“Dalam dua tahun ke belakang, hingar-bingar perubahan iklim lebih banyak ditekankan pada aksi-aksi mitigasi yang seolah-olah ambisius, tetapi tidak membicarakan manusia di dalamnya. Konsekuensinya, ada banyak kelompok yang akhirnya ditinggalkan atau tidak dibicarakan dalam perubahan iklim; seperti kelompok disabilitas, buruh, petani, dan masyarakat adat”
Jakarta, Senin, 20 November 2023 – Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Yayasan Pikul, WALHI, dan YLBHI menyelenggarakan Diskusi Publik berjudul “Narasi Keadilan Iklim: Pentingnya Mendorong Peraturan Perundang-undangan terkait Keadilan Iklim” pada Senin (20/11). Diskusi yang dihadiri berbagai organisasi masyarakat sipil, anggota DPR RI, dan Komnas Perempuan ini membahas situasi perubahan iklim dan upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang semakin memburuk, dengan berfokus pada mendorong peraturan perundang-undangan yang menangani isu perubahan iklim secara berkeadilan.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono mencatat bahwa keadilan masih diabaikan dalam merespons perubahan iklim. “Dalam dua tahun ke belakang, hingar-bingar perubahan iklim lebih banyak ditekankan pada aksi-aksi mitigasi yang seolah-olah ambisius, tetapi tidak membicarakan manusia di dalamnya. Konsekuensinya, ada banyak kelompok yang akhirnya ditinggalkan atau tidak dibicarakan dalam perubahan iklim; seperti kelompok disabilitas, buruh, petani, dan masyarakat adat,” jelasnya. Padahal, keadilan iklim adalah sesuatu yang imperatif, agar terhindar dari pelanggaran hak asasi manusia ketika mengatasi perubahan iklim.
Indonesia saat ini belum memiliki aturan yang komprehensif untuk mengatasi perubahan iklim. Luluk Nur Hamidah, Anggota Komisi IV DPR RI, mengatakan peraturan terkait perubahan iklim masih sporadis dan terdapat kebijakan yang berbenturan dengan upaya pencegahan dan penanggulangan perubahan iklim, seperti UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Untuk itu, RUU Keadilan Iklim menjadi penting untuk dilihat sebagai instrumen hukum tertinggi untuk mengharmonisasi aksi dan kebijakan iklim yang sektoral. “Dengan modal keanekaragaman hayati, hutan dan laut yang besar, Indonesia punya posisi strategis untuk memimpin aksi perubahan iklim dalam skala internasional, agar tidak sekedar menjadi obyek atas dampak pembangunan negara-negara maju,” ujar Luluk.
Dalam mengarusutamakan RUU Keadilan Iklim, Muhammad Isnur, Ketua Badan Pengurus YLBHI, mengatakan perlu adanya evaluasi terhadap Undang-undang No. 39 tentang Hak Asasi Manusia terutama terkait dengan akuntabilitas. Tidak hanya itu, RUU Keadilan Iklim juga harus mengevaluasi aspek rekrutmen, penempatan, struktur, mekanisme koordinasi, dan lembaga-lembaga yang bekerja dalam pengawasan, penindakan, dan pengendalian. “Kita harus komprehensif memandang bagaimana RUU Keadilan akan diterapkan nanti, mulai dari norma, tata cara, dan kelembagaan secara menyeluruh,” jelas Isnur.
Raynaldo G. Sembiring, Direktur Eksekutif ICEL, menekankan pada pentingnya legislasi iklim dan kondisi pemungkin dalam mewujudkan keadilan iklim. Raynaldo mengutip studi IPCC dan beberapa pakar yang memproyeksikan produk legislasi terkait perubahan iklim yang disahkan di level nasional di beberapa negara dapat menurunkan emisi sebesar 0.78% per GDP selama tiga tahun pertama implementasi dan 1.79% setelahnya. Selanjutnya, Raynaldo melihat bahwa perwujudan keadilan iklim membutuhkan kondisi pemungkin yang setidaknya meliputi demokrasi, HAM, good governance, dan rule of law. Dengan kondisi pemungkin yang baik, keadilan iklim berpotensi memiliki substansi yang baik pula. Dalam agenda masyarakat sipil untuk mendorong keadilan iklim, perlu disusun indikator untuk memetakan situasi dan perjalanan keadilan maupun ketidakadilan iklim sampai saat ini.
“Indikator ini penting untuk memetakan gap apa yang perlu dijawab dalam substansi dan proses pembentukan RUU”, tutup Raynaldo.
Menyoroti dampak perubahan iklim kepada kelompok perempuan, Siti Aminah Tardi, Komisioner Komisi Nasional Perempuan, mengingatkan bahwa masalah struktural yang berasal dari pola pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia perlu untuk menjadi salah satu fokus. Secara data, dampak perubahan iklim akan lebih berat dialami oleh kelompok-kelompok rentan, misalnya perempuan yang mengalami dampak 14 kali lebih berat akibat bencana. Kondisi ketidakadilan iklim yang dialami oleh kelompok rentan turut diperparah oleh minimnya data yang terintegrasi dengan usia, gender, serta disabilitas. “Untuk itu, perlu adanya upaya untuk memperhatikan perempuan dan anak-anak, mencegah kelompok rentan mendapatkan kerugian lebih besar, memitigasi dampak pada kelompok rentan, dan mengharmonisasi seluruh kebijakan dan regulasi dalam inisiatif RUU Keadilan Iklim,” jelas Aminah.
Puspa Dewy, Kepala Divisi Kampanye WALHI Eksekutif Nasional, menyayangkan solusi mengatasi krisis iklim yang ditawarkan pemerintah masih bersifat business as usual dan belum meletakkan rakyat sebagai pemegang hak di dalam merespons krisis iklim. Selama ini, rakyat telah melakukan banyak inisiatif untuk bertahan dari krisis iklim, namun respons negara justru membuat rakyat lebih mengkhawatirkan. Solusi-solusi iklim yang ditawarkan justru menambah persoalan rakyat, penggusuran, deforestasi, perampasan wilayah kelola rakyat, hingga kriminalisasi. RUU Keadilan Iklim harus meletakkan prinsip keadilan di dalamnya, yaitu keadilan rekognitif, keadilan prosedural, keadilan distributif, keadilan korektif, keadilan antar generasi, dan keadilan gender di dalamnya, sehingga RUU Keadilan Iklim benar-benar hadir untuk kepentingan rakyat di dalam merespons krisis iklim. Oleh karena itu, Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim mendorong untuk;
1) Menjaga dan menciptakan kestabilan kondisi pemungkin perwujudan keadilan iklim
2) Dibahasnya narasi keadilan iklim dalam perdebatan di tahun politik
3) Diusulkannya RUU Keadilan Iklim untuk menjadi prioritas program legislatif nasional 2023