamnos dan Pameran Pembangunan harus mendorong adanya aktivitas bersama (doing together), bukan hanya tontonan yang menghadirkan keramaian. Keramaian itu sendiri tidak sama dengan inklusivitas, bahkan keramaian justru dapat menjadi penghalang bagi beberapa kelompok rentan untuk berinteraksi dengan sesama.
Aktivitas bersama juga perlu melibatkan semua orang dan tidak terbatas pada sebagian kelompok masyarakat tertentu. Misalnya, jika kontrol dan akses kepada aktivitas ekonomi SABOAK Tamnos dan Pameran Pembangunan hanya dimiliki oleh aktor bermodal tinggi serta informasi hanya dapat dijangkau oleh mereka yang memiliki alat teknologi, maka hal ini dapat meminggirkan anggota-anggota masyarakat lain untuk dapat berpatisipasi dalam ruang publik tersebut. Situasi ini dapat menghasilkan apa yang bisa disebut inklusivitas simbolik (kehadiran terlihat) tanpa inklusivitas substantif (perolehan manfaat yang merata). Contohnya saja website pendaftaran UMKM SABOAK, apakah website ini dapat diakses juga oleh pelaku-pelaku usaha yang tidak memiliki alat teknologi?
Lebih lanjut, jika kegiatan direduksi menjadi pertunjukan tunggal yang menempatkan pedagang hanya sebagai objek pamer, maka kontak yang terjadi lebih bersifat transitif dan risiko reproduksi ketimpangan meningkat. Beban penyesuaian kadang jatuh pada kelompok lemah, di mana mereka harus meniru norma dominan untuk “fit in”, yang menimbulkan ketidaksimetrisan antar anggota masyarakat dalam ruang publik, sehingga yang terjadi ialah eksklusivitas sosial. Tata ruang dan fasilitas di kedua tempat tersebut juga haruslah mempengaruhi “lama dan kualitas” interaksi. Kursi yang cukup, area teduh, ruang menyusui, akses untuk lansia dan difabel, serta papan informasi membuat orang bisa tinggal lama tanpa lelah.
Namun, akses juga tidak hanya berbicara tentang akses fisik, tetapi juga akses institusional. Hal ini dapat terlihat dalam Pameran Pembangunan yang menghadirkan aktor resmi (pemerintah, kampus dan swasta) yang punya akses kepada sumber daya dan jaringan. Ini kesempatan emas untuk membuat meaningful contact lintas tingkat. Bukan hanya orang bertemu sesama warga, tetapi bertemu pihak yang bisa membuka kesempatan yang lebih luas. Namun pameran memiliki risiko: kalau seluruh susunan acara jadi panggung tontonan, maka pertemuan bersifat satu arah, di mana penonton hanya melihat-lihat gambar di pameran. Agar berbeda, pameran perlu menyediakan “zona dialog” dan “zona praktik”. Kedua zona ini mampu menciptakan meaningful contact yang dimaksud, sehingga dalam konteks ini, inklusivitas sosial tidak hanya berbicara mengenai hubungan setara antar anggota masyarakat, tetapi juga hubungan setara antara masyarakat dan pemerintah.
Kesimpulannya, Taman Nostalgia (SABOAK) dan Pameran Pembangunan NTT memiliki potensi nyata untuk menjadi arena inklusivitas sosial – bukan sekadar panggung akumulasi modal – jika pertemuan di sana dirancang agar menjadi meaningful contact. Kegiatan bersama yang berulang, tata ruang dan fasilitas yang ramah bagi semua tubuh, kurasi yang partisipatoris, serta mekanisme yang menghubungkan pertemuan dengan kesempatan nyata adalah bentuk-bentuk dari interaksi bermakna. Tanpa langkah-langkah itu ruang akan mudah berubah menjadi tontonan belaka, tetapi dengan desain sederhana dan niat politik yang jelas, kedua ruang publik ini bisa menjadi tempat warga belajar, bekerjasama, dan memperoleh manfaat konkret, sehingga membuka jalan bagi kota yang lebih saling mengenal dan memberi kesempatan bagi semua.
Kontributor: Salomo Zakharia Tungga
Mahasiswa S2 Departemen Politik & Pemerintahan UGM