Krisis Iklim adalah Krisis Bumi yang Disebabkan oleh Ketidakadilan

“Perubahan iklim sudah sangat nyata. Biasanya sebagai nelayan, kami tahu bulan apa akan terjadi angin kencang atau badai. Tapi ternyata itu tidak bisa lagi kami prediksi. Dampak perubahan iklim yang sangat merugikan nelayan adalah seroja.” Yasinta Adoe – Perempuan Nelayan pasir panjang Kota Kupang.

 

Kilas Balik seroja

Masyarakat Nusa Tenggara Timur tentu tidak akan pernah lupa tentang siklon seroja yang menyerang sebagian besar wilayah NTT pada 4 April 2021 lalu. Badai tersebut menyebabkan angin kencang, banjir hingga gelombang laut tinggi mencapai 6 meter. Akibatnya lebih dari 5000 orang terdampak, 181 orang meninggal dunia, 271 orang terluka 45 ribu orang hilang, 11,4 ribu orang mengungsi dan 66 ribu rumah rusak (sumber: Flash update AHA Center, 13 April 2021).

Yasinta Adoe adalah salah satu warga Kelurahan Pasir Panjang, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur yang sehari-harinya beraktivitas sebagai nelayan. Menurut penuturan beliau, siklon tropis seroja membuat perahu mereka rusak dan berdampak secara langsung pada penghidupan mereka. Perempuan nelayan yang awalnya mencari hasil laut di Pulau Kera akhirnya harus beralih profesi sebagai petani rumput laut di sepanjang pantai pasir panjang. 

Nelayan adalah salah satu profesi yang paling terdampak badai seroja. Dilansir dari Mongabay.com, laporan perekonomian provinsi NTT tahun 2021 yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, siklon seroja menyebabkan kerusakan berat pada 537 unit kapal kapasitas 1-10 GT dan 65 unit kapal kapasitas 10 – 30 GT. Rusaknya kapal nelayan berakibat pada terganggunya penghidupan dan mata pencaharian utama mereka. Bahkan pasca seroja, beberapa nelayan terpaksa tidak bisa melaut selama dua minggu dan mencari pinjaman karena tidak punya penghasilan.

Fakta bencana hidrometeorologi

Siklon Tropis Seroja adalah salah satu jenis bencana hidrometeorologi yang melanda Indonesia selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Hampir 90% bencana yang paling sering melanda Indonesia adalah bencana  hidrometeorologi yakni suatu fenomena bencana alam atau proses merusak yang terjadi di atmosfer (meteorologi), air (hidrologi) dan lautan (oceanografi) yang dapat menghilangkan nyawa, cedera atau dampak kesehatan lainnya, kerusakan harta benda, hilangnya mata pencaharian dan layanan, gangguan sosial ekonomi atau kerusakan lingkungan. Contoh bencana hidrometeorologi adalah angin kencang, banjir, puting beliung, longsor, curah hujan ekstrem, kekeringan, kualitas udara buruk dan kebakaran hutan. Dikutip dari Media Indonesia, Kepala Bidang Komunikasi Kebencanaan Pusdatinkom BNPB Dodi Yuleova menyatakan bahwa dalam 10 tahun terakhir bencana hidrometeorologi basah di Indonesia terus meningkat, khususnya bencana banjir dan tanah longsor. Hal itu disebabkan oleh dua hal, yakni cuaca ekstrem dan masifnya alih fungsi hutan. 

Dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Penanggulangan Bencana pada 02 Maret 2023 lalu di Jakarta International Expo, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan bahwa saat ini semua negara tengah mewaspadai perubahan iklim yang berpotensi meningkatkan frekuensi bencana. Beliau menyebutkan bahwa frekuensi bencana di Indonesia naik 81%, dari 1.945 bencana di tahun 2010 menjadi 3.544 bencana di tahun 2022, yang meliputi banjir, letusan gunung berapi, tanah longsor, gempa bumi serta bencana alam dan non-alam lainnya.

Kaitannya dengan perubahan iklim

Bencana hidrometeorologi yang melanda Indonesia, tidak lepas dari akibat perubahan iklim yang terjadi saat ini di semua wilayah di dunia termasuk Indonesia. Perubahan iklim dapat menyebabkan percepatan erosi dan aliran air di permukaan, kekeringan, kelebihan air yang selanjutnya terjadi banjir dan longsor (Utami, 2019). 

Dwikorita Karnawati Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menjelaskan bahwa perubahan iklim merupakan faktor utama mengapa cuaca ekstrem sering terjadi di Indonesia. Jika keadaan ekstrem ini bertemu dengan kerentanan lingkungan, akan menyebabkan bencana hidrometeorologi yang berdampak serius pada keberlanjutan berbagai sektor kehidupan.

Perlu digaris-bawahi bahwa Perubahan iklim tidak sama dengan perubahan cuaca. Banyak yang masih menyalah-artikan iklim dengan cuaca padahal kedua hal tersebut adalah fenomena yang berbeda. Iklim diukur dalam jangka waktu yang lama,  sedangkan cuaca dapat berubah dari hari ke hari atau dari tahun ke tahun. Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam suhu dan pola cuaca. Pergeseran ini terjadi secara alami, seperti melalui variasi siklus matahari. Namun sejak tahun 1800-an, aktivitas manusia telah menjadi penyebab utama perubahan iklim, terutama akibat pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas.

Laporan IPCC

Intergovernmental Panel On Climate Change (IPCC) telah merilis laporan terakhir dalam 6th Assessment Report (AR6) pada 20 Maret 2023 lalu. Laporan tersebut menyebutkan adanya temuan-temuan terbaru dari tiga Laporan Asesmen serta tiga Laporan Khusus terdahulu. Laporan ini menekankan pada parahnya krisis iklim sebagai dampak dari aktivitas manusia yang telah mengubah bumi secara permanen. Krisis iklim telah terjadi secara cepat serta meningkatkan intensitas dan frekuensi terjadinya cuaca ekstrim di berbagai wilayah di dunia termasuk Indonesia diantaranya hujan lebat, kekeringan hingga siklon tropis. Dalam rentang waktu 2011 – 2020, kenaikan suhu global telah mencapai 1,1 derajat celcius diatas tingkat pra – industri dan peningkatan tersebut adalah yang paling tinggi dalam kurun waktu 2000 tahun terakhir.  Pada 2018, IPCC menyoroti tantangan dalam menjaga suhu Bumi di bawah 1,5 derajat celsius. Namun saat ini,  tantangan tersebut menjadi jauh lebih besar. 

World Meteorological Organization ( WMO) melaporkan pada tahun 2020 konsentrasi karbon dioksida ( CO2 ) yang diukur di stasiun pengamatan Mauna Loa, Hawaii mencapai puncak musiman pada 417,1 ppm. Nilai tersebut 2,4 ppm lebih tinggi dibanding tahun 2019 yang mencapai 414, 7 ppm. Selama dunia masih menghasilkan emisi, suhu global akan terus mengalami peningkatan, mengingat CO2  memiliki umur yang panjang dan bertahan  selama beberapa tahun bahkan puluhan tahun di atmosfer. Tahun 2022, emisi karbon yang dihasilkan dari aktivitas manusia sebesar 40,6 miliar ton. Kondisi tersebut diperkirakan akan terus naik, mengingat kurangnya komitmen negara-negara global dalam mengurangi emisi seperti maraknya penggunaan energi fosil dan deforestasi hutan yang tidak bertanggungjawab. Hal ini meningkatkan peluang pemanasan suhu global rata-rata yang diprediksi akan mencapai 1,5 derajat celcius dalam kurun waktu 9 tahun.

Dampak Kenaikan Suhu global  

Kenaikan suhu global akan memperparah krisis iklim yang dapat menyebabkan terjadinya kejadian cuaca ekstrim seperti gelombang panas yang lebih intens, curah hujan lebih tinggi dan cuaca ekstrem lainnya yang meningkatkan risiko bagi kesehatan manusia dan ekosistem.  

Baru – baru ini, peristiwa banjir di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purwerejo, Jawa Tengah pada 25 Maret 2023 lalu, membuktikan ketamakan pemerintah yang seolah acuh terhadap suara rakyat yang menolak aktivitas penambangan di Desa Wadas. Peristiwa banjir tersebut diduga terjadi akibat alih fungsi hutan menjadi akses jalan yang menghubungkan lokasi tambang Batu Andesit di Wadas dan lokasi Waduk Bener. Dampak dari alih fungsi hutan tersebut menyebabkan banjir yang mengucur deras melewati ruas jalan Desa sehingga sangat membahayakan warga.  Sebelumnya, proyek ini telah ditetapkan oleh presiden Joko Widodo sebagai proyek strategis nasional (PSN) yang kemudian dengan tegas ditolak oleh rakyat Wadas karena dikhawatirkan akan membahayakan lingkungan dan kehidupan mereka. Namun sayangnya, penolakan warga tidak membuat pemerintah mawas diri namun malah melakukan cara-cara represif untuk mematikan perlawanan warga.  

Pada 8 Februari 2022, 60 warga Desa Wadas ditangkap aparat kepolisian karena dianggap melakukan provokasi dan penolakan terhadap pengukuran lahan penambangan Batu Andesit. Peristiwa yang sama juga terjadi di Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur pada 4 April 2017 lalu. Seorang warga bernama Budi Pego ditangkap karena menggelar demonstrasi untuk menolak tambang emas di wilayahnya. 

