Angin awal Desember berhembus kencang, desirnya jelas terdengar. Daun-daun dan ranting-ranting pohon di hutan Uiutlui pun turut, kicau burung-burung tak cukup imbangi. Dari kejauhan, terdengar deru ombak yang pecah di batu-batu karang di pinggir pantai Batuinan, Pulau Semau, Nusa Tenggara Timur. Itu seperti pekik kegelisahan-alam yang telanjang: tanah gersang, pohon-pohon tumbang, dan sumber mata air kering oleh sebab ulah manusia yang tak tanggung-tanggung merusak segala kepunyaan alam.
Batuinan sebagaimana namanya ‘batu ibu, batu induk’ tak lagi menyembur air dari celah-celah bebatuan. Mata air untuk bertahun-tahun lamanya menjelma ‘air mata’ di dalam tangki-tangki mobil. Tanpa empat lembar lima puluh ribu, tak ada makan, tak ada minum. Atau seperti Uiutlui, sumber mata air yang dijadikan nama hutan hanya menyisakan cerita tentang air yang muncul dari balik batu berbentuk perahu. Itu batu telah pecah, perahu telah patah sebab air telah enyah, segalanya nyaris telanjang.
“Orang tua di sini bilang tanah itu daging, air itu darah, batu itu tulang, pohon-pohon atau hutan itu pakaian. Selama ini katong tidak urus, senang merusak. Katong sudah bikin dong punya pakaian tarobek, alam sudah telanjang,” ungkap Yostan Balle, salah satu tuan tanah di hutan Uiutlui, Batuinan.
Orang-orang di Batuinan meyakini alam seperti tubuh manusia yang perlu dihargai, dijaga dan dirawat sebagaimana manusia itu sendiri. Namun demikian, keyakinan tersebut dalam beberapa dekade terakhir tidak dihidupi.
Demi membajui kembali alam yang telanjang itu, Yostan bersama rumpun keluarganya menyerahkan lahan seluas empat hektar untuk dijaga, dilindungi, dan dilestarikan untuk keberlangsungan hidup orang-orang di Batuinan. Lahan tersebut berupa hutan yang merupakan tempat-sumber mata air Uiutlui berada.
Foto
Talas: Ritual Konservasi
Selasa, 8 Desember 2020 cuaca di Batuinan tampak bersahabat setelah Senin malam hujan deras mengguyur Pulau Semau. Malam dimana tim konsultan Perkumpulan PIKUL diguyur hujan dalam perjalanan dari Pelabuhan Onan Batu menuju Desa Batuinan. Tubuh-tubuh basah di malam itu terbalaskan dengan cerah di esok hari, sepatu dan pakaian bisa dikeringkan. Lebih dari itu, ritual konservasi yang oleh orang-orang Batuinan disebut Talas dapat dilangsungkan dengan baik, penuh hikmat.
Talas, sebuah ritual yang disemat dengan kata dalam Bahasa Helong yang berarti tanda/larangan dan berisikan perjanjian (hui kahit). Di Pulau Semau, ritual ini biasanya dilakukan terutama pada batas tanah antar suku dan Talas wilayah pesisir dengan tujuan konservasi. Sedangkan Talas pada hutan ataupun sumber mata air, sejauh ini belum pernah dilakukan. Diperkirakan, ritual tersebut tidak dijalankan sejak akhir abad ke-19.
Momen 8 Desember, sejarah baru bagi penghuni Pulau Semau khususnya masyarakat Desa Batuinan. Siang itu pukul 12:50 WITA di tengah hutan Uiutlui, Talas hutan dilakukan untuk pertama kali. Peristiwa sakral itu dibuka dengan basan (dialog dalam tutur adat) antara kelompok tuan tanah diwakili Yostan Balle dan kelompok masyarakat yang diwakili oleh Hendrik Rehiarr, seorang tua adat. Basan pembuka yang dilangsungkan dengan bertukar tutur itu berisikan niat penyerahan lahan dari tuan tanah kepada masyarakat untuk kemudian dimanfaatkan bagi kepentingan umum.
“Sekarang pemilik lahan dan kita semua yang hadir saat ini telah sepakat, satu hati, satu komitmen bahwa lahan yang diberikan seluas empat hektar di Uiutlui akan dikonservasi untuk mengembalikan fungsi hutan dan fungsi air,” jelas Apner Yopi Pallo, pemandu ritual, mantan Kepala Desa Batuinan.
