Lautan, sumber kehidupan yang tak ternilai, kini menghadapi tantangan yang kian mendesak. Hasil tangkapan laut stagnan, ekosistem rusak, dan tekanan akibat perubahan iklim terus meningkat. Laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 2017 menyebutkan bahwa 75% wilayah tangkap telah mengalami overfishing atau mencapai batas maksimal. Pemanasan suhu laut akibat perubahan iklim turut mempengaruhi pola migrasi ikan dan menurunkan populasi spesies penting secara signifikan. Sementara itu, jumlah kapal penangkap ikan terus membengkak per akhir 2024 tercatat ada 14.617 kapal berizin dari pusat yang berarti tekanan terhadap stok ikan jauh melampaui kapasitas pemulihan alamiah. Realitas krisis nasional ini diperparah oleh praktik pembangunan yang merusak di tingkat lokal.
Di Pantai Pasir Panjang, Kota Kupang, warga nelayan yang menggantungkan hidup pada laut menyuarakan keresahan terhadap arah pembangunan yang tidak berpihak. Yasinta Adoe, perempuan nelayan dari kawasan tersebut, menegaskan bahwa yang dibutuhkan adalah pemecah gelombang dan perbaikan tanggul laut, bukan jogging track yang lebih menonjolkan estetika kota daripada kebutuhan dasar nelayan. Menurutnya, anggaran seharusnya digunakan untuk memperkuat perlindungan pantai agar aman dari abrasi dan badai.
Masalah ini bukan sekadar estetika, tapi soal akses dan ruang hidup. Hotel-hotel dan fasilitas pariwisata terus tumbuh di sepanjang pesisir Pasir Panjang, menyingkirkan nelayan dari ruang publik yang seharusnya menjadi hak bersama. WALHI NTT menyoroti maraknya privatisasi pesisir Teluk Kupang demi investasi wisata dan tambak. Akibatnya, masyarakat pesisir kehilangan ruang hidup ekologis dan ekonomis. Realitas ini mencerminkan pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan modal daripada kesejahteraan komunitas.
Di tengah krisis nasional dan ketimpangan pembangunan di tingkat lokal ini, konservasi berbasis komunitas bukan lagi sekadar alternatif, tapi sebuah keniscayaan. Kampung nelayan Oesapa di Nusa Tenggara Timur, misalnya, telah menghadirkan praktik baik dari Kelompok Usaha Bersama Angsa Laut. Mereka tak hanya berfokus pada restorasi ekosistem, tetapi juga mengedepankan penangkapan yang bertanggung jawab dan terukur, mengutamakan kualitas tangkapan untuk kebutuhan konsumen dan stabilitas harga, demi keberlanjutan ekonomi keluarga nelayan. Muhammad Mansyur Dokeng atau yang akrab disapa Om Dewa menginisiasi “rumah ikan” sebagai salah satu usaha dalam menghidupkan kembali ekosistem laut. Sebagai nelayan tradisional yang telah lebih dari dua dekade menggantungkan hidup dari laut, Om Dewa menyadari bahwa alam memiliki mekanisme pemulihannya sendiri. Ia mengamati bagaimana ikan-ikan berkumpul di sekitar bagan apung yang tenggelam, dan dari situ muncul gagasan tentang “rumah ikan” struktur alami yang mampu menghidupkan kembali ekosistem laut.
“Alam juga memperbaiki dia punya diri. Kita yang mengambil sumber-sumber daya laut. Apa andil kita untuk mendukung produktivitas laut?” ungkapan om Dewa secara reflektif di sela-sela kegiatan workshop dan pembuatan rumpon di pesisir Oesapa.
Bersama Kelompok Angsa Laut Oesapa, Om Dewa membangun “rumah ikan” atau dalam arti resmi disebut rumpon yaitu alat bantu penangkapan ikan yang dipasang di perairan untuk menarik dan mengumpulkan ikan agar berkumpul di sekitarnya, sehingga memudahkan penangkapan. Tapi inisiatif ini lebih dari sekadar rumpon. Ia adalah “rumah“ bagi kehidupan laut yang memiliki tujuannya sebagai konservasi dasar laut dan pemulihan ekosistem yang rusak akibat badai seperti Seroja dan praktik penangkapan yang merusak. Inisiatif ini dimulai secara mandiri pada 2022 dan terwujud pada 2024, mencerminkan perubahan paradigma dari mengambil menjadi memelihara.
Dampaknya cukup menguntungkan para nelayan. Sebelumnya, nelayan harus merogoh kocek hingga Rp 600 ribu sampai Rp 3 juta per kapal untuk melaut ke daerah tangkapan yang jauh. Kini, dengan “rumah ikan”, mereka bisa menangkap ikan lebih dekat dan menghemat biaya operasional. Hal ini bukan lagi tentang mencari ikan, melainkan memanen ikan. Ikan-ikan berkumpul lebih padat dan mudah dijangkau. Dalam dua minggu setelah pemasangan, ikan-ikan berdatangan. Dalam dua bulan, ekosistem laut mulai pulih. Bambu rumpon diselimuti tiram dan kerang, dan spesies seperti kakap, kerapu, lobster, bahkan ikan badut (Nemo) kembali muncul di perairan Oesapa.
Perubahan ini juga mengubah perilaku nelayan. Dengan penghasilan lebih stabil, nelayan yang sebelumnya terpaksa melaut jauh hingga ke Laut Timor dan bahkan pernah ditangkap di Australia, kini memilih tinggal dan menjaga Teluk Kupang. Mereka menerapkan prinsip penangkapan terukur yang selaras dengan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) dari FAO. Aturan pun ditetapkan yakni hanya ikan yang keluar dari rumah ikanlah yang boleh ditangkap, jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan agar harga stabil. Jarak tangkap pun bertahap mulai dari 200 meter, 400 meter, hingga 600 meter. Alat yang digunakan adalah handline, atau jaring dengan mata minimal 4 inci agar ikan kecil lolos.
Struktur rumah ikan dirancang tangguh. Dibuat dari bambu dan material alami, ia kokoh menghadapi gelombang tinggi dan cuaca ekstrem yang kini makin sering. Dalam lima tahun, struktur akan diselimuti tiram dan menjadi bagian dari ekosistem. Solusi ini tidak mahal, tidak rumit, tapi lahir dari pemahaman mendalam akan alam.
Perubahan besar sering kali dimulai dari gerakan kecil di akar rumput. Om Dewa dan komunitasnya membuktikan bahwa kearifan lokal yang dipadukan dengan prinsip ekologi bisa menjadi jawaban atas krisis yang ditimbulkan oleh eksploitasi berlebihan dan badai iklim. Di saat proyek konservasi banyak yang steril dari partisipasi, rumah ikan membuktikan bahwa konservasi sejati lahir dari komunitas yang mengenal laut bukan sebagai objek, melainkan sebagai ruang hidup bersama.
Sumber:
- Wawancara bersama Om Dewa, 18 Juni 2025
- Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2017). Laporan Tahunan Kementerian Kelautan dan Perikanan Tahun 2017. Jakarta: KKP.
- Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. (2017). Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/KEPMEN-KP/2017 tentang Estimasi Potensi, Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan, dan Tingkat Pemanfaatan Sumber Daya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Jakarta: KKP.
- Sondita MFA. 2011. Sebuah Perspektif: Rumpon Sebagai Alat Pengelolaan Sumberdaya Ikan. Buku II New Paradigm in Marine Fisheries. Bogor: Institut Pertanian Bogor
- https://floresa.co/reportase/mendalam/69589/2024/11/22/mulai-isu-kemiskinan-hingga-pekerja-migran-perempuan-dan-aktivis-bersuara-dalam-dialog-multipihak-yang-digelar-aksi-dan-walhi-ntt-di-kupang
- https://www.delegasi.com/walhi-ntt-sebut-masyarakat-pesisir-sepanjang-teluk-kupang-hadapi-tiga-masalah-dampak-dari-pembangunan