Dinginnya malam tak menghalangi tekad Kayetanus Abi, Ketua Forum Sejarah Budaya Timor, bersama para pejuang lainnya dalam mempertahankan “Ibu” mereka, Mutis. Dengan suara lantang, ia menegaskan, “Selama 350 tahun Indonesia dijajah Belanda, kayu cendana tetap ada. Namun, dalam 80 tahun Indonesia merdeka, cendana justru punah di Pulau Timor.”
Di Bonleu, di dalam Ume Kbubu, rumah adat masyarakat Timor, kedua Usif, Osias Oematan dan Redemptus Kono, bertemu untuk memimpin ritual penolakan terhadap perubahan status Mutis menjadi Taman Nasional. Sementara ritual berlangsung di dalam rumah adat, di luar, orasi perjuangan untuk mempertahankan Mutis terus dikumandangkan.
Aleta Baun, pejuang perempuan adat, memimpin perlawanan terhadap perubahan status Cagar Alam Mutis – Timau menjadi Taman Nasional. Ia menggerakkan masyarakat yang berada di sekitar Mutis, yang menggantungkan hidupnya pada Mutis untuk bersatu dalam perjuangan ini.
Malam itu terasa dingin dan mencekam, tetapi suara Mama Aleta tetap menggema, penuh semangat. Daftar hadir mencatat lebih dari 200 nama masyarakat dari berbagai wilayah, Fatumnasi (TTS), Bonleu (TTS), Noepesu (TTU), Malaka, hingga Timor Leste, semua berkumpul demi memperjuangkan tanah leluhur mereka.
“Saya punya teman-teman perempuan yang hadir di sini juga; mereka masuk ke BKSDA dan menanyakan mengenai hal ini. Ketika ditanyakan tentang status Mutis yang menjadi taman nasional, mereka bilang setelah ini mulai memungut biaya dari para pengunjung,” ungkap Mama Maria, Perempuan Adat Fatumnasi.
Ketika Ibu-Ibu tersebut memasuki kantor Balai BKSDA dan menanyakan tentang pungutan itu, jawaban dari BKSDA menyebutkan pungutan ini akan dimasukkan ke negara. “Kami tidak tahu negara mana; hanya bilang ke negara,” tambahnya.
“Kami mempertanyakan pungutan biaya dari pengunjung Mutis yang katanya masuk ke ‘negara’, tapi negara mana?” tegas Mama Maria dalam orasinya.
“Perempuan Adat Fatumnasi siap beraksi, tapi kami tidak bisa sendirian; kerjasama adalah kunci,” jelasnya.
Konflik dengan Masyarakat Adat
Penetapan Taman Nasional Mutis – Timau menjadi kontroversi. Masyarakat adat setempat menolak perubahan status yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya, pada Minggu, 8 September 2024. Penetapan ini dilakukan secara daring melalui telekonferensi dari Denpasar, Bali, bekerja sama dengan Tim Bezos Earth Fund (BEF), sebuah lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat.
*(Sumber: PIKUL, Resmi menjadi Hutan Adat, Mutis “tidak boleh” dikunjungi oleh publik).
Ritual pertama dilaksanakan pada Selasa, 28 Januari 2025. Melalui ritual ini, Mutis secara adat resmi ditutup untuk publik karena telah berstatus sebagai Hutan Adat. Ritual dimulai di Nausus, tempat ikatan Usif-usif (pemimpin adat setempat), kemudian berlanjut di Netpala, dengan menyembelih seekor kambing putih sebagai persembahan kepada alam dan leluhur. Selanjutnya, ritual berlanjut di enam lokasi sakral di kaki Gunung Mutis yang ditetapkan oleh para Usif. Acara puncak berlangsung di Mutis, ditandai dengan penyembelihan seekor babi dan penanaman dua pohon beringin di pintu masuk sebagai simbol persatuan antara dua wilayah besar di Mollo Utara, yaitu Netpala dan Nunbena. Ritual ini menandakan bahwa secara adat, Gunung Mutis telah ditutup untuk publik.
Namun, di tengah penolakan masyarakat adat, pemerintah melalui Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) NTT kembali membuka akses wisata ke Taman Nasional Mutis Timau. Setelah ditutup sementara sejak akhir Januari 2025 akibat cuaca buruk dan beberapa insiden hipotermia yang dialami pengunjung, kawasan ini resmi dibuka kembali untuk wisata alam mulai 17 Maret 2025.
Pembukaan kembali ini diumumkan melalui Surat Edaran Nomor: PG.8/K.5/BIDTEK/KSA.5.1/B/03/2025 dengan ketentuan sebagai berikut:
- Kunjungan wisata alam terbatas untuk kegiatan trekking dan pengamatan kehidupan liar di sekitar Hutan Bonsai hingga Padang Lelofui.
