“Kenapa orang NTT jadi ikut protes Jet Pribadi Erina Gudono? Kan jauh…?

“ Emisi Karbon dari Jet Pribadi Erina Gudono setara dengan emisi yang dihasilkan oleh 3.264 orang yang melakukan perjalanan dari Labuan Bajo ke Larantuka menggunakan mobil”

Beberapa waktu terakhir kita dihebohkan dengan Putra dan menantu Presiden RI Joko Widodo Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono, yang melakukan perjalanan ke Amerika Serikat dengan menggunakan jet pribadi. Tidak hanya mengeluarkan biaya fantastis, emisi karbon yang dihasilkan pun fantastis. Institute For European Environmental Policy dan the stockholm environment institute pada tahun 2022, menyebutkan bahwa hidup mewah dengan bepergian menggunakan jet pribadi, merupakan 1% dari populasi di Bumi, yang masuk dalam kategori terkaya dan mengeluarkan emisi karbon sebanyak 70 ton karbon dioksida (CO₂) per tahun. Berdasarkan laporan federasi Eropa untuk transportasi dan lingkungan tahun 2021, penggunaan jet pribadi 14 kali lebih berpolusi, dibandingkan penerbangan komersial. 

Hasil penelusuran Kompas, dalam perjalanan ini jarak yang ditempuh adalah 16.276 kilometer, dengan rute penerbangan Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma ke Philadelphia menghasilkan 83,525 ton setara CO₂. Jika dihitung berdasarkan jumlah penumpang dalam satu pesawat jet dengan tipe GLF6 dengan jumlah penumpang sebanyak 16 orang, maka setiap penumpang dalam penerbangan ini menghasilkan emisi setara 5,220 Kg CO₂. Jika dibandingkan dengan perjalanan domestik dengan menggunakan moda transportasi lainnya, tentu saja emisi karbon yang dihasilkan tidak seberapa dengan emisi karbon yang dihasilkan oleh Kaesang dan Erina dalam perjalanan ini.

Mari kita bandingkan dengan perjalanan dari Labuan Bajo ke Larantuka menggunakan mobil gasoline.

Berdasarkan perhitungan emisi menggunakan tools kalkulator energi Hijauku.com, perjalanan Labuan Bajo – Larantuka dengan menggunakan moda transportasi mobil gasoline, mengkonsumsi bahan bakar bensin sebanyak 43.6 liter dan menghasilkan emisi karbon sebesar 102.465Kg CO₂. Pada umumnya moda kendaraan ini dapat mengangkut 8 orang dalam satu mobil. Artinya setiap penumpang hanya akan menghasilkan emisi karbon sebanyak 12,808Kg CO₂. 

Bandingkan perjalanan ini dengan perjalanan Erina Gudono dan Kaesang Pangarep yang menghasilkan emisi karbon sebesar 5.330 KG CO₂ per penumpang,  Emisi karbon itu setara dengan emisi karbon yang dihasilkan jika kamu melakukan perjalanan dari Labuan Bajo Ke Larantuka sebanyak 408 kali perjalanan satu arah dan 204 kali perjalanan dua arah. Atau dapat dikatakan perjalanan ini setara dengan 3.264 orang yang melakukan perjalanan searah dengan menggunakan mobil gasoline dari Labuan Bajo ke Larantuka, dan sebanyak 1.632 orang yang melakukan perjalanan dua arah dengan menggunakan mobil gasoline dari Labuan Bajo ke Larantuka.  Kontras sekali bukan perbedaannya? 

Emisi karbon adalah proses pelepasan karbon dioksida ke atmosfer yang terjadi secara alamiah maupun oleh aktivitas manusia. Emisi karbon yang terjadi secara alamiah misalnya pada proses pembusukan yang melepaskan gas karbon. Saat manusia bernapas pun, kita melepaskan CO₂ ke udara. Tetapi proses-proses ini menghasilkan konsentrasi CO₂ yang jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan aktivitas manusia lainnya seperti pembakaran bahan bakar fosil, aktivitas industri dan deforestasi (Penggundulan Hutan). Laporan IPCC (2023) mencatat 79% emisi gas rumah kaca global pada 2019 berasal dari sektor energi, industri, transportasi, dan bangunan, serta 22% dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya. Sektor-sektor ini berkontribusi melalui alih fungsi lahan dan eksploitasi sumber daya alam. Dilansir dari laman Low Carbon Development Indonesia (LCDI), Sektor energi dan transportasi mendominasi emisi dengan persentase sebesar 50,6% (potensi sebesar 1 Giga Ton CO₂eq) dari total emisi di Indonesia pada tahun 2022.  Potensi peningkatan  emisi ini diperkirakan terus meningkat hingga di tahun 2030.

Lalu apa kaitannya emisi karbon dengan krisis iklim ?

Emisi CO₂ yang dilepaskan ke udara akan menuju ke lapisan atmosfer. Nah, di atmosfer inilah emisi karbon akan terkumpul dengan senyawa lainnya seperti Nitrogen dioksida, metana dan freon membentuk gas rumah kaca (GRK). GRK ini akan menimbulkan efek rumah kaca dimana panas matahari tidak dipantulkan kembali tetapi terjebak di atmosfer dan menyebabkan suhu bumi menjadi hangat.

Setiap tahunnya, emisi gas rumah kaca semakin meningkat secara global.

Pada tahun 2021, sekitar 36 ribu metrik karbon dioksida dilepaskan ke atmosfer pada level global. Sementara Indonesia menyumbang  615,93 MtCO₂ atau sekitar 1,72 persen dari total emisi karbon global, dan menempati peringkat ke-10 negara penyumbang emisi karbon terbanyak di dunia. Nah, peningkatan emisi yang besar ini menyebabkan suhu bumi meningkat. Akibatnya terjadilah anomali cuaca/cuaca ekstrem, meningkatnya suhu bumi, meningkatnya permukaan air laut dan meningkatnya resiko bencana hidrometeorologi.

Lalu apa dampak krisis iklim untuk masyarakat NTT?

Krisis iklim meningkatkan resiko bencana hidrometeorologi yang lebih besar. Hampir 90% bencana yang terjadi di Indonesia adalah bencana hidrometeorologi seperti  angin kencang, banjir, puting beliung, longsor, curah hujan ekstrim, kekeringan, kualitas udara buruk dan kebakaran hutan. Saat terjadi bencana, masyarakat miskin dan kaum marjinal lah yang paling banyak menanggung resikonya, mulai dari kehilangan harta benda, menurunnya kesehatan, kehilangan mata pencaharian hingga kehilangan nyawa. Fakta ini justru akan semakin meminggirkan masyarakat NTT. Pada tahun 2024, NTT masuk dalam daftar empat provinsi termiskin di Indonesia setelah Papua Pegunungan, Papua Tengah dan Papua Barat. Jumlah masyarakat miskin di NTT mencapai 1.127.570 orang. Artinya  masyarakat NTT dengan jumlah masyarakat miskin terbanyak keempat di Indonesia ini sangat berpotensi menanggung dampak krisis iklim yang lebih besar. 

Saat badai seroja menyerang sebagian besar wilayah NTT di tahun 2021, lebih dari 5000 orang menjadi korban (sumber: Flash update AHA Center, 13 April 2021). Sebagai contoh adalah nelayan yang merupakan salah satu profesi yang paling terdampak badai seroja. Dilansir dari Mongabay.com, laporan perekonomian provinsi NTT tahun 2021 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, siklon seroja menyebabkan kerusakan berat pada 537 unit kapal kapasitas 1-10 GT dan 65 unit kapal kapasitas 10 – 30 GT. 

Rusaknya kapal nelayan berakibat pada terganggunya penghidupan dan mata pencaharian utama mereka

Hasil survei  Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) pada 2023 menunjukan bahwa 72% nelayan mengalami penurunan hasil tangkapan, 83% nelayan mengalami penurunan keuntungan, dan 86% nelayan mengatakan bahwa perubahan iklim meningkatkan risiko kecelakaan.

Loh, bukannya nelayan juga menghasilkan emisi dari mesin perahunya ?

Betul. Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa setiap aktivitas manusia akan menghasilkan CO₂ termasuk nelayan. Tetapi, hampir 90% nelayan di Indonesia adalah nelayan kecil (SUSENAS, 2017) yakni kelompok nelayan yang melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mereka biasanya menggunakan kapal ikan yang berukuran kecil, dengan tonase maksimal 10 gross ton (GT).

Mari kita bandingkan dengan aktivitas nelayan dalam mencari ikan di laut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di wilayah Kelurahan Brondong Kabupaten Lamongan Provinsi Jawa Timur tahun 2016, rata-rata nelayan kecil dengan kapal 6-10 GT membutuhkan 252,2 liter solar untuk perahunya. Dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 18 Tahun 2021, penangkapan Ikan nelayan dengan kapal 6-10 GT  hanya boleh melaut sejauh 4-12  mil dan di atas 12 mil dengan persyaratan tertentu.  Apabila dalam satu hari nelayan menghabiskan solar 252,2 liter dengan perjalanan sejauh 138 km, dengan rute Kelurahan Brondong menuju perairan Jepara,  mereka menghasilkan emisi CO₂ sebesar 807,250 kg/ton fuel, untuk setiap perjalanannya. Apabila kapal ini memuat 4-5 orang nelayan artinya, setiap penumpang  akan menyumbang emisi CO₂ sebesar 161,45  kg/ton fuel.  Angka ini tentu  lebih kecil dibandingkan angka emisi yang dihasilkan oleh Erina Gudono dalam satu kali perjalanan menuju Pennsylvania, Amerika Serikat.

Sebuah artikel penelitian yang berjudul Carbon Footprint and Associated Environmental Impacts In Construction of Fishing Vessels: A Preliminary Study, menyebutkan bahwa perahu yang terbuat dari kayu, menghasilkan emisi karbon jauh lebih sedikit dibandingkan dengan perahu yang terbuat dari besi. Kedua jenis perahu ini sering digunakan di Indonesia. Namun pada umumnya nelayan skala kecil menggunakan perahu dengan bahan kayu untuk melaut. Tidak hanya menyediakan sumber protein bagi kita, nelayan tradisional justru memiliki pengetahuan lokal yang bisa diterapkan untuk menjaga laut dan alam.

Bisa dibayangkan nelayan, petani, kelompok disabilitas, masyarakat adat dan kaum miskin marjinal lainnya yang cenderung menghasilkan emisi lebih sedikit harus menanggung dampak krisis yang begitu besar. Bandingkan dengan orang-orang kaya tadi yang menghasilkan emisi lebih banyak justru masih bisa menyelamatkan diri dan memiliki tabungan yang besar untuk menyelamatkan diri dan keluarganya.

Secara akses, kelompok marjinal juga cenderung lebih sedikit memanfaatkan sumber daya alam di dunia.

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), 20% orang terkaya di dunia mengonsumsi 86% sumber daya alam di dunia, sedangkan 20% orang termiskin hanya mengkonsumsi 1,3%. Ketimpangan konsumsi sumber daya ini disebabkan oleh perbedaan pendapatan, pendidikan dan akses terhadap sumber daya (EG/CG).

Persoalan penggunaan jet pribadi ini jelas menjadi urusan seluruh warga negara karena emisi yang dihasilkan turut menyebabkan dampak krisis iklim yang besar yang harus ditanggung oleh semua orang termasuk petani, nelayan, kelompok disabilitas, masyarakat adat, masyarakat miskin dan marjinal lainnya di NTT yang cenderung menghasilkan emisi lebih sedikit.

Sumber : 

10 Provinsi Termiskin di Indonesia 2024, Papua Mendominasi  (https://www.kompas.com/tren/read/2024/07/05/123000565/10-provinsi-termiskin-di-indonesia-2024-papua-mendominasi)

Breakdown Of Carbon Dioxide, methane and nitrous oxide emissions by sector   (https://ourworldindata.org/emissions-by-sector)

Emisi Karbon (https://lcdi-indonesia.id/grk-energi/)

Volume Emisi Gas Rumah Kaca Industri Indonesia Berdasarkan Sektor (2022) (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2024/06/27/ini-industri-penyumbang-emisi-gas-rumah-kaca-terbesar-di-indonesia)

Berapa Kontribusi Emisi Karbon Indonesia terhadap Total Emisi Karbon Global? (https://data.tempo.co/data/1789/berapa-kontribusi-emisi-karbon-indonesia-terhadap-total-emisi-karbon-global)

Siaran Pers “ Emisi CO₂ Fosil Dunia Mencapai Rekor Tertinggi pada Tahun 2023 Indonesia Menduduki Sepuluh Besar Penyumbang Emisi”  (https://madaniberkelanjutan.id/wp-content/uploads/2023/12/Siaran-Pers-Bersama-5-Desember-2023-Indonesia-Menduduki-Sepuluh-Besar-Penyumbang-Emisi-Laporan-Global-Carbon-Budget-2023.pdf)

Siaran Pers : Jelang Tenggat Komitmen Iklim Terbaru, Pemerintah Perlu Beri Ruang Kelompok Rentan (https://pikul.id/siaran-pers-jelang-tenggat-komitmen-iklim-terbaru-pemerintah-perlu-beri-ruang-kelompok-rentan/)

Kalkulator Energi dan Emisi CO₂ (https://hijauku.com/kalkulator/)

Jumlah Emisi Karbon Yang Dihasilkan oleh Kaesang Pangarep dan Erina Gudono (https://www.kompas.id/baca/humaniora/2024/08/26/jejak-hitam-dari-perjalanan-pesawat-jet-anak-presiden)

Laporan IPCC tentang Emisi Gas Rumah Kaca Global Tahun 2019 ( https://www.walhi.or.id/jelang-tenggat-komitmen-iklim-terbaru-pemerintah-perlu-beri-ruang-kelompok-rentan#:~:text=Laporan%20IPCC%20(2023)%20mencatat%2079,dan%20eksploitasi%20sumber%20daya%20alam.)

Jumlah emisi nelayan tangkap skala kecil dengan kapal 6-10 GT (https://repository.its.ac.id/75166/1/4212100126-Undergraduate_Thesis.pdf)

Penelitian tentang emisi yang dihasilkan perahu berbadan kayu dan berbadan besi (https://www.researchgate.net/publication/348994286_Carbon_Footprint_and_Associated_Environmental_Impacts_in_Construction_of_Fishing_Vessels_A_Preliminary_Study)

Lainnya: