Pembangunan Untuk Siapa? Suara dari Pesisir

Pasca Badai Seroja pada 4 April 2021, rumah, perahu, dan harapan masyarakat pesisir hancur. Dari keterpurukan itu, para perempuan nelayan bangkit. Mereka tak hanya menanam kembali rumput laut, tetapi juga menumbuhkan harapan pembangunan yang adil, berpihak, dan mendengar suara pesisir.

Gelombang besar akibat Siklon Tropis Seroja, April 2021, menghantam pesisir Pasir Panjang, menghancurkan seluruh infrastruktur dan aset sederhana yang dibangun nelayan secara swadaya. Ekosistem pesisir, rumput laut, perahu rusak, dan nelayan kehilangan sumber penghidupan. Dalam keputusasaan, mereka mengumpulkan sisa bibit rumput laut dan menanamnya kembali. Namun, upaya itu gagal. Bibit membusuk dan tak layak jual. 

Perempuan nelayan di Pasir Panjang, mulai menelusuri penyebab membusuknya rumput laut. Mereka menduga, penyebab utama pembusukan tersebut adalah limbah yang dibuang ke laut. Pencemaran ini merusak ekosistem laut yang menjadi sumber penghidupan mereka. Rumput laut yang membusuk bukan disebabkan oleh hama atau penggunaan racun ikan, melainkan karena air laut telah tercemar limbah.

Studi yang dipublikasikan oleh Marine Pollution Bulletin menunjukkan pembuangan air limbah domestik dapat menurunkan kualitas air dan mengubah komposisi lamun. Selain itu, penelitian yang dilakukan Universitas Negeri Surabaya di Pantai Sendang Biru, Malang, menunjukkan, aktivitas kelautan yang intens dapat menyebabkan pencemaran logam berat seperti kadmium (Cd). Rumput laut Padina australis yang terpapar Cd mengalami penurunan kadar karaginan (protein) dan klorofil, yang berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan kualitasnya. Penelitian lain di lokasi yang sama juga menunjukkan bahwa logam berat timbal (Pb) turut mempengaruhi kualitas rumput laut. 

Fakta-fakta ini membuktikan rumput laut sangat rentan terhadap pencemaran laut. Selain itu, rumput laut juga sensitif terhadap kenaikan suhu air laut. Suhu optimal bagi pertumbuhan rumput laut berkisar antara 28°C hingga 31°C. Ketika suhu melebihi 32°C, rumput laut mengalami stres fisiologis, penurunan kandungan pigmen dan efisiensi fotosintesis, serta penurunan kualitas karaginan. Dalam kondisi ekstrim pada suhu 40°C, rumput laut dapat mati sepenuhnya dalam waktu singkat. 

Masalah tak berhenti di situ. Cuaca yang tak menentu semakin menyulitkan proses budidaya. Rumput laut yang baru diikat kerap terlepas karena angin dan gelombang laut.
Kami ikat hari ini, lusa sudah tidak ada. Rumput laut patah, tidak ada. Begitu terus, jadi kami putus asa,” jelas Anesta Adoe. 

Pasca Siklon Seroja, muncul gundukan batu alami di tengah laut yang disebut sebagai pagar batu/sandbar. Batu-batu ini, kemudian berfungsi sebagai pemecah gelombang alami, menahan air pasang agar tidak sampai ke pesisir. Sandbar ini menginspirasi mereka untuk mengusulkan solusi yang lebih permanen.

Bagi perempuan nelayan di Pasir Panjang, kehadiran sandbar ini adalah petunjuk dari Tuhan akan kebutuhan mereka, yaitu pemecah gelombang atau breakwater. Mereka berharap pemerintah mau membangun pemecah gelombang permanen mengikuti arah sandbar tersebut. Namun, harapan itu belum terwujud. Usulan ini ternyata menemui jalan buntu.

