Perjalanan dari Desa Leloboko ke Oelbanu menjadi cukup melelahkan padahal jarak antar dua Desa yang bertetangga, jarak tempuh yang cukup dekat, kurang dari 2 kilometer memakan waktu tempuh lebih lama karena kondisi jalan yang sulit diakses saat musim hujan.
Setelah sampai di Desa Oelbanu kami memutuskan untuk melakukan asesmen dengan berkunjung ke masing-masing Dusun hari berikutnya dengan harapan bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda dari kunjungan tersebut sekalian berkenalan dengan warga desa. Ada empat dusun di Desa Oelbanu. Setelah berkunjung ke dusun-dusun dan mendengarkan banyak cerita, kami menemukan hal menarik dari cerita mama-mama di Dusun III Desa Oelbanu tentang Madu Amfoang.
Kecamatan Amfoang terletak di kaki Gunung Timau, terletak kurang lebih 65 kilometer arah timur laut Kupang. Pegunungan ini menyimpan hasil hutan yang beragam, madu hutan salah satunya. Madu hutan Amfoang merupakan jenis madu yang cukup terkenal karena manfaat dan rasanya. Salah satu tempat di Amfoang yang juga menghasilkan madu ini adalah Desa Oelbanu, Amfoang Selatan. Madu hutan dari Desa Oelbanu terkenal akan keasliannya karena tanpa campuran apapun.
Pada bulan Mei, Juni, Juli saat musim panas, perempuan ikut menemani saat memanen madu ke hutan, dengan memakai pakaian serba hitam, membawa segala perbekalan yang juga berwarna hitam, seperti nasi hitam dari padi hitam, ayam hitam dan tanpa penerangan, mereka pergi ke hutan yang merupakan areal lahan milik mereka. Bukan tanpa alasan segala yang dibawa serba hitam dan tanpa penerangan. Segala yang terang akan mengundang lebah untuk mendekat dan bahkan sampai menyengat tubuh. Untuk itulah, pada siang hari saat masih ada cahaya matahari para pria akan menghafal letak pohon yang terdapat sarang madunya serta jalan menuju ke lokasi pohon tersebut, sehingga saat malam barulah dilakukan pemanenan, sehingga sekalipun tanpa penerangan, pemanenan masih mudah dilakukan. Pemanenan akan diiringi oleh senandung oleh para perempuan yang melantunkan sajak yang dipercaya dapat mengusir lebah dan menyemangati para pria saat memanen lebah. Namun kegiatan ini sudah jarang dilakukan masyarakat desa Oelbanu, kalaupun dilakukan maka ada beberapa hal yang dihilangkan, selain karena perkembangan kepercayaan, juga karena hasil hutan berupa madu ini berkurang tahun kemarin akibat bencana seroja banyak menumbangkan pohon fanik atau pohon tempat lebah madu membuat sarang seperti kabesak dan kayu putih yang merupakan dua pohon utama yang menjaga keberlangsungan madu Amfoang. Pohon fanik/kabesak adalah tempat lebah membuat sarangnya sedangkan pohon kayu putih adalah tempat lebah mengambil nektar dari bunga kirinyuh (Chromolaena odorata L.).
Namun berbeda dengan waktu kecil dulu, menurut Mama Yublina Nait’ek beberapa tahun terakhir ini warna madu dari Desa Oelbanu sudah tidak segelap dulu. Warna madu yang dulunya merah gelap kecoklatan kini berubah menjadi lebih pucat. Menurut penuturannya warna pucat ini disebabkan oleh karena nektar yang diambil oleh lebah bukan lagi nektar dari kayu putih melainkan ada campuran nektar dari bunga putih atau kirinyuh atau nama Latinnya Chromolaena odorata sehingga warnanya lebih pucat.Rupanya proses ini juga secara tidak langsung mempengaruhi rumor dari pasar madu Amfoang. Kabar yang berkembang bahwa madu dari desa Oelbanu tidak lagi asli melainkan sudah ada campuran air. Padahal, madu yang berwarna pucat ini karena berkurangnya populasi pohon kayu putih sehingga lebah mengambil nektar dari tanaman lain seperti bunga putih atau kirinyuh ini.
Kayu putih hanyalah salah satu dari beberapa pohon yang merupakan sumber nektar dari madu. Pohon lainnya yang menjadi sumber nektar madu adalah pohon kesambi (Schleichera oleosa), ampupu dan beberapa pohon serta tanaman lainnya. Vegetasi hutan yang berkurang akibat bencana alam dan aktivitas manusia akan sangat mempengaruhi jumlah populasi dari spesies-spesies pohon tersebut. Salah satu upaya untuk merehabilitasi hutan adalah dengan merawat anakan-anakan pohon yang ada di hutan. Rehabilitasi hutan tidak melulu soal menanam pohon, merawat yang sudah ditanam jauh lebih penting dari sekedar “membuang benih” atau menanam anakan.
Selain lebah madu dan ekosistemnya, masih ada sekitar 63 spesies sumber daya alam yang berasal dari hutan, pekarangan dan kebun di Desa Oelbanu. 63 spesies flora dan fauna tersebut merupakan sumber penghidupan bagi masyarakat Desa Oelbanu, baik untuk kebutuhan hidup sehari-hari seperti pangan, papan, medis, maupun sumber penghasilan masyarakat desa Oelbanu.
Kerajinan tenun juga masih digeluti oleh perempuan-perempuan Desa Oelbanu tetapi sayangnya benang pintal dan pewarna alami sudah mulai ditinggalkan oleh para perempuan penenun. Serbuan benang pabrik, pewarna sintesis, serta permintaan pasar akan kain tenun asli yang sangat berkurang, mulai menghilangkan kain tenun asli. Pengetahuan mewarnai tenun secara alami dan memintal benang sendiri hampir tidak lagi dimiliki oleh perempuan-perempuan muda usia kurang dari 40 tahun di Desa Oelbanu. Pengetahuan ini hanya dikuasai oleh beberapa mama-mama yang sudah lanjut usia dan yang memiliki gangguan penglihatan. Hal ini juga berdampak pada masalah keberlanjutan spesies tanaman sumber pewarna dan kapas sebagai bahan benang pintal. Tanaman yang hilang pemanfaatanya akhirnya tidak lagi diperhatikan, ditanam apalagi dirawat. Contoh nyata adalah tanaman kapas di Desa Oelbanu yang mulai jarang ditemukan.
Jika selama ini kita hanya menanam tanpa merawat anakan pohon atau tumbuhan yang kita tanam maka sudah saatnya kita sadar bahwa menanam tanpa merawat sama dengan membiarkan hutan kita semakin terpuruk dan berkurang spesiesnya. Pemerintah dan masyarakat haruslah mulai bersikap. Jika tidak segera ditangani, masalah soal madu Amfoang dan tenun yang mulai muncul ini bukan tidak mungkin akan semakin melebar dan berdampak pada keberlangsungan madu Amfoang yang terkenal itu dan spesies tanaman-tanaman khas untuk tenun asli.
Memanfaatkan hasil hutan seperti mengolah pangan lokal, memintal benang, mewarnai benang hanyalah sekian kecil dari contoh pemanfaatan hutan untuk penghidupan. Konservasi hutan sebenarnya dapat dilakukan dengan sesederhana mungkin, cukup memanfaatkan flora dan fauna, dan melanjutkan keberlangsungannya dengan menumbuhkan dan merawat flora dan fauna yang sudah kita tanam. (Yendri Fallo)