Dialog pembuka lalu dilanjutkan dengan penyerahan yang juga diawali dengan basan antar kedua kelompok. “Lewat tanah, pohon, batu dan air adalah simbol dari lahan yang akan diberikan kepada tokoh adat, tokoh gereja, pemerintah dan seluruh masyarakat untuk melakukan konservasi.”
“Nini nun Minggus sia
le halinam, Mulan pait se bubu mo Napan
Le halinam, Fu mo blingin mo susu ma uin
Nusu au mo ninung au
Le halinam, nahlingu mo nam sai pait
Le halinam, kaim harap mo nahlae
“tanam ini pohon, lindungi ini tanah
esok lusa jadi rimbun, ada harap
semua masuk kembali ke ini air.
Penuh hikmat, syair dituturkan. Yostan Balle terbata kata, air matanya menetes saat akan menyerahkan anakan pohon kepada Hendrik Rehiarr, simbol bahwa lahan tersebut secara resmi jadi milik umum. Itu pohon lalu ditanam Hendrik, sedang Yostan tegak berdiri dengan mata berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian seperti hujan, tetes air matanya mulai jatuh ke tanah, persis air disiramkan Hendrik pada anakan pohon yang baru saja ditanam.Ritual dilanjutkan kepada Talas itu sendiri. Salah satu tumpukan batu (tanda-batas) diselimuti dengan sarung tenun bermotif Helong sebagai simbol membajui alam yang telanjang. Sarung itu sekaligus sebagai larangan yang tidak boleh dibuka atau dilanggar oleh siapapun. Semua orang dilarang untuk melakukan aktivitas apapun, baik dari tuan tanah maupun masyarakat di hutan yang telah dikonservasi.
“Kayu kering juga tidak bisa ambil, supaya pohon-pohon bisa subur, hutan jadi lebat, pasti air akan muncul. Kalau ada yang langgar, ya dia berurusan dengan Tua Neno (Penguasa Langit), tua adat dan masyarakat di sini. Orang yang melanggar Talas, bisa sakit, bisa mati,” tegas Yostan lelaki kelahiran 7 Juli 1951 yang juga mantan Pamong Batuinan periode 1977-1983.
“Bila ada pelanggaran, yang bersangkutan akan didenda berupa sejumlah uang. Sanksi lebih tegas, sanksi dari alam. Apalagi sudah selimut dengan kain, bahaya itu, bisa korban nyawa,” sambung Hendrik, mantan Kaka Ama Holbala (1986-2017).
Seusai tumpukan batu diselimuti sarung, rombongan berarak menuju sumur atau sumber mata air Uiutlui. Sumur dengan dinding tembok persegi itu tiada air. Di dalamnya hanya ada ‘batu perahu’ yang tak lagi nampak bentuknya sebab sebagian penahan sudah rubuh. Di bibir sumur, Hendrik kembali melakukan basan dengan harap air bisa kembali muncul di dalamnya. Secara simbolis, ia lalu menuangkan air ke dalam sumur seusai basan. “Talas ini harus berhasil. Beta yakin, tiga tahun sudah jadi, Talas sudah punya hasil.”
Uiutlui: Sumur Kering yang Basah Oleh Kotbah Pendeta
“Bumi telah kami rusak, hutan telah kami tebang, alam sangat menderita. Biarlah moment Talas ini menjadi tonggak baru bagi kami untuk memperbaiki kesalahan terhadap Tuhan dan alam ini. Biarlah kami kembali menyadari bahwa alam ini adalah sahabat kami.”
Suara Pendeta Yulius Mau Wadu bergema di tengah hutan di pinggir sumur Uiutlui saat memulai ibadah. Demikian Talas diakhiri dengan ibadah bersama yang dipimpin oleh Yulius, Ketua Majelis Jemaat Pniel Batuinan.
Pendeta Yulius dalam kotbahnya merenungkan peristiwa surutnya Air Bah yang dialami Nabi Nuh, keturunannya dan segala ciptaan yang sempat diselamatkan di dalam bahtera. Kisah itu termaktub dalam Kitab Kejadian Pasal 8: ayat 20-22.
