Bergerak Menuju Warga yang Lenting!

Perubahan dalam 365 hari program PfR, periode Tahun 2013

PfR Resillience Vision Tree

VISI tentang kelentingan adalah gerak-maju dari berbagai investasi pengurangan risiko bencana. Ini berarti menempatkan masyarakat sebagai pusat aktifitas dengan memberdayakan mereka untuk memperkuat penghidupan mereka, bekerja antar-disiplin ilmu dengan penggabungan kekuatan dari organisasi-organisasi yang bekerja dalam kemitraan. Juga memperluas fokus; agar meliputi ekosistem yang lebih luas dengan mempertimbangkan rentang waktu yang lebih luas, menghubungkan kerja-kerja kemanusiaan dan kerja pembangunan (diterjemahkan dari Dokumen PfR Resilience Vision, November 2012).

Proyek Partners for Resilience (PfR) adalah proyek yang dirancang untuk menjawab tiga tujuan; pertama perbaikan ketahanan penghidupan dan pengurangan kemiskinan, kedua peningkatan kapasitas masyarakat sipil, serta yang ketiga adalah advokasi dalam dalam kaitan dengan kemampuan beradaptasi terhadap perubahan iklim (CCA: Climate Change Adaptation), pengurangan resiko bencana (DRR: Disaster Risk Reduction) dan manajemen ekosistem (EMR: Ecosystem Management and Recovery) yang dilakukan berbasis masyarakat melalui pemberdayaan penghidupan.

Program PfR menggabungkan tiga elemen; yaitu DRR, CCA dan EMR karena dalam kenyataannya, ketiga isu tersebut saling berhubungan.

Partners for Resilience adalah proyek yang didukung oleh Pemerintah Belanda untuk periode lima tahun sejak April 2011 dan akan berakhir pada Desember 2015. PfR dilaksanakan lewat sebuah konsorsium yang terdiri dari CARE Belanda, Palang Merah Belanda, Cordaid, dan Wetland International. Sementara kerjasama CARE International Indonesia dan Pikul untuk proyek PfR telah berakhir pada 31 Desember 2013.

Di Indonesia, Konsorsium PfR bekerjasama dengan lembaga-lembaga mitra masing-masing, yaitu Perkumpulan Pikul, Jaringan INSIST, Karitas Indonesia (KARINA), Wetland International Indonesia, dan Palang Merah Indonesia.

Proses fasilitasi rencana aksi perubahan dalam visioning desa Naip, TTS

Di wilayah pulau Timor, PfR dilaksanakan lewat kerja sama CARE International Indonesia dan Perkumpulan Pikul, Kupang. pada delapan desa di dua kabupaten, Kabupaten Kupang (Desa Oelatimo, Desa Tolnaku, Desa Nunsaen, Desa Oelbiteno) dan Timor Tengah Selatan (Desa Batnun, Desa Linamnutu, Desa Oekiu dan Desa Naip)

Dalam implementasi CARE dan Pikul menggunakan pendekatan berbasis asset atau Asset Based Approach dengan menggunakan metode Appreciative Inquiry. Metode ini berupaya untuk mengeksplorasi, menemukan dan pada saat yang sama menghargai kekuatan-kekuatan, keberhasilan-keberhasilan, dan potensi-potensi di masa lalu dan masa sekarang. PIKUL akan menyesuaikan pendekatannya yang unik agar sesuai dengan tujuan PfR dan membantu dalam pencapaian tujuan proyek.

Di tahun 2011 dan 2012, PfR meletakan dasar bagi usaha-usaha mencapai kelentingan warga. Usaha-usaha ini kemudian diterjemahkan menjadi visi perubahan di tingkat komunitas masing-masing.

Dalam review tahunan PfR yang dilakukan PIKUL pada Januari 2013, menunjukan fakta menarik. Secara cepat, kami melakukan penjajakan terhadap aktifitas yang dilakukan komunitas dan yang secara langsung didampingi oleh pendamping lapangan program PfR PICA. Identifikasi itu kemudian kami hubungkan dengan pernyataan Visi dan Rencana Tindak Lanjut dari komunitas.

Ajaibnya, hampir semua aktifitas yang dilakukan terhubung dengan apa yang mereka visikan; yaitu menuju komunitas yang lenting ketika menghadapi krisis.

Salah satu keunikan dari pelaksanaan program PfR yang dilakukan Pikul-CARE adalah adaptasi metode Asset Bassed Approach/Appreciative Inquiry (ABA/AI) dalam perencanaan aksi perubahan. Tekanan ini berbeda dengan pendekatan problem solving karena dengan ABA/AI warga kemudian diajak untuk menemukan kekuatan positif dari pengalaman baiknya – yang dalam pendekatan DRR disebut dengan kapasitas- dan melipatgandakannya.

Dari survey cepat itu juga kami kemudian mencoba melihat tingkat mobilisasi aset yang terjadi pada aktifitas program ini. PRBBK (Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas) mensyaratkan mobilisasi aset dari penyelenggara program seharusnya berada pada titik minimal. Mobilisasi aset seharusnya tinggi pada sisi komunitas. Dalam artian bahwa komunitaslah yang bergerak lebih banyak dibanding kita sebagai fasilitator atau “orang luar”.

Kami senang, karena penjajakan cepat mobilisasi aset dalam enam bulan terakhir ini menunjukan ratio 75 : 25. 75% mobilisasi aset dilakukan oleh komunitas, sementara 25% yang secara langsung merupakan input dari program. Bagi kami, ini menunjukan bahwa dinamika di komunitas masih didominasi oleh inisiatif komunitas. Sebuah tanda bahwa konsep PRBBK masih bisa kami jalankan dengan maksimal.***(danny wetangterah)

Post Related

Scroll to Top