Kami minta pemecah gelombang, seperti di TPI (Tempat Pelelangan Ikan) Oeba. Tapi pemerintah bilang Pasir Panjang tidak bisa, karena akses alat berat susah dan biaya besar,kata Yasinta, mengutip penjelasan dari perwakilan pemerintah yang mereka temui, termasuk Penjabat Wali Kota. Penolakan ini menambah daftar panjang ketidakadilan yang mereka rasakan dalam proses pembangunan.

Perjuangan Nelayan Pasir Panjang untuk memperjuangkan keadilan pembangunan pesisir adalah perjalanan panjang yang dimulai 10 tahun lalu. Tahun 2015, warga Pasir Panjang secara tegas menolak rencana pembangunan jogging track di pesisir mereka. Proyek tersebut dinilai tidak relevan dan mengabaikan kebutuhan mendesak masyarakat terutama para nelayan yang saat itu memilih pembangunan tembok penahan ombak. Pasalnya, pantai pasir panjang adalah wilayah tambatan perahu. Pembangunan jogging track akan menghalangi tambatan perahu nelayan terutama di saat badai. Saat siklon seroja, keberadaan jogging track di wilayah Namosain hingga Nunhila dan Oesapa menghalangi nelayan menaikkan perahu ke daratan. Walhasil, lebih dari 500 perahu nelayan hancur dihantam gelombang karena tidak bisa dinaikkan ke darat. 

Penolakan Nelayan Pasir Panjang ini tidak hanya menyoroti ketidaktepatan proyek, tetapi menegaskan pertanyaan mendasar, pembangunan ini untuk siapa? Apakah untuk masyarakat yang tinggal dan menggantungkan hidupnya dari laut? Atau hanya demi mempercantik tampilan kota? Padahal, perlindungan terhadap wilayah pesisir telah diatur dalam undang-undang.

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 mengatur pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara menyeluruh. Aturan ini mencakup pembangunan pemecah gelombang untuk melindungi ekosistem dan mendukung kegiatan nelayan. Namun, aspirasi masyarakat pesisir sering kali diabaikan dalam forum pengambilan keputusan.

Tak hanya dalam proyek pembangunan, perempuan nelayan juga diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Yasinta dan Anesta mengungkapkan, mereka tidak pernah diundang secara resmi dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di tingkat kelurahan. Informasi beredar lewat status WhatsApp setelah acara selesai. Kondisi ini mencerminkan bagaimana kelompok marginal, khususnya perempuan nelayan, tidak memiliki akses yang sama dalam menentukan arah pembangunan.

Ketiadaan mereka dalam forum formal seperti Musrenbang mencerminkan bagaimana suara kelompok marginal, terutama perempuan nelayan, terus diabaikan. Padahal, kontribusi perempuan nelayan terhadap ekonomi keluarga dan masyarakat sangat signifikan. Perempuan nelayan memainkan peran yang sangat strategis dalam sistem produksi dan konsumsi pangan di wilayah pesisir Indonesia. Dalam konteks rumah tangga nelayan, mereka tidak hanya berperan sebagai istri atau pendukung, tetapi juga sebagai aktor utama dalam berbagai tahapan kegiatan perikanan, mulai dari pra-produksi, produksi, hingga pasca-produksi. Perempuan terlibat dalam menyiapkan peralatan melaut, menangkap ikan, mengolah hasil tangkapan, serta memasarkan produk ke pasar lokal. 

Riset  KIARA dan PIKUL pada tahun 2018, di Kabupaten Kupang, Sikka, dan Lombok Timur, mencatat perempuan jam kerja harian yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Rata-rata waku kerja perempuan pesisir mencapai 17 jam per hari. Meskipun kontribusinya besar, peran perempuan nelayan tidak diakui secara formal oleh negara, tercermin dari rendahnya kepemilikan kartu nelayan di kalangan perempuan yang sebenarnya aktif dalam kegiatan perikanan.