“Air itu lambang kehidupan. Kalau air sonde ada, maka kehidupan itu terancam. Tetapi dalam peristiwa Air Bah, air yang jadi lambang kehidupan justru menjadi malapetaka. Tuhan lakukan itu menghukum bumi dan manusia karena kejahatan,” kotbah Yulius diiringi kicau burung-burung dan desir angin di Uiutlui.
Dalam renungan itu, Yulius kepada jemaat dan semua orang yang hadir menjadikan hukuman Tuhan sebagai usaha penyadaran bagi umat manusia. Cara pandang dan perilaku manusia kepada alam perlu diubah termasuk kepada alam, tempat manusia itu ada. Manusia dan alam adalah unity, sudah sepatutnya manusia tidak menjadi superior atas alam yang menghidupinya.
“Tuhan cipta ini alam, baik adanya. Lalu Ia cipta manusia untuk jaga ini alam” bukan sebaliknya manusia menjadi perusak atas tempat huni segala ciptaan, perlu ada keseimbangan. “Manusia tidak boleh egois bahwa hanya dialah yang punya hak atas alam ini. Dengan menjaga hutan, air, kita telah menghargai apa yang menjadi milik dan tanggung jawab umat manusia!”
Talas sebagai ritual kebudayaan dipertegas dengan ritual keagamaan menampakkan kuatnya inkulturasi, tentu memperkokoh usaha manusia dalam menjaga alam. Dua ritual yang berbeda dijalankan dengan satu tujuan adalah citra dari manusia untuk mengembalikan fungsi hutan yang sesungguhnya.
PIKUL Menjawab Harapan Masyarakat Tentang bagaimana Talas bisa dilangsungkan.
Pada akhir November 2020 tim konsultan untuk Dokumentasi dan Registrasi Wilayah Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) memverifikasi wilayah-wilayah di Pulau Semau yang berpotensi untuk dikonservasi. Desa Batuinan adalah salah satu dari beberapa wilayah lainnya seperti Uiboa, Uitiuh Ana dan Uiasa.Talas lalu menjadi pilihan yang tepat setelah komunikasi antara tim konsultan (Perkumpulan PIKUL) bersama para tuan tanah, tua adat (Kaka Ama), anak marga, pemerintah desa dan masyarakat.
“Dari dulu memang sudah ada pikiran untuk Talas, tapi saat itu belum ada dukungan baik dari pihak luar, orang-orang di sini, pemerintah desa, tua adat, majelis,” kisah Yostan Balle.
Yostan pun menandaskan, niat dan harapan itu menyata saat konsorsium mitra kerja di Semau dengan PIKUL sebagai host menyanggupi usaha tersebut. “Ternyata yayasan di bawah asuhan PIKUL, semua datang dan katong sampaikan katong punya pikiran, katong punya ide ini, ditanggapi dengan baik. Ada jawaban, PIKUL bisa bantu secara dokumentasi, tulisan dan dana.”
“Di Semau semasa beta hidup, Talas hutan baru dilakukan untuk pertama kali. Selama ini sonde ada, katong hanya tahu lewat cerita-cerita orang tua, lewat basan,” ungkap Hendrik Rehiarr, lelaki kelahiran 19 Januari 1937.
Hendrik turut berkisah, dahulu Uiutlui hutan yang lebat dengan mata air yang tak pernah kering. Masyarakat Batuinan sangat bergantung pada keberadaan hutan Uiutlui. “Dulu, selain buat makan-minum, air di Uiutlui dipakai untuk tanam bawang, cabe, tomat, pokoknya bisa berkebun. Tapi akhir-akhir ini, alam dirusak, air kering.”
Mereka berharap melalui Talas, hutan bisa kembali berfungsi seperti sedianya. Air kembali melimpah, kebutuhan rumah tangga, perkebunan, dan aktivitas lain yang ‘bergantung’ pada Uiutlui, kembali dirasakan.
Seperti Hendrik yang punya keyakinan, dalam tiga tahun ke depan atau tepatnya pada 2023, hutan Uiutlui menunjukkan hasil. Oleh sebab itu ia pun berharap agar Talas yang telah dilangsungkan pada awal Desember 2020, benar-benar dijalankan dengan baik.
“Katong sudah buat Talas, hutan Uiutlui itu bukan hanya tuan tanah yang jaga tapi katong semua yang ada di sini.”
Tulisan Oleh: Herman Efriyanto Tanouf