Biasanya, konservasi identik dengan suatu kawasan yang cukup luas. Berbeda dengan konservasi yang dilakukan dalam hutan marga Laibahas, konservasi berbasis situs dimaksudkan untuk melindungi jasa layanan ekosistem (ecosystem services) yang berstatus kritis.
Secara keseluruhan, marga/klan di Pulau Semau memiliki tanah yang di dalamnya terdapat hutan dan dikelola secara komunal. Misalnya, marga Solini yang memiliki hutan-hutan marga yang terletak pada tanah marga yang membentang dari desa Uiasa hingga desa Huilelot. Pengelolaannya dilakukan secara komunal dengan anak marga Solini yang menetap di dalam dan luar Pulau Semau. Meskipun kepemilikannya secara komunal, tetapi pemanfaatannya terbuka bagi masyarakat lokal. Masyarakat lokal dapat menikmati jasa layanan ekosistem berupa jasa penyediaan (provisioning), jasa layanan pengaturan (regulation), jasa budaya (cultural), dan jasa pendukung (supporting). Masyarakat lokal telah hidup berdampingan dengan alamnya dan memanfaatkan jasa layanan tersebut secara turun temurun.
Bulan November 2021, Yayasan Pikul melalui program pengembangan mini agroforestri dan didukung ICCA GSI GEF SGP mengajak masyarakat lokal di Pulau Semau untuk melihat kembali “harta karun” di hutan marga. Masyarakat lokal menuturkan terdapat kurang lebih 100 jenis tumbuhan herbal yang masih dimanfaatkan dan status tumbuhan dalam hutan marga. Pendataan tersebut mendapatkan fakta bahwa terdapat satu tumbuhan yang hampir punah yaitu Hliu Blikloben (Pittosporum tobira).
Menurut masyarakat lokal, tumbuhan Hliu Blikloben yang jantan memiliki khasiat bagi manusia dan ternak. Tumbuhan ini dapat menangkal racun, mengobati luka, dan campuran pakan ternak. Bagian yang dimanfaatkan adalah kulit batang tumbuhan. Kulit batang tumbuhan dikupas dan dimanfaatkan. Bagian kulit batang tumbuhan menjadi bagian pertahanan tumbuhan di hutan musim saat musim kemarau. Semakin banyak yang mengambil, maka semakin memperpendek umur tumbuhan Hliu Blokoben. Kondisi ini diperparah dengan kesulitan tumbuhan ini untuk berkembang. Kondisi iklim yang berubah dan sistem pemeliharaan ternak dengan melepas di hutan menjadi salah dua penyebabnya. Pendataan terakhir, tumbuhan ini tersisa kurang lebih 9 tumbuhan dan 7 diantaranya dalam kondisi kritis. Tumbuhan ini hanya ada di hutan marga Laibahas di dusun Kulun desa Uiasa Pulau Semau.
Menurut Bapak Simon Niti, Kaka Ama atau kepala marga Laibahas, faktor yang mempengaruhi jumlah tumbuhan ini adalah cara pengambilannya dan pengembangannya. Jika dikembangkan, anakan tumbuhan ini berpeluang kecil untuk tumbuh dengan baik. Biasanya, hanya satu dua anakan yang berhasil tumbuh.
“Kalau kasih bebas begitu sa, semua-semua bisa mati, karena di pohon ini jarang ada bibit, hanya satu-satu saja. Karena pohon ini dia punya bibit ada tapi jarang tumbuh, satu-satu sa. ” Ungkap Bapak Simon Niti.
“[Kalau semua orang bebas mengakses, maka tumbuhan Hliu Blikoben bisa punah, karena tumbuhan ini jarang memiliki bibit. Kalau pun ada, bibit hanya satu saja dan jarang untuk tumbuh]”
Tepat di tanggal 20 Oktober 2022, Keluarga Laibahas sebagai pemilik salah satu hutan marga di Dusun 5, Kulun, Desa Uiasa melakukan konservasi tanaman Hliu Blikoben. Keluarga Laibahas memutuskan konservasi yang berbasis situs atau perlindungan hanya pada area sekitaran tumbuhan Hliu Blikoben. Keluarga Laibahas memagari area sekitar tumbuhan Hliu Blikoben yang dalam kondisi kritis. Tujuannya, menghalau sebagian faktor penghambat ketika tumbuhan dalam fase regenerasi alami. Apabila sudah ada anakan, keluarga Laibahas akan memindahkan ke area lainnya dan kembali melindungi anakan hingga tumbuh. Keluarga Laibahas juga memasang papan yang menginformasikan kepada masyarakat bahwa tumbuhan tersebut sedang dikonservasi. Selama masa konservasi, masyarakat dapat memanfaatkan tumbuhan Hliu Blikoben di area lain hutan marga sesuai petunjuk dari keluarga Laibahas. Tujuan lainnya dari konservasi berbasis situs adalah masyarakat lokal masih tetap mengakses hutan marga untuk memanfaatkan hasil hutan lainnya.
Biasanya, konservasi identik dengan suatu kawasan yang cukup luas. Berbeda dengan konservasi yang dilakukan dalam hutan marga Laibahas, konservasi berbasis situs dimaksudkan untuk melindungi jasa layanan ekosistem (ecosystem services) yang berstatus kritis. Pilihan ini justru lebih efektif mengingat jasa layanan provisional (nutrisi, material, energi), regulation, cultural, dan supporting, yang masih dibutuhkan masyarakat lokal. Dengan demikian, konservasi tidak membatasi akses masuk perempuan dan masyarakat lokal lainnya yang membutuhkan jasa layanan hutan.
Pilihan keluarga Laibahas merupakan representasi masyarakat lokal lainnya yang menjaga “harta karun” dalam hutan dengan caranya. Masyarakat lokal mengetahui dengan pasti kondisi kritis sumber daya alam dan bagaimana cara menanganinya. Tinggal bagaimana pihak lainnya mendukung masyarakat lokal dalam mengelola dan menjaga alamnya. Bukan meminggirkan atau meniadakan masyarakat lokal dengan dalih konservasi untuk keberlanjutan.*** (YL, AN)