Membicarakan Wajah Kota Kupang di Masa Depan!

Keterangan foto : Potret wajah kota kupang

Apa yang kita imajinasikan tentang tinggal di Kupang 10-15 tahun mendatang? Kota yang bersih dan teratur dengan penduduk yang ramah, berpendidikan dan produktif, serta ekonomi yang terus melaju tinggi? atau sebuah kota yang sumpek, padat dan penuh dengan kriminalitas?

oleh: Wahyu Adiningtyas, Peneliti di Perkumpulan Pikul Kupang

 

IMAJINASI kita kebanyakan akan beranjak pada gambar-gambar iklan tentang kota yang megah dan berbudaya, namun kenyataannya Kota Kupang sudah mengalami proses-proses urbanisme, seperti halnya kota lain di Indonesia. Sehingga imajinasi indah kita tentang kota menjadi artifisial, bahkan klise. Kupang telah menjadi “pengungsian” korban tidak dibangunnya daerah pedesaan secara masif. Ribuan penduduk tak beraset dan tak memiliki ketrampilan secara gradual memadati kota, membangun pemukiman swadaya dengan fasilitas minim dan tak memperoleh pelayanan layaknya warga kota. Imajinasi indah kita tentang kota harus berbenturan dengan kenyataan bahwa tidak semua penghuni kota memperoleh haknya sebagai “warga” di kota ini.

Tengah tahun 2010, PIKUL membuat sebuah survei mengenai persepsi tentang hak dasar menurut migran tak beraset yang bermukim di Kota Kupang. Hasil survei tersebut sungguh menarik, para responden memilih pemukiman (42%) sebagai hak yang paling mendesak untuk dipenuhi. Hak mendesak lainnya secara berturut adalah pekerjaan/penghasilan tetap (24%) dan pangan (9%). Rata-rata responden berargurmen jika kebutuhan akan pemukiman dan pekerjaan terpenuhi, maka hak dasar lainnya seperti pangan, pendidikan, air bersih dan sebagainya relatif lebih mudah dipenuhi. Argumen ini bukan menandakan responden tidak menganggap kebutuhan akan pangan, air atau energi yang justru harus dipenuhi sehari-hari menjadi tidak penting, tetapi faktor harga rumah maupun tanah yang kian hari semakin melambung menyebabkan masyarakat merasa tidak aman untuk mencari pekerjaan atau pun bekerja. Sedangkan pangan, jika dilihat dari cara para responden beradaptasi dengan mengurangi frekuensi maupun porsi makan, merupakan hal yang paling mungkin untuk dikompromikan pemenuhannya.

Perumahan juga menjadi penting karena hampir 100 % responden yang ditemui memang tidak memiliki tempat tinggal tetap. Mereka tinggal di kamar-kamar kos berukuran 2×3 m dengan dinding bebak, atap seng dan harga sewa Rp 150.000 sampai dengan Rp 200.000 per bulan, kontrak dengan kondisi yang tak kalah buruknya, numpang di rumah atau tanah orang lain/saudara, atau berpindah-pindah tempat. Tak heran jika penggusuran menjadi hal yang paling dikhawatirkan oleh para migran tak beraset. Pemerintah memang menyediakan rumah sangat sangat sederhana di daerah Alak, tetapi dengan uang muka sekitar Rp 5 Juta dan cicilan seharga Rp 250.000,- per bulan tentunya tidak terjangkau dengan pendapatan mereka yang hanya sebesar Rp. 300.000,- hingga Rp. 850.000,- per bulan. Belum lagi kelengkapan surat-surat sebagai syarat pembelian rumah yang tentunya memakan biaya untuk mengurusnya. Faktor lain, ketiadaan akses transportasi yang memadai dan murah juga menjadi penyebab keengganan warga migran pindah ke lokasi perumahan. Isu pemukiman juga tidak berhenti pada masalah perumahan secara fisik tetapi juga tanah yang kian hari semakin bersifat ekonomis dan memicu munculnya berbagai sengketa, baik antara masyarakat dengan negara, maupun antar masyarakat itu sendiri.

