Blue Economy VS Blue Justice

Indikasi lainnya dari konsep pembangunan blue economy adalah, terdapat kekhawatiran akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat pesisir yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan.

Penetapan keputusan Menteri KKP tentang penangkapan ikan terukur dapat merugikan nelayan, utamanya nelayan tradisional. Pasalnya, dari 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yang ada di Indonesia, 8 diantaranya ditetapkan sebagai zona penangkapan industri, sedangkan 3 lainnya menjadi zona penangkapan masyarakat lokal. Dalam hal ini perairan NTT yang masuk dalam WPP 573, menjadi salah satu WPP yang peruntukannya sebagai zona penangkapan industri (Investor dalam negeri dan luar negeri). Melihat fakta ini, tidak heran jika kapal-kapal penangkapan dengan kapasitas diatas 30 GT (Gross Tonnage) akan lebih sering beroperasi di 8 wilayah ini, termasuk perairan NTT mulai dari ujung Pulau Sumba hingga ujung Pulau Timor.

Ada pula beberapa regulasi turunan yang bertujuan mendukung terselenggaranya penangkapan terukur. Mulai dari regulasi tentang Surat Izin Penempatan Rumpon (SIPR) yang juga berbasis kuota dan belum terealisasikan dengan baik di setiap provinsi. Berdasarkan Kepmen KKP No. 7 tahun 2022, tentang alokasi rumpon pada jalur III di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia menjelaskan, terdata alokasi rumpon pada WPP 573 dengan jumlah 732 rumpon. WPP 573 menempati urutan kedua jumlah alokasi rumpon terbanyak setelah WPP 572, yakni dengan jumlah alokasi rumpon sebanyak 1.130. Sementara itu, di jalur yang merupakan kewenangan provinsi, juga ada nelayan dengan kapasitas kapal 10-30 GT yang juga memanfaatkan rumpon untuk mengumpulkan ikan, dengan jumlahnya yang belum dapat dipastikan. Belum lagi posisi penempatan rumpon yang tidak teratur atau dipasang secara zig-zag, otomatis menutup jalur ruaya (Migrasi/perpindahan ikan dalam jumlah yang banyak, dari suatu tempat ke tempat yang lain terhadap kondisi alam yang sesuai untuk bereproduksi dan menemukan makanan) ke perairan dibawah 12 mil. Sistem yang diterapkan pemerintah untuk perikanan tangkap juga masih menimbulkan kelemahan-kelemahan. Pertama, belum maksimalnya sistem pengawasan dan patroli perairan oleh lintas sektor pemerintahan terkait, untuk melakukan pengawasan langsung dan memberikan sanksi bagi para pelaku penangkapan ilegal atau yang tidak sesuai aturan. Kedua, jumlah observer pengawas penangkapan yang ditempatkan di atas kapal nelayan, tidak sebanding dengan jumlah kapal penangkapan yang semakin tahun semakin banyak. Ketiga, belum maksimalnya pendataan hasil tangkapan di Pangkalan Pendaratan Ikan, menambah sederetan kelemahan dalam penerapan kebijakan penangkapan terukur untuk mencapai blue economy.

Dari beberapa pemaparan persoalan yang ada, cukup menjelaskan bahwa masih lemahnya kebijakan, sistem pelaksanaan dan pengawasan yang ada di perairan laut kita. Dengan demikian, akan sangat sulit untuk menentukan apakah penangkapan terukur betul-betul telah dijalankan sesuai dengan aturan atau tidak. Selama belum ada sistem pengawasan dan pelaksanaan yang baik dan masif, maka penegakan aturan penangkapan terukur akan sia-sia.

Indikasi lainnya dari konsep pembangunan blue economy adalah, terdapat kekhawatiran akan menimbulkan ketidakadilan bagi masyarakat pesisir yang keberlangsungan hidupnya bergantung pada sumber daya kelautan dan perikanan. Hal ini juga disampaikan dalam buku yang dibuat oleh Indonesian Ocean Justice Initiative (IOJI) dan Yayasan Pesisir Lestari (YPL) yang berjudul Nelayan dan Keadilan Laut. Di dalam buku tersebut, dilakukan pengkajian tentang 2 Undang-Undang yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dan UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil yang kemudian diperbarui dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Kajian tersebut berfokus pada 5 tipologi ketidakadilan laut yang selama ini ada dan dialami oleh nelayan skala kecil, seperti ketidakadilan pemanfaatan ruang laut, ketidakadilan manfaat ekonomi yang timbul dari pembangunan laut, ketidakadilan dampak kebijakan kepada nelayan, ketidakadilan terkait penurunan jasa ekosistem, serta ketidakadilan dalam tata kelola yang inklusif dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM).

