“Perempuan berperan penting dalam penyediaan, pengelolaan dan pelestarian sumber daya air (Women play a central part in the provision, management and safeguarding of water)” – Konferensi Internasional Air dan Lingkungan Dublin, Januari 1992
Perempuan memiliki peran penting dalam pengelolaan sumber daya air. Selain sebagai konsumen air, perempuan juga menjadi pengelola air di lingkungan domestik dan komunitas mereka. Akan tetapi, perempuan seringkali tidak banyak dilibatkan dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya air seperti pembangunan infrastruktur air dan perencanaan pengelolaannya.
Secara historis, perempuan telah memainkan peran dalam mengumpulkan, menyimpan dan mendistribusikan air untuk kebutuhan rumah tangga dan komunitas mereka. Berdasarkan data UNICEF tahun 2015, pemenuhan kebutuhan air di delapan dari sepuluh rumah tangga diserahkan kepada perempuan dewasa dan anak perempuan. Sementara hanya 19,5 persen rumah tangga yang kebutuhannya dikumpulkan oleh laki-laki. Laporan dari UNICEF dan WHO (2021) menyebutkan bahwa di Indonesia persentase rumah tangga berdasarkan jenis kelamin orang yang mengumpulkan air untuk kebutuhan sehari-hari di wilayah pedesaan sebesar 8% untuk laki-laki dan 14% persen untuk perempuan. Berdasarkan data tersebut, nampak ketimpangan gender dalam hal pemenuhan kebutuhan air dalam rumah tangga.
Ketimpangan dalam pengelolaan air juga dapat disebabkan oleh beberapa faktor, pertama ketersediaan sumber air dan sarana-prasarana penyediaan air bersih. Jika wilayah dengan penyediaan air lacar, masyarakat khususnya perempuan tidak perlu mengumpulkan air di luar rumah mereka. Namun pada kenyataanya perempuan harus menempuh jarak yang cukup jauh dari tempat tinggal mereka. Kedua, kondisi sosial dan ekonomi keluarga. Dalam budaya masyarakat yang menempatkan perempuan pada urusan domestik membuat perempuan mau tidak mau bertanggung jawab untuk mengumpulkan air karena laki-laki biasanya pergi bekerja jauh dari rumah. Jika dilihat dari sudut pandang kesetaraan gender, penugasan perempuan untuk mengumpulkan air juga merupakan buah dari ketimpangan gender dalam keluarga. Hal ini berkaitan juga dengan budaya patriarki maupun adat istiadat tertentu (Riset Litbang Kompas, 2021).
Selain itu, perubahan iklim dan pola penggunaan sumber daya air yang tidak berkelanjutan juga mempengaruhi peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. Perubahan iklim menyebabkan ketersediaan air yang tidak pasti, dan perempuan harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan air keluarga mereka. Berdasarkan data dari Daist Dunne (2020) 68% (89) dari 130 studi menemukan bahwa perempuan lebih terpengaruh oleh dampak kesehatan terkait perubahan iklim dibandingkan laki-laki. Beberapa kasus terjadi pada perempuan dan anak di Perancis, Cina dan India dalam badai tropis Bangladesh dan Filipina (International NGO Forum on Indonesian Development, 2021). Dilansir dari laporan Women Deliver (2021) menunjukkan, perubahan iklim nyatanya dapat berdampak pada meningkatnya kekerasan berbasis gender, termasuk kekerasan seksual; transaksi seksual; dan perdagangan seks, yang dialami oleh perempuan. Ketika sumber daya alam semakin langka akibat perubahan iklim, perempuan kerap menempuh jarak yang lebih jauh dari biasanya untuk menjangkau makanan dan minuman, yang kemudian dapat membuka peluang resiko terpaparnya perempuan pada resiko kekerasan berbasis gender seperti pelecehan seksual, pelecehan fisik, dan lainnya.
