Delapan orang perempuan setengah baya tengah berkumpul di antara ranting dan daun tanaman Tarum sambil tangan mereka lincah memetik satu per satu daunnya. Sambil bercengkerama mereka pindah dari satu pohon ke pohon yang lain. Awan menurunkan gerimis perlahan menemani perjalanan mereka mengumpulkan daun Tarum ke rumah tempat mereka biasa beraktifitas.
Para anggota kelompok tenun Pahlawan pagi itu berkumpul di rumah kepala dusun sambil membawa kain tenun ikat mereka dan dikumpulkan pada satu meja. Tumpukan kain berwana biru dengan motif buna memenuhi meja. Kami berbincang seputar kain dan pasta yang biasa mereka buat. Ya, mereka bersepakat untuk membuat pasta tarum hari ini untuk bahan pewarna benang. Aksi Pembuatan Pasta Tarum merupakan usulan dari kelomopok tenun Dusun Taumin Desa Bosen TTS, karena mereka melihat tanaman ini banyak ditemukan di pekarangan rumah dan kebun mereka. Kelompok tenun perempuan melihat aktivitas ini sebagai cara beradaptasi dengan perubahan iklim yang diusulkan mereka dalam visioning yang dilakukan pada 2021 lalu.
Aksi dimulai dengan mengumpulkan daun tarum di sekitar pekarangan rumah kepala dusun kemudian berpindah ke halaman rumah lain yang tidak jauh dari tempat itu. Daun tarum yang sudah dipetik kemudian dibersihkan menggunakan air bersih dan selanjutnya direndam di dalam baskom yang berisi air dan ditekan menggunakan pemberat lalu didiamkan selama tiga hari dua malam. Rendaman daun tarum kemudian akan disaring untuk diambil sarinya. Setelah sudah menjadi pasta, dicampurkan dengan air, kapur sirih, dan larutan gula merah untuk mengikat warna pada benang yang akan dicelup. Menurut cerita anggota kelompok proses pencelupan dilakukan sebanyak sepuluh kali dan memakan waktu kurang lebih dua minggu. Hal ini dimaksudkan agar warna pada kain tenun tidak mudah luntur dan lebih tahan lama. Proses selanjutnya, benang yang sudah dicelup pada pasta akan ditenun dengan waktu menenun yang beragam pula, tergantung ukuran kain yang dipesan.
Dengan mengandalkan pengetahuan menenun mereka yang pernah mati suri dan hidup kembali pada tahun 2018, mereka mulai aktif sejak itu untuk memanfaatkan daun tarum sebagai bahan baku pewarnaan tenun. Tarum (Indigofera tinctoria) bahan baku pewarna alami yang sangat mudah ditemukan di pekarangan Dusun Taumin, Desa Bosen TTS. Mereka diperkenalkan oleh sebuah lembaga pemerintah yang melakukan pelatihan kala itu. Pengetahuan mereka tentang tanaman ini sebenarnya sudah ada, tetapi pemanfaatannya baru dilakukan pada tahun 2018 setelah pelatihan tersebut. “Dahulu nenek-nenek yang menenun tidak menginjinkan kami melihat pekerjaan mereka, mereka usir kami ke tempat lain. Jadi kami tahu kalau ini tanaman bisa bikin pewarna tapi tidak ada yang latih kami” aku Lina Toto, salah satu anggota kelompok tenun.
Menenun tidak hanya sebagai sebuah aktivitas kebudayaan yang sudah dilakukan secara turun temurun oleh Perempuan di Timor. Akan tetapi saat ini menjadi salah satu sumber penghasilan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan menyekolahkan anak mereka. Pada saat keadaan darurat seperti bencana alam, mereka pun bisa memanfaatkan tenunan ini untuk dijual dan mendapatkan uang secara cepat.
Sesuai dengan tiga pilar utama CSDRM (Climate Smart Disaster Risk Management) atau Manajemen Risiko Bencana yang Cerdas Iklim, yaitu Mengatasi Risiko dan Ketidakpastian Bencana, Meningkatkan Kapasitas Adaptif dan Mengatasi Kemisikinan, Kerentanan dan Penyebab Struktural. Para anggota kelompok perempuan penenun ini sudah cerdas menghadapi resiko apa saja yang akan terjadi jika bencana terjadi. Menenun dan menjual kain tenun merupakan sikap yang adapatif atau mampu menyesuaikan diri dengan perubahan iklim sehingga membantu secara ekonomi. “Ada nilai budaya dan ekonomis dalam aktivitas kelompok mereka. Pilar ketiga ini yang termasuk di dalamnya, jadi tenun ini bisa menjadi salah satu mata pencaharian yang mereka lakukan. Karena mereka harus punya banyak mata pencaharian, jadi hal ini bisa menjadi suatu keterampilan atau kemampuan yang tidak semua orang miliki”. jelas Zadrakh Mengge, project officer dan advocacy program YFF-ICDRC.
Aksi ini pun mendorong mereka untuk mempelajari bahan baku lain yang mungkin saja bisa dipakai untuk membuat pasta tenun. “Kalau kami dikasih tau ada bahan lain, kami mau belajar. Artinya, kalau ada pelatihan kami senang mau ikut” jelas Lina Toto. Di samping itu akses pasar pun masih diupayakan oleh mereka. Biasanya mereka akan menggunakan jasa mobil travel untuk distribusi kain kepada pelanggan. Mereka masih bekerja sesuai pesanan saja. Kelompok tenun ini masih membutuhkan dukungan mulai dari penguatan kapasitas, produksi hingga pemasaran.***