- Wisata camping atau berkemah di Padang Lelofui masih ditutup hingga sarana wisata selesai dibangun.
- Kegiatan berkemah hanya diperbolehkan di sekitar Pos Resor KSDA Fatumnasi.
- Pendakian dibuka kembali mulai 20 Maret 2025. Calon pendaki diwajibkan melakukan pendaftaran secara online minimal tiga hari sebelum pendakian.
Meski pemerintah telah membuka kembali akses wisata, masyarakat adat tetap menegaskan sikap mereka bahwa Mutis adalah bagian dari identitas dan warisan leluhur yang tidak boleh dikomersilkan atau dikelola tanpa persetujuan mereka.
Setelah ritual adat pertama, para tokoh adat kemudian melangsungkan ritual kedua bertempat di Bonleu pada 28 Februari 2025. Ritual dimulai menjelang matahari terbenam, ketika seluruh Usif, Amaf, dan tetua adat berkumpul di Noepesu, tepatnya di sebuah jembatan gantung yang menghubungkan Noepesu, Timor Tengah Utara dengan Bonleu, Timor Tengah Selatan.
Prosesi diawali dengan kedatangan rombongan dari Timor Leste dan rombongan pembawa korban persembahan, yaitu seekor babi merah. Setibanya di lokasi, para tetua adat menyambut mereka dan memimpin Ritual Helketa, yakni ritual pembersihan dan perdamaian yang bertujuan untuk menghapus segala bentuk permusuhan atau pertentangan yang mungkin terjadi diantara dua suku atau klan.
Ritual ini dipimpin oleh tetua adat setempat dan diawali dengan Natoni/tutur adat kemudian penyembelihan seekor ayam hitam, yang darahnya dialirkan ke sungai sebagai bagian dari prosesi. Dalam pelaksanaan Helketa, hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah sopi (minuman keras tradisional), puah-manus (sirih-pinang), tuametô (sopi kampung), ketâ (lidi lontar), daun dari pohon pandan, muît – hewan pilihan (babi/ kambing/ ayam), dan juga beberapa perlengkapan lainnya.
Kata “Helketa” dalam Uab Meto (bahasa Dawan), di mana “hel” berarti tarik dan “keta” berarti lidi. Dari akar katanya, Helketa dapat diartikan sebagai “menarik lidi”. Intensi dari menarik lidi adalah untuk melepas atau membebaskan kotoran-kotoran yang telah menumpuk akibat dihalangi oleh lidi-lidi tersebut. Kotoran yang dimaksud ialah segala jenis sumpah adat yang terjadi di masa lampau, sedangkan lidi merupakan penghambat yang membuat sumpah adat tersebut tidak atau belum hilang.
*(Sumber: Kompasiana, Memaknai Helketa, Ritual Pranikah Bagi Masyarakat Adat Timor)
Setelah ritual Helketa selesai, rombongan berjalan kaki menuju Umme Kbubu, rumah adat orang Timor. Saat Usif Kono dan rombongan tiba, ritual utama pun dimulai. Ritual utama berlangsung di dalam Umme Kbubu, dengan hanya para tetua adat dan perwakilan dari 10 masyarakat biasa yang diperbolehkan masuk. Persiapan ritual mencakup dua buah lilin, uang Golda Belanda, dua ekor ayam hitam dari Usif Kono dan Oematan, tempat sirih, daun sirih, serta pinang.
Ritual dimulai dengan menyalakan lilin dan menyampaikan tuturan adat atau Natoni, yang bermakna penyerahan Mutis sepenuhnya sebagai hutan adat. Ritual ini menegaskan bahwa Mutis kembali ke alam, dan keputusan akhir diserahkan kepada kehendak alam.
Setelah tuturan adat selesai, para tetua adat menyembelih ayam menggunakan satu pisau yang sama sebagai simbol persatuan antara Kono dan Oematan. Prosesi dilanjutkan dengan penyembelihan babi merah sebagai bagian dari rangkaian ritual sakral tersebut.
Melalui ritual-ritual yang dilakukan, masyarakat adat menegaskan penolakan mereka terhadap perubahan status Mutis menjadi Taman Nasional. Bagi mereka, Mutis bukan sekadar hutan, tetapi ibu yang memberi kehidupan. Dengan ritual ini, mereka menyatakan bahwa Mutis harus tetap berada di bawah perlindungan dan pengelolaan masyarakat adat, bukan di tangan pihak luar. Mutis adalah warisan leluhur, sumber identitas, dan bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Ritual ini bukan sekadar simbol, tetapi sebuah pernyataan tegas: mereka akan terus menjaga dan mempertahankan Mutis.
