Kertas Kebijakan Tentang Kebijakan Pemda, Undang-Undang Desa, dan Kedaulatan Pangan di Nusa Tenggara Timur.
Kertas kerja dapat dilihat di sini: https://tinyurl.com/2p9556d8
Bicara pangan mau tidak mau bicara gizi. Itu karena yang dibutuhkan tubuh sebenarnya adalah kandungan gizi dari pangan yang dikonsumsi. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan merumuskan konsep ketahanan pangan sebagai “kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.”
Selanjutnya dinyatakan, “mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan,” sementara “Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.” Dengan demikian salah satu ukuran terpenuhinya pangan adalah kecukupan karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral bagi tubuh. Itu sebabnya pada banyak dokumen dan artikel terkait ketahanan pangan sering ditemukan pembahasan tentang kondisi bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR); status gizi balita; status wanita usia subur yang mengalami kekurangan energi kronis (KEK), Anemia akibat kekurangan zat besi pada ibu hamil, serta Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY).
Karena itu adalah menarik ketika banyak lembaga penggiat masalah pangan masih berkutat pada persoalan produksi pangan, pada ukuran jumlah produksi dan ketersediaan –yang umumnya fokus pada– pangan pokok, Perkumpulan Pikul Kupang justru menyoroti persoalan produksi dan konsumsi gizi di tingkat lokal pedesaan. Ini adalah sebuah langkah maju. Pertama karena persoalan produksi dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, yaitu bukan lagi kecukupan jumlah, tetapi kecukupan (dan keseimbangan) kandungan gizinya. Kedua, upaya mendorong pemenuhan gizi seimbang tidak dilakukan dengan semata-mata memberi penyuluhan pangan seimbang gizi sebagaimana lazim dilakukan instansi pemerintah atau kelompok ibu-ibu PKK, tetapi dengan mendorong masyarakat memanfaatkan potensi pangan sumber gizi yang ada di sekitar tempat tinggalnya, sekaligus meningkatkan ketersediaanya dengan berproduksi.
Apa yang dilakukan Perkumpulan Pikul bersandar pada dua keyakinan pokok, yaitu bahwa pemenuhan gizi masyarakat bisa dicapai dengan memperkenalkan pola konsumsi pangan beragam; dan bahwa pola konsumsi pangan beragam itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan potensi pangan yang tersedia di lingkungan sekitar tempat tinggal masyarakat. Boleh dibilang Perkumpulan Pikul menggunakan pendekatan “kedaulatan gizi.” Istilah ini sekedar untuk memberi penegasan perbedaannya dengan praktik kampanye dan advokasi kedaulatan pangan yang cenderung berpusat pada aspek produksi pangan pokok atau sumber karbohidrat, belum masuk ke soal keberagaman dan keseimbangan gizi.
Di dalam RPJMD NTT 2008-2013, persoalan pangan disebut di dalam 1 dari 4 Strategi Pokok Pembangunan Daerah, dan di dalam 2 dari 8 Agenda Pembangunan Daerah. Pada Strategi Pokok Pembangunan Daerah yang kedua, “Peningkatan Kualitas Kehidupan Masyarakat,” disebutkan bahwa “…diarahkan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat NTT dalam segala aspek terutama yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yaitu kebutuhan akan pangan (cetak tebal dari penulis), kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.” Pada Agenda Pembangunan Daerah, urusan pangan disebut di dalam rumusan Arah Kebijakan Agenda Pembangunan Kesehatan dan Agenda Pembangunan Ekonomi.
Pendekatan yang digunakan Pemda NTT di dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakat adalah pendekatan ketahanan pangan yang didasarkan pada pangan sebagai komoditi. Produksi di tingkat petani diabdikan untuk peningkatan nilai ekonomis produk pangan agar dapat meningkatkan pendapatan petani, yang berujung pada peningkatan daya beli petani terhadap produk pangan. Pendekatan ini belum sepenuhnya dapat menjawab persoalan pemenuhan pangan mayoritas masyarakat di NTT yang berkarakter produksi pangan subsisten dan berfokus pada produksi dan konsumsi pangan pokok penghasil karbohidrat.
Undang-Undang 6 Tahun 2014 tentang Desa memberikan kesempatan yang lebih besar kepada pemerintah dan masyarakat desa di dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan terkait kehidupan masyarakat desa itu sendiri, termasuk di dalamnya kebijakan pemenuhan pangan. Tidak sekedar wewenang, Undang-Undang Desa juga melengkapi desa dengan kemampuan pendanaan yang besar yang bersumber dari APBN (dana desa) dan APBD (dana alokasi desa).
Undang-Undang desa dan sejumlah peraturan pemerintah sebagai landasan operasional UU Desa membuka peluang bagi strategi dan kebijakan pangan berpespektif Kedaulatan Pangan di tingkat desa. ***