Kolaborasi Solidaritas Perempuan dan Yayasan PIKUL dalam Hari Tani Nasional 2025
Reforma Agraria di Indonesia kerap dipahami sebagai program legalisasi aset dan redistribusi tanah yang digagas negara. Di atas kertas, program ini tampak menjanjikan dengan klaim jutaan sertifikat yang telah dibagikan. Namun, realitas di lapangan berbicara lain: konflik agraria terus meningkat, kesenjangan kepemilikan lahan kian melebar, dan mayoritas rumah tangga tani tetap tidak memiliki tanah.
Di tengah situasi itu, muncul sebuah gerakan yang mendefinisikan ulang makna reforma agraria: yaitu Reforma Agraria dari Bawah. Gerakan ini lahir dari inisiatif rakyat sendiri, dipimpin oleh masyarakat, terutama oleh perempuan. Gerakan ini bukan hanya menuntut sertifikat, tetapi berjuang merebut kembali kontrol atas tanah, air, benih, dan ruang hidup.
Di berbagai penjuru nusantara, dari lahan subur di Palembang hingga pesisir NTT, sebuah perlawanan gigih tengah berlangsung. Tanpa seragam dan persenjataan, kelompok-kelompok perempuan bangkit menghadapi dua musuh besar: korporasi yang merampas tanah dan krisis iklim yang menghancurkan sumber penghidupan. Mereka tidak hanya bertahan, tetapi secara aktif merebut kembali hak, melestarikan alam, dan membangun kekuatan kolektif dari bawah.
Okupasi Lahan dan Perlawanan dari Dapur Perjuangan
Cerita di Desa Seri Bandung, Palembang, adalah cermin dari konflik agraria yang meluas. Sejak PTPN VII Cinta Manis mengokupasi lahan-lahan produktif masyarakat untuk perkebunan tebu pada tahun 1982, petani dipaksa menjadi buruh di tanah mereka sendiri. Kehadiran perusahaan ini melahirkan konflik berkepanjangan yang memicu trauma, termasuk insiden pada 2012 yang menewaskan seorang anak berusia 12 tahun dan menyebabkan 13 warga ditahan.
Dalam situasi inilah, Kelompok Perempuan Pejuang Seri Bandung (KPPS) lahir sebagai alat perjuangan. Mereka memulai perlawanan ekonomi dengan memproduksi keripik singkong “Emping Ubi Emak”. Ini bukan sekadar usaha rumahan; 50% dari keuntungan penjualan secara tegas dialokasikan sebagai dana perjuangan, membiayai upaya mereka untuk merebut kembali hak atas tanah.
Pola serupa terjadi di Kalimantan Tengah, di mana kehidupan masyarakat Dayak tercerabut akibat ekspansi perusahaan sawit dan tambang. Hutan yang menjadi lumbung pangan dan sungai yang menjadi sumber protein kini hilang atau tercemar. Sebagai respons, perempuan di Desa Mantangai Hulu dan Kalumpang membentuk kelompok Feminis Ekonomi Solidaritas (FES). Mereka mendirikannya sebagai “ruang belajar, ruang aman, dan ruang perlawanan”. Melalui kebun kolektif, mereka menanam kembali padi lokal yang tersingkir oleh benih hibrida dan menghidupkan anyaman rotan dengan motif leluhur sebagai simbol perlawanan budaya.
Di pesisir Kota Kupang, ancaman datang dari laut. Siklon Tropis Seroja pada April 2021 tidak hanya menghancurkan rumah dan perahu, tetapi juga menjerumuskan nelayan ke dalam krisis finansial. Tanpa modal untuk memperbaiki aset produktif mereka, banyak yang terpaksa berhutang kepada rentenir atau beralih profesi.
Perempuan nelayan di Pasir Panjang mencoba bangkit dengan menanam kembali rumput laut, namun upaya itu gagal total. Mereka menduga kuat penyebabnya adalah pencemaran laut akibat limbah domestik yang merusak kualitas air. Terinspirasi dari gundukan batu alami pasca-badai yang berfungsi sebagai pemecah gelombang, mereka mengusulkan solusi konkret kepada pemerintah yaitu membangun pemecah gelombang permanen.
Namun, harapan itu pupus. Pemerintah menolak usulan tersebut dengan alasan akses alat berat yang sulit dan biaya yang besar. Penolakan ini adalah puncak dari pengabaian sistematis yang mereka rasakan. Mereka tidak pernah diundang secara layak dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang), dan suara mereka terus dikesampingkan dalam pengambilan keputusan. Perjuangan mereka menegaskan pertanyaan mendasar kepada pemerintah yaitu pembangunan ini untuk siapa?.
Dari Lumbung Laut Hingga Advokasi Kebijakan: Merebut Kembali Kendali
Di tengah keterbatasan, para perempuan ini membuktikan bahwa mereka bukan sekadar korban, melainkan inisiator solusi. Di Flores Timur, Mama Vero (Veronika Lamahoda) menyaksikan bagaimana ekosistem laut hancur akibat penangkapan ikan dengan bom yang terjadi hingga 60 kali sehari. Terinspirasi dari kearifan lokal lumbung pangan (Kebang), ia merancang konsep “Kebang Lewa Lolon” atau “lumbung di atas laut”, sebuah sistem zonasi konservasi berbasis komunitas yang menempatkan perempuan sebagai pengambil keputusan utama. Hasilnya, populasi ikan meningkat dan pendapatan nelayan naik drastis hingga mencapai Rp250.000 per hari.
Sementara itu, di Sabu Raijua, Ina Ke’bba (Magdalena Leba Piga) berpegang teguh pada Kalender Tanam Tradisional Jingitiu untuk menghadapi kemarau panjang dan gagal panen. Ia menginisiasi “pagar gizi” untuk lansia dan memimpin penyelamatan benih lokal, menunjukkan bahwa kearifan adat adalah strategi bertahan hidup yang paling ampuh.
Perlawanan ini juga dibawa ke ranah kebijakan. Di Kupang, nelayan yang frustasi membentuk Majelis Nelayan Bersatu pada 12 Mei 2022. Mereka merumuskan tiga tuntutan politik yang jelas: pembangunan pemecah gelombang, asuransi aset nelayan, dan akses pinjaman tanpa agunan. Setelah perjuangan advokasi yang panjang, mereka berhasil mendapatkan pengakuan resmi melalui SK Kepala Dinas Perikanan, yang menjadi landasan hukum untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Kini, mereka terlibat langsung dalam Musrenbang Inklusif, memastikan suara dari pesisir tidak lagi diabaikan.
Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa di jantung setiap perjuangan melawan perampasan sumber daya dan ketidakadilan iklim, perempuan selalu berada di garis depan. Gerakan kolektif mereka adalah bentuk nyata dari Reforma Agraria dari bawah, sebuah perjuangan untuk menegaskan kembali amanat konstitusi bahwa bumi, air, dan kekayaan alam harus dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Reforma Agraria Adil Gender: Problem Livelihood yang Tak Dicatat dalam Hari Tani Nasional
Pada setiap peringatan Hari Tani Nasional (kecuali semasa Orde Baru) masalah pokok yang disuarakan petani adalah tentang akses terhadap sumber-sumber agraria, khususnya yang paling menonjol adalah tentang persoalan tanah dan bias pesisir. Namun sesungguhnya di balik persoalan agraria itu terdapat bentangan masalah yang berkaitan dengan strategi perempuan yang mengelola rumah tangga mereka untuk membuat kehidupan dan penghidupan petani atau nelayan itu tetap berlangsung (livelihood).
Ketika kita membincang livelihood maka kita harus melampaui pemikiran bahwa perempuan diperhadapkan dengan pilihan bekerja di ranah domestik atau publik. Vogel, salah seorang feminis yang merekonstruksi kesatuan teori produksi dan reproduksi. Ia mencoba untuk membuat teori yang tidak beroposisi biner antara publik versus domestik. Dia memperkenalkannya sebagai reproduksi sosial di mana kerja-kerja perawatan yang dilakukan oleh perempuan juga sama pentingnya dalam menyokong kerja-kerja laki-laki dan keluarganya di dunia yang kapitalis ini.
Inisiatif yang banyak dilakukan oleh perempuan seperti menganyam, menenun, berkebun, menjual hasil tangkap, mengolah ikan skala rumah tangga, yang telah diuraikan di bagian atas, jarang dilihat sebagai kerja-kerja yang berkaitan erat dengan perjuangan agraria. Itulah mengapa, reforma agraria adil gender terus disuarakan karena kerja-kerja perawatan yang dilakukan oleh perempuan kerap tidak dilihat sebagai kontribusi di ranah publik, padahal kegiatan sehari-hari yang dilakukan perempuan adalah kerja-kerja yang digunakan untuk memulihkan tenaga kerja produktif. Bisa kah kalian membayangkan perempuan mogok bekerja dalam satu hari?
Selain itu, globalisasi dan pola pembangunan yang ekstraktif terus membuat perempuan tersingkirkan dari ruang-ruang agraria dan mengakibatkan transisi pekerjaan bagi perempuan, yang semula petani kemudian berubah menjadi buruh migran, atau yang sebelumnya nelayan kemudian berubah menjadi pekerja rumah tangga. Semua dilakukan untuk mencari nafkah.
Dari nafkah tersebut kemudian anak-anak mereka bisa bersekolah dan mendapatkan pekerjaan. Dengan demikian perempuan sebenarnya telah mereproduksi tenaga kerja dan mempersiapkan tenaga kerja baru. Maka kegiatan mencari nafkah dan menyediakan makanan tidak membentuk oposisi biner yakni pekerjaan domestik, melainkan sebagaimana pendapat Vogel bahwa kegiatan itu merupakan kesatuan yang berdialektika, yang kemudian disebut livelihood. Di mana kerja-kerja tersebut juga berkaitan erat dengan keberlangsungan hidup petani dan nelayan selanjutnya. Setelah membaca livelihood sebagaimana diuraikan di atas, kita sebagai orang yang berjuang di ranah-ranah agraria, apakah masih akan menempatkan livelihood di luar perjuangan penguasaan atas sumber-sumber agraria?