AKKM (Area Konservasi Kelola Masyarakat)
Konsep Area Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM) menawarkan alternatif yang menghargai hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya alam. AKKM menekankan pentingnya pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam menjaga keanekaragaman hayati. Dalam konteks ini, masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk melindungi wilayah mereka, yang memiliki nilai budaya dan spiritual yang mendalam.
Area Kelola Konservasi Masyarakat (AKKM) adalah konsep yang menekankan pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat adat atau lokal untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Dalam AKKM, masyarakat memiliki hak dan tanggung jawab untuk menjaga wilayah yang mereka kelola, yang memiliki nilai budaya, spiritual, dan ekologis yang mendalam. Konsep ini mengakui pentingnya pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam, serta menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam konservasi.
Dalam praktiknya, AKKM dapat dilihat melalui contoh-contoh konkret dari masyarakat di Indonesia. Di Desa Uiasa, Pulau Semau, masyarakat telah mengembangkan ekowisata berbasis partisipasi lokal untuk memperbaiki ekosistem pesisir dan meningkatkan ketahanan sosial-ekologis. Mereka melakukan konservasi terumbu karang dengan memasang bioreeftek, terumbu buatan yang terbuat dari tempurung kelapa untuk memperbaiki habitat ikan. Selain itu, mereka menerapkan agroforestri dan pertanian organik dengan mengintegrasikan tanaman pangan dan pepohonan untuk menjaga kesuburan tanah.
*(Sumber: PIKUL, Pukun Lulin: Konservasi Sumber Kehidupan Masyarakat Uiasa)
Di desa Batuinan, Pulau Semau, AKKM terwujud melalui ritual adat yang disebut “Talas“. Talas, yang berarti larangan dalam bahasa Helong, adalah penetapan suatu area dimana pemanfaatan sumber daya alam dilarang untuk jangka waktu tertentu. Praktik ini, yang sempat terhenti karena stigma terkait dengan kepercayaan tradisional, dihidupkan kembali pada tahun 2020 oleh keluarga Balle Bilis Mau sebagai upaya konservasi hutan dan mata air Uiutlui.
Proses penetapan Talas melibatkan serangkaian diskusi dan ritual adat, termasuk penyerahan simbolis sumber daya alam dan penyembelihan ternak sebagai tanda perjanjian. Tujuan dari Talas adalah untuk memulihkan ketersediaan air dan keanekaragaman hayati yang terancam akibat pemanfaatan hutan yang tidak terkendali. Dengan dukungan dari berbagai pihak, termasuk organisasi masyarakat sipil dan pemerintah desa, Talas menjadi contoh konkret bagaimana masyarakat adat dapat berperan aktif dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan.
*(Sumber: PIKUL, TALAS: Keberlanjutan Hutan Marga dan Uiutlui di Desa Batuinan)
Referensi
- BBKSDA NTT. Surat Edaran Pembukaan Taman Nasional Mutis-Timau, Nomor: PG.8/K.5/BIDTEK/KSA.5.1/B/03/2025.
- Kompasiana, “Memaknai Helketa: Ritual Pranikah bagi Masyarakat Adat Timor,” diakses 25 Maret 2025, https://www.kompasiana.com/fridus83/659982114168a81c8b023795/memaknai-helketa-ritual-pranikah-bagi-masyarakat-adat-timor.
- PIKUL, “Resmi Menjadi Hutan Adat: Mutis “Tidak Boleh” Dikunjungi oleh Publik,” diakses 25 Maret 2025, https://pikul.org/2025/02/01/resmi-menjadi-hutan-adat-mutis-tidak-boleh-dikunjungi-oleh-publik/.
- PIKUL, “Pukun Lulin: Konservasi Sumber Kehidupan Masyarakat Uiasa,” diakses 25 Maret 2025, https://pikul.org/2024/01/25/pukun-lulin-konservasi-sumber-kehidupan-masyarakat-uiasa/.
- PIKUL, “Talas: Keberlanjutan Hutan Marga dan Uiutlui di Desa Batuinan,” diakses 25 Maret 2025, https://pikul.org/2024/02/08/talas-keberlanjutan-hutan-marga-dan-uiutlui-di-desa-batuinan/.
- Wawancara dengan Kayetanus Abi, Ketua Umum Forum Sejarah Budaya Timor, Bonleu, 28 Februari 2025.
- Wawancara dengan Mama Maria, Perempuan Adat Fatumnasi, Bonleu, 28 Februari 2025.