Sengketa antar masyarakat tidak hanya dipicu untuk nilai ekonomis tanah, tetapi juga masalah perebutan area parkir maupun ojek. Angka pengangguran yang cukup tinggi (14,8%) dan lapangan pekerjaan yang semakin sempit, membuat lapangan pekerjaan merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah Kota Kupang. Ketersediaan tenaga kerja yang berlimpah, sejatinya memudahkan moda industri selalu memiliki cadangan tenaga kerja yang muda dan “murah”, justru lebih banyak menghasilkan sektor informal dan pengangguran. Kebanyakan para migran lebih banyak bekerja sebagai buruh lepas sehingga tidak ada penghasilan tetap dan tidak memiliki kepastian akan kelangsungan pekerjaan. Berdasarkan cara memperoleh pekerjaan yang lebih banyak berasal dari informasi teman daripada pemerintah, menjadi satu bukti bahwa pemerintah belum terlalu banyak terlibat dalam dalam penyediaan lapangan pekerjaan bagi warga Kota Kupang.

Cukup tingginya laju pertambahan penduduk Kota Kupang (3,5%) dan semakin berkurangnya ketersediaan lahan untuk pertanian, menyebabkan para responden memandang pangan sebagai kebutuhan dasar yang penting untuk dipenuhi. Ironi kurangnya pangan ini juga diperberat dengan semakin tingginya tuntutan-tuntutan masyarakat untuk memenuhi kehidupan sebagai manusia modern, yang segalanya dikalkulasi oleh uang. Jika dahulu mungkin masyarakat masih bisa mengandalkan beras atau jagung kiriman dari kampung, saat ini mereka harus memberikan uang kembali ke kampung yang jumlahnya juga relatif lebih besar dari harga beras yang mereka beli di kota untuk jumlah yang sama. Apabila dulu mereka dapat berhutang beras dengan harga yang tetap sama, sekarang tidak lagi. Jika berhutang maka harus membayar lebih mahal untuk jumlah yang sama. Solusi lain yang dilakukan oleh warga adalah dengan mengurangi makan, menjadi 2 kali sehari bahkan beberapa responden menyebutkan 1 kali sehari. Pagi minum kopi pahit dan makan menjelang sore. Untuk menanam pun ketersediaan lahan tidak mencukupi, terutama untuk masyarakat migran yang tinggal di kos maupun kontrakan rumah. Meskipun memang ada pertanian kota yang dikelola oleh masyarakat (migran) dengan menggunakan lahan-lahan kosong milik negara, perusahaan swasta maupun individu, yang disewa untuk jangka waktu tertentu, namun biasanya hanya ditanami sayur-sayuran. Kurangnya pasokan makanan tentunya akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kecerdasan anak-anak di masa depan.

Impian tentang kota indah, megah dan berbudaya boleh jadi pudar ketika berbenturan dengan fakta yang ada. Populasi kota cenderung terus menerus membengkak, terlebih akibat dinamika wilayah yang terhubung dengannya. Masuknya migran tak beraset dan tak memiliki ketrampilan dari berbagai wilayah bisa jadi tak terhindarkan. Ketidaksiapan kota untuk mengelola pengungsian pembangunan ini, membuat semakin banyak warga miskin yang tidak memperoleh haknya, hak atas kota yang menurut David Harvey, seorang ahli geografi, bukan hanya kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak perkotaan juga menyangkut hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri. Pertanyaan besarnya adalah bagaimana mengelola kehidupan perkotaan agar siapapun yang tinggal di dalamnya tidak mengalami diskriminasi dalam pemenuhan hak dasarnya? Terlebih, jika pedesaan semakin tidak menarik sebagai wilayah hidup. Pengungsian ke kota bisa jadi adalah keniscayaan, dan pada saatnya kota akan mengalami keruntuhan seperti yang dialami banyak kota-kota besar di Indonesia dan dunia; pemukiman kumuh, kemacetan, problema sampah, kesenjangan sosial, kriminalitas dan problem yang umum dialami kota besar. Jika tidak ditangani Kota Kupang, hanya akan menjadi kota besar lainnya, tanpa ciri, lengkap dengan seluruh problemanya.

Pertanyaannya wajah kota seperti apakah yang kita inginkan di masa datang, bukan hanya secara fisik tetapi sungguh sebagai sebuah tempat bermukim, berkreasi, dan beradab?Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mengurusnya? ***(pikul)

Lainnya: