Siaran Pers
Kupang, 23 Oktober 2025 – PIKUL (Penguatan Lingkar Belajar Komunitas Lokal) menilai arah kebijakan adaptasi yang disajikan Pemerintah Indonesia dalam Second Nationally Determined Contribution (SNDC) masih jauh dari prinsip keadilan sosial dan ekologis. Secara khusus PIKUL menyoroti komponen adaptasi yang termuat dalam SNDC.
Pada bagian adaptasi perubahan iklim, meskipun SNDC mencakup tiga pilar ketahanan yaitu Ketahanan Ekonomi, Ketahanan Sosial dan Penghidupan, serta Ketahanan Ekosistem dan Lanskap, kerangka adaptasi ini belum mampu menjawab akar persoalan struktural yang membuat masyarakat lokal, perempuan, petani kecil, nelayan, dan kelompok disabilitas tetap berada di posisi paling rentan terhadap krisis iklim.
Menurut PIKUL, pendekatan adaptasi yang terlalu teknokratis dengan mengandalkan sistem data (SIDIK) dan program berbasis masyarakat seperti ProKlim belum diimbangi dengan mekanisme keadilan rekognitif, distributif, dan prosedural yang nyata. Tanpa perubahan mendasar dalam tata kelola dan distribusi manfaat yang adil, SNDC berisiko menjadi proyek adaptasi “dari atas ke bawah” yang gagal memperkuat daya tahan masyarakat yang paling terdampak.
Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL, Torry Kuswardono mengatakan “Pada pilar ketahanan ekonomi, SNDC berupaya mendorong pertanian berkelanjutan dan transisi energi sebagai jalan menuju ketahanan. Namun bagi PIKUL, kebijakan ini tidak menyentuh akar persoalan ketidakadilan ekonomi yang bersumber dari ketimpangan penguasaan sumber daya alam. Tanpa reforma agraria yang memastikan distribusi lahan secara adil, ketahanan ekonomi tidak akan tumbuh di atas fondasi yang kokoh.”
“Petani yang selama ini menopang sistem pangan lokal justru berisiko terpinggirkan karena arah program pertanian berkelanjutan lebih banyak menguntungkan korporasi agrikultur. Di sisi lain, model transisi energi yang difokuskan pada proyek berskala besar seperti PLTA dan panas bumi dikhawatirkan mengulang logika ekstraktif yang telah merusak ruang hidup masyarakat,” tambahnya.
Kebijakan adaptasi dalam SNDC juga belum memberikan jaminan perlindungan sosial adaptif yang memadai bagi buruh informal dan masyarakat miskin kota yang kehilangan kesejahteraan dan penghidupan akibat krisis iklim. Begitu pula dengan nelayan yang hingga kini belum merasakan perlindungan hukum dan ruang hidup yang dijanjikan dalam UU No. 7 Tahun 2016. Dalam konteks ini, PIKUL menegaskan ketahanan ekonomi tidak dapat dibangun tanpa mengatasi akar ketidakadilan dan memastikan perlindungan bagi mereka yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim.
“Adaptasi iklim tidak bisa hanya berhenti pada perencanaan teknokratis. Tanpa perlindungan sosial yang nyata bagi buruh informal, masyarakat miskin kota, nelayan, dan kelompok rentan, kebijakan adaptasi justru akan memperdalam ketimpangan yang sudah ada. Kita tidak bisa terus menempatkan manusia dan alam sebagai objek proyek, padahal mereka adalah subjek utama dari proses perubahan,” tegas Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL.
Pada pilar ketahanan ekosistem dan lanskap, SNDC menargetkan penguatan perhutanan sosial, konservasi, serta restorasi ekosistem mangrove dan gambut. Namun, PIKUL menilai bahwa komitmen ini akan tetap performatif selama negara belum memberikan pengakuan hukum yang kuat terhadap hak masyarakat adat atas wilayah kelola dan sumber daya alamnya. Bahasa “menghormati” dan “mempertimbangkan” hak-hak masyarakat adat dalam dokumen SNDC menunjