Jakarta, 19 Oktober 2024 – Tepat pada 20 Oktober 2024, Prabowo – Gibran telah dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia masa periode 2024-2029. Merespon pidato pelantikan Prabowo-Gibran tersebut, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI) mengecam kegagalan keduanya untuk memasukkan agenda memenuhi komitmen 1,5℃. Satu koma lima derajat (1,5℃) merupakan ambang batas bumi agar terhindar dari ancaman dan bahaya krisis iklim. Sebagai negara pihak, Indonesia memiliki kewajiban dalam penurunan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dengan menetapkan target ambisius dan berkeadilan.
“Pidato kenegaraan Presiden tidak menaruh perhatian besar atas komitmennya merespon tiga krisis planet bumi (Triple Planetary Crisis): perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, serta polusi-limbah. Sejak awal pun, visi-misi keduanya sarat terlihat menghindar dari tanggung jawab untuk merespon persoalan krisis iklim. Hal ini semakin diperkuat dengan jargon keduanya untuk menjadi ‘keberlanjutan’ dari rezim sebelumnya.” Kata Susan Herawati- Sekjen KIARA.
Selama 10 tahun terakhir, pemerintahan Joko Widodo mengorkestrasi program pembangunan yang kental dengan realitas perampasan ruang hidup, konflik agraria, perusakan dan penghancuran lingkungan hidup, ekosistem esensial, serta keanekaragaman hayati. Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada industri ekstraktif menunjukkan ketidakpedulian pemerintahan sebelumnya terhadap krisis iklim yang semakin memburuk. Sekian kondisi itulah yang dengan bangga akan dilanjutkan oleh Prabowo-Gibran. “Dalam catatan WALHI, sejumlah pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KPSN) telah menyumbang deforestasi, melahirkan perampasan dan penggusuran ruang hidup dan sumber penghidupan, serta kriminalisasi terhadap rakyat di berbagai wilayah di Indonesia.
Proyek-proyek pembangunan yang sarat penghancuran sistem keseimbangan sosial, ekologi serta lingkungan hidup itu akan jadi gambaran ke depan dalam pemerintahan baru.” Kata Zenzi Suhadi- Direktur Eksekutif Nasional WALHI.
Berbagai konflik yang terjadi akibat proyek-proyek solusi palsu tersebut, perempuan juga tidak luput dari kekerasan. Krisis iklim hari ini telah melahirkan pemiskinan berwajah perempuan. “Catatan kritis solidaritas perempuan menemukan fakta bahwa, berbagai kebijakan iklim melalui proyek Energi geothermal di Poco Leok Nusa tenggara Timur, Gunung Rajabasa Lampung, hingga Pembangkit Listrik tenaga Air (PLTA) Poso Energi di Sulawesi tengah telah memperluas diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. Penghancuran ruang kelola perempuan dan peminggiran peran perempuan di dalam pengelolaan sumberdaya alam telah menciptakan feminisasi pemiskinan struktural yang berdampak terhadap berbagai ketimpangan ekonomi hingga berujung pada feminisasi migrasi kerja yang eksploitatif. Inisiatif kolektif perempuan di dalam aksi adaptasi dan mitigasi iklim justru tidak pernah diakui dan dilindungi oleh negara, alih-alih menciptakan kebijakan dan program yang berkeadilan, persoalan proyek energi solusi palsu iklim justru telah memperluas konflik di tengah masyarakat. Saat perempuan dan masyarakat memperjuangkan ruang kelola mereka justru di kriminalisasi, intimidasi bahkan melakukan kekerasan yang menyasar ketubuhan perempuan.” Kata Armayanti Sanusi-Ketua Badan Eksekutif Solidaritas Perempuan.