Salah satu akar dari ketidakadilan ini adalah definisi “nelayan” dalam kebijakan negara yang sempit dan bias gender. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, belum sepenuhnya mengakomodasi peran perempuan dalam sektor perikanan. Perempuan nelayan kerap diposisikan hanya sebagai “pembantu” suami, bukan sebagai subjek utama dalam aktivitas ekonomi perikanan. Akibatnya, mereka terpinggirkan dari akses terhadap bantuan pemerintah, pelatihan, perlindungan sosial, serta akses terhadap modal usaha yang memadai.

Perjuangan Yasinta dan Anesta menjadi simbol perlawanan terhadap ketidakadilan yang sistematis. Perjuangan Yasinta dan Anesta adalah gambaran nyata dari bagaimana masyarakat pesisir, khususnya perempuan nelayan, terus berjuang dalam ketimpangan pembangunan. Mereka tidak hanya menjaga ekonomi keluarga, tetapi juga menjaga laut sebagai ruang hidup. 

Negara seharusnya hadir dan mendengar suara dari pesisir. Mengakui perempuan nelayan sebagai aktor utama dalam  pembangunan wilayah pesisir. Pembangunan harus dimulai dari kebutuhan rakyat, bukan dari papan rencana yang tak menyentuh kenyataan di lapangan. Pembangunan yang adil adalah pembangunan yang mendengar, melibatkan, dan melindungi. Termasuk di dalamnya, suara perempuan nelayan yang selama ini luput dari ruang-ruang pengambilan keputusan. 

Hal ini sejalan dengan amanat konstitusi. Sebagaimana ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010, menjelaskan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Negara memiliki kewajiban untuk mengatur dan mengelola sumber daya alam dengan orientasi utama pada kesejahteraan masyarakat. Putusan ini menjadi landasan penting bagi perlindungan hak-hak masyarakat pesisir. Lebih lanjut, putusan itu menegaskan penguasaan negara atas sumber daya alam harus memperhatikan hak-hak yang telah ada, baik hak individu maupun hak kolektif, termasuk hak masyarakat hukum adat (hak ulayat), hak atas lingkungan hidup yang sehat, dan hak-hak konstitusional lainnya yang dimiliki oleh masyarakat dan dijamin oleh konstitusi. Dengan demikian, pembangunan yang mengabaikan hak-hak masyarakat pesisir adalah pelanggaran konstitusi. Pembangunan harus berpihak pada mereka yang terdampak.

Referensi: 

  1. Damanik, R. (2012). Hak Asasi Nelayan: Terobosan Konstitusi untuk Selamatkan Rakyat. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).​
  2. KOMPAS. (2024). Perempuan Nelayan di Tengah Perubahan Iklim.​
  3. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). (2019). Pemerintah Harus Berikan Pengakuan Profesi Perempuan Nelayan.​
  4. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). (2018). Mewujudkan kedaulatan pangan masyarakat pesisir Indonesia: Kompilasi hasil penelitian dinamika sosial ekonomi masyarakat pesisir dan perjuangan perempuan nelayan dalam pemenuhan hak atas pangan keluarga (studi wilayah NTT dan NTB)
  5. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. (2011). Putusan Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Penjabaran Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.​
  6. Marine Pollution Bulletin. (2022). Effects of Domestic Wastewater Discharge on Tropical Seagrass Beds.
  7. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.​
  8. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.​
  9. Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 33 ayat (3).​
  10. Wawancara langsung dengan Anesta Adoe dan Yasinta Adoe, nelayan perempuan Pasir Panjang, 3 April 2025.​
  11. Anggreani, N., & Rachmadiarti, F. (2021). Analisis Kandungan Logam Berat Kadmium (Cd) pada Rumput Laut di Pantai Sendang Biru Malang. LenteraBio: Berkala Ilmiah Biologi. ​Semantic Scholar+1Open Jurnal System+1
  12. Kumar, Y. N., Poong, S.-W., Gachon, C., Brodie, J., Sade, A., & Lim, P.-E. (2020). Impact of Elevated Temperature on the Physiological and Biochemical Responses of Kappaphycus alvarezii (Rhodophyta). PLOS ONE, 15(9), e0239097.

Post Related

Scroll to Top