Dari kelima ketidakadilan yang dipaparkan, yang memiliki potensi dampak paling besar dari pembangunan blue economy adalah ketidakadilan pemanfaatan ruang laut dan manfaat ekonomi. Data Statistik perikanan Indonesia mencatat bahwa dari jumlah total 2,3 juta keseluruhan nelayan per 2021, sekitar 2,1 juta orang yang tinggal di wilayah pesisir terlibat dalam perikanan skala kecil. Asumsinya adalah semakin banyak jumlah nelayan skala kecil, maka seharusnya Wilayah Pengelolaan Perikanan akan lebih dominan untuk mendukung aktivitas penangkapan mereka. Namun faktanya, hal ini justru berbanding terbalik dengan jumlah Wilayah Pengelolaan Perikanan, yang justru hanya menyisakan 3 wilayah penangkapan khusus nelayan skala kecil, yang penyebarannya hanya di beberapa provinsi saja. Bagaimana nasib nelayan skala kecil di wilayah provinsi lainnya? Bukankah membangun perekonomian kelautan, harus berpatokan pada prinsip utama keadilan sosial, pemerintahan yang inklusif dan hak asasi manusia. Nelayan skala kecil juga punya hak sebagai warga negara untuk mendapatkan manfaat yang sama dari pembangunan laut yang ada di negara ini.  Dari data jumlah nelayan skala kecil tersebut juga dapat dijelaskan bahwa dalam mendukung pemenuhan konsumsi ikan di suatu wilayah dan meningkatkan nilai ekonomi nelayan, maka mereka membutuhkan akses ke laut yang seluas-luasnya, untuk mendapatkan hasil tangkapan yang maksimal.

Di sisi lain, nelayan skala kecil tidak mengambil hasil tangkapan secara berlebihan, mengingat kapasitas palka atau penampung mereka jauh lebih kecil dibandingkan dengan kapal-kapal diatas 30 GT. Belum lagi alat tangkap yang dipakai oleh nelayan skala kecil adalah alat tangkap tradisional, selektif dan ramah lingkungan. Nelayan kecil dan tradisional sangat tidak mungkin untuk menimbulkan overfishing atau overfished, jika dibandingkan dengan kapal-kapal skala besar yang mampu mengeruk hasil ratusan ton dalam 1 kali trip penangkapan. Mereka pula diuntungkan, karena dapat melakukan pemindahan hasil tangkapan di atas laut pada kapal pengangkut yang lain, sehingga aktivitas penangkapan bisa dilakukan kapan saja dan terus-menerus, tanpa perlu kembali ke darat. Dampak jangka pendek maupun jangka panjang dari praktek ini adalah hasil tangkapan di suatu wilayah bisa saja collapse akibat penangkapan yang masif dilakukan, dan bisa saja menimbulkan permasalahan-permasalahan lain yang berdampak lebih besar bagi nelayan skala kecil.

Suara nelayan skala kecil dan nelayan tradisional cenderung tidak diakomodir dalam proses pembuatan keputusan yang mempengaruhi hidup dan masa depan mereka. Bagaimana nasib keadilan laut kita, terkhususnya bagi nelayan kecil yang termarginalkan? Selama laut hanya diperuntukan untuk memenuhi kepentingan pasar dan berorientasi pada pembangunan ekonomi, serta memberikan akses hanya pada kepentingan beberapa pihak, maka bukan tidak mungkin nelayan skala kecil akan terus mengalami ketidakadilan. Blue economy tanpa adanya blue justice hanyalah sebuah usaha yang sia-sia. Seharusnya, Blue economy dan blue justice berjalan seiringan, agar ketimpangan sosial ini dapat ditekan. Maka dari itu perlu ada kebijakan yang berpihak dan adil terhadap nelayan skala kecil, bukan hanya pada nelayan skala besar saja. Negara harus hadir untuk dapat memberikan kesempatan yang adil bagi semua orang untuk mendapatkan manfaat dari laut, termasuk akses yang adil ke sumber daya, mendukung distribusi dan melindungi mereka yang paling rentan dari risiko bahaya lebih lanjut. Sesuai dengan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia harus ditegakan, termasuk keadilan bagi nelayan skala kecil, guna mendukung penghidupan yang layak dan berkelanjutan tanpa meninggalkan siapa pun (No one left behind).*** (Agnes Dau)

 

Glosarium

Blue economy : merupakan dinamika pemikiran konsep pembangunan terbaru yang kini sedang berkembang dengan mengandalkan sumber daya laut atau perairan yang berlandaskan pada tiga pilar terintegrasi yaitu ekosistem, ekonomi dan sosial.
Blue justice : adalah pendekatan kritis yang meneliti bagaimana komunitas pesisir dan perikanan skala kecil dipengaruhi oleh ekonomi biru dan inisiatif “pertumbuhan biru” yang dilakukan oleh lembaga dan pemerintah secara global untuk mempromosikan pembangunan laut yang berkelanjutan.

 

Post Related

Scroll to Top