Di tengah ancaman krisis iklim yang dampaknya semakin tak terhindarkan saat ini, Indonesia masih memiliki problem serius yakni krisis demokrasi sehingga membatasi ruang partisipasi masyarakat. Krisis iklim yang meningkatkan intensitas bencana iklim dan anomali cuaca seperti kenaikan muka air laut, abrasi, kemarau berkepanjangan serta banjir bandang, kelompok rentan meliputi disabilitas, nelayan kecil dan tradisional, buruh tani, perempuan, masyarakat adat, kelompok miskin perkotaan, serta buruh harus menghadapi dan mengalami kehilangan dan kerusakan, dan beban berlapis akibat krisis iklim.
“Hasil Konsultasi Rakyat (KR) yang dilakukan ARUKI di 12 provinsi menunjukkan dampak terberat krisis iklim justru dialami kelompok rentan. Pertama, dampak krisis iklim terjadi mengakibatkan kehilangan mata pencaharian, penurunan pendapatan hingga kerusakan tempat tinggal, bahkan di beberapa wilayah telah terjadi migrasi penduduk akibat krisis iklim. Kedua, proyek-proyek pembangunan yang sarat melahirkan konflik sosial dan penghancuran keseimbangan ekologi dan atmosfer semakin memperberat kemampuan adaptasi rakyat, terutama kelompok rentan, dalam merespon krisis iklim.” Kata Torry Kuswardono Direktur Yayasan PIKUL.
Pada saat kelompok rentan harus menanggung dan menghadapi bahaya dan ancaman kerusakan dan kehilangan akibat krisis iklim, pelibatan secara setara dan partisipasi bermakna kelompok rentan dalam seluruh agenda pembangunan ekonomi maupun program serta aksi-aksi iklim justru diabaikan. “Pemerintahan Prabowo-Gibran cenderung memilih melanjutkan program eksploitatif dengan realitas climate washing, greenwashing yang tidak sama sekali mengatasi krisis iklim. Food estate, proyek hilirisasi, dan pengembangan sumber energi seperti panas bumi dan air skala besar secara historis telah terbukti membawa kerugian bagi rakyat. Ketiadaan komitmen untuk mengendalikan krisis iklim dalam pidato presiden merupakan bukti kuat bahwa ke depan kerusakan lingkungan, kerusakan hutan, bencana, dan pelanggaran hak atas lingkungan merupakan realita yang akan dihadapi rakyat.” Jelas Syaharani– peneliti ICEL
ARUKI (Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim) yang beranggotakan tiga puluh organisasi masyarakat sipil di Indonesia menilai bahwa ketiadaan agenda terkait 1.5°C sebagai agenda strategis pemerintahan baru sejak awal pelantikan Prabowo-Gibran menunjukkan kegagalan untuk memenuhi komitmen 1,5℃ demi menyelamatkan rakyat Indonesia dari ancaman krisis iklim. Kegagalan yang sama ditunjukkan sejak komitmen untuk menargetkan pertumbuhan ekonomi 8 persen. Menargetkan pertumbuhan ekonomi semata namun mengabaikan keadilan dalam agenda-agendanya akan semakin memperluas dan memperburuk kondisi krisis iklim yang memperberat beban rakyat. “Jelas pasangan Presiden dan Wakil Presiden baru kita ini telah gagal sejak dalam agenda. Kami menuntut perubahan agenda pemerintahan baru untuk berkomitmen kuat mencapai target 1.5°C dan mewujudkan keadilan iklim bagi rakyat Indonesia.” tutup ARUKI.
Narahubung Aliansi Rakyat Untuk Keadilan Iklim (ARUKI) :
– Omen Bagaskara ( – PIKUL (omenbagaskara@pikul.id, 085-314451953)
– Satrio Manggala – WALHI (satrio.manggala@walhi.id, 0811-593-600)
– Syaharani – ICEL(syaharani@icel.or.id, 0851-5687-4204)
– Amelia – Solidaritas Perempuan (amelia@solidaritasperempuan.org, 0822-9185-3619)
– Fikerman – KIARA (0823-6596-7999)