Pada 04 Mei 2022, terjadi penangkapan terhadap 24 orang Masyarakat Adat Rendu “Woe Diri Ke’o Sa’o Aja Ulu” oleh Polres Nagakeo, Nusa Tenggara Timur. Penangkapan ini terjadi karena  adanya penolakan masyarakat adat terhadap pembangunan Waduk Lambo, Kabupaten Nagakeo. Peristiwa ini bermula ketika masyarakat adat Rendu menegur Suku gaja yang hendak melakukan ritual adat di pintu masuk lokasi proyek. Suku gaja tidak memiliki hubungan langsung dengan tanah di Lowo Se sehingga situasi perdebatan memanas hingga masyarakat Adat Rendu dibawa ke polres Nagakeo. Selama berada di kepolisian, masyarakat adat mengalami kekerasan berupa ancaman, tekanan, hinaan dan cacian. Tiga orang masyarakat adat terpaksa menyetujui dan menandatangani surat perjanjian rencana pembangunan waduk Lambo karena diduga dikriminalisasi dan diancam oleh pihak kepolisian.

Peristiwa-peristiwa di atas adalah bukti bahwa pemerintah cenderung melakukan pembungkaman terhadap suara rakyat yang sedang berupaya mempertahankan lingkungannya. Hal tersebut semakin menunjukkan adanya krisis demokrasi di negara ini yang berakibat pada krisis iklim seperti yang telah terjadi di Desa Wadas.

Krisis iklim adalah krisis bumi yang disebabkan oleh ketidakadilan. 

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), 20% orang terkaya di dunia mengonsumsi 86% sumber daya alam di dunia, sedangkan 20% orang termiskin hanya mengonsumsi 1,3%. Ketimpangan konsumsi sumber daya ini disebabkan oleh perbedaan pendapatan, pendidikan dan akses terhadap sumber daya. Menurut IPCC, 10% populasi dunia teratas menghasilkan sekitar  45% dari total emisi Gas Rumah Kaca (GRK)  dunia, sedangkan 50% populasi dunia terbawah hanya menghasilkan sekitar 10% emisi. Distribusi emisi yang tidak merata ini didorong oleh faktor-faktor seperti perbedaan pembangunan ekonomi, pola konsumsi, dan akses terhadap sumber energi.

Fakta – Fakta di atas menunjukkan bahwa masyarakat miskin dan kaum marjinal adalah orang-orang yang menghasilkan emisi dan kerusakan jauh lebih sedikit dibandingkan orang-orang kaya di dunia. Tetapi kaum miskin dan marjinal mendapatkan dampak terburuk dari  krisis iklim dan lingkungan yang diakibatkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan . 

Mewujudkan keadilan iklim dan ekologi adalah jalan menuju kelestarian bumi.

Untuk mewujudkan keadilan iklim diperlukan tiga hal yaitu;  Keadilan Pengakuan (Recognitional justice), Keadilan Prosedural ( Procedural justice) dan Keadilan Distributif ( Distributive justice ).

Keadilan Pengakuan (Recognitional justice)

Keadilan pengakuan berfokus pada inklusivitas yaitu memastikan siapa saja yang diakui sebagai aktor sah dan bagaimana hak, kebutuhan dan kepentingan mereka diakui dan dimasukkan dalam tindakan. Mengakui bagaimana perbedaan kerentanan terhadap perubahan iklim berasal dari ketidaksetaraan historis dan struktural, yang dapat mendistribusikan manfaat adaptasi secara tidak merata, terutama bagi yang paling miskin dan paling terpinggirkan (IPCC, 2022, hlm. 89).

Keadilan Prosedural ( Procedural justice)

Memastikan bahwa proses representasi dan partisipasi dalam perencanaan, prioritas dan implementasi adaptasi bersifat inklusif dan memungkinkan adaptasi untuk maju lebih cepat dan menghasilkan tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi sekaligus memberi manfaat bagi kelompok yang lebih miskin dan terpinggirkan   (IPCC, 2022, hlm. 90).

Keadilan Distribusif ( Distributive justice )

Memastikan bahwa intervensi pembangunan dalam rupa apa pun, bahkan dalam mitigasi dan adaptasi tidak memperburuk ketidaksetaraan dan bahwa manfaat dan beban intervensi didistribusikan secara adil dan memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kelompok miskin dan marjinal 

Kita semua perlu memperjuangkan keadilan bagi  kaum marjinal dalam mengatasi krisis iklim dan krisis lingkungan di bumi kita satu-satunya, seperti kata Mahatma Gandhi  bahwa : 

“Dunia cukup untuk kebutuhan semua orang, tetapi tidak cukup untuk keserakahan semua orang.” *** (EG)

Post Related

Scroll to Top