Oleh sebab itu dibutuhkan pendekatan yang inklusif dan berkelanjutan untuk mengatasi peran perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. Perempuan harus berpartisipasi aktif dalam pengambilan keputusan terkait pengelolaan sumber daya air. Beberapa cara yang dapat dilakukan seperti pendampingan dan pendidikan kepada perempuan tentang pengelolaan sumber daya air, membangun jaringan dan komunitas perempuan yang peduli terhadap isu-isu tersebut. Pengelolaan air yang inklusif perlu mempertimbangkan peran dan kepentingan perempuan dalam pengambilan keputusan. Pemerintah dan lembaga pengambil keputusan harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap segala keputusan berkaitan dengan sumber daya air dan layanan air, untuk memastikan terjaminnya kebutuhan dan kepentingan perempuan atas air.
Sebuah cerita menarik pengelolaan sumber-sumber mata air oleh perempuan dilakukan oleh kolektif perempuan yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Pejuang Alam di desa O’besi Kecamatan Mollo Utara Kabupaten Timor Tengah Selatan. Para perempuan merasa gelisah dengan kesehatan sumber air di desa mereka yang tercemar sampah. Hal ini terjadi karena sampah yang dihasilkan oleh warga dibuang pada aliran air yang dekat dengan mata air tempat perempuan mengambil air untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mereka kemudian bersepakat untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada kepala desa dengan melakukan pertemuan dan diskusi. Hasilnya kesepakatan dengan pemerintah desa untuk pembersihan lokasi tersebut. Akan tetapi menurut kelompok perempuan, hal tersebut tidak cukup, menurut mereka perlu ada peraturan tingkat desa yang mengatur tentang pengelolaan sampah agar tidak dibuang sembarangan khususnya di daerah aliran sungai tempat perempuan mengambil air.
Cerita berbeda tentang pengelolaan air oleh perempuan datang dari kolektif perempuan Manekan di desa Leloboko Kecamatan Amfoang Selatan Kabupaten Kupang. Menurut cerita, warga desa Leloboko mengalami susah air sejak dahulu, hanya di titik-titik tertentu saja terdapat sumber air dan tidak merata ke seluruh desa. Karena kesulitan mengakses air, kolektif perempuan melakukan pendekatan pada pemilik mata air untuk mendapatkan akses air yang bisa dialirkan ke kebun kelompok. Air ini nantinya akan dipakai bersama-sama untuk kebutuhan pengairan kebun dan air minum rumah tangga masing-masing anggota kolektif. Selain itu pada tahun 2022 kolektif perempuan Manekan bersama bapak Dr. Welhelmus Mela, M.Sc. PhD melakukan perjalanan penilaian lanskap dan mata air untuk meninjau hutan dan mata air yang ada di desa. Perjalanan penilaian lanskap dan mata air bertujuan untuk melakukan tinjauan pada mata air, daerah tangkapan air, daerah rawan longsor dan maninjau jenis tanah di desa. Berdasarkan penilaian lanskap dan mata air tersebut menghasilkan sejumlah rekomendasi seperti penanaman vegetasi di daerah tangkapan air sehingga dapat menstabilkan debit air yang ada di desa. Kolektif perempuan Manekan pun telah melakukan konservasi mata air dengan melindungi dan mengefektifkan daerah tangkapan air.
Cerita-cerita tersebut merupakan beberapa contoh keterlibatan perempuan dalam pengelolaan sumber daya air. Perempuan sudah seharusnya dilibatkan lebih jauh dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan air di lingkungan tempat mereka tinggal. Perempuan juga dapat mengambil bagian dalam struktur kelembagaan komunitas masyarakat maupun organisasi yang berkaitan dengan penyediaan air. Dengan melibatkan perempuan dalam pengelolaan air terbukti memberikan layanan air yang lebih baik dan berdampak luas serta jangka panjang. Hal ini harus didukung juga dengan peningkatan infrastruktur penyediaan air bersih yang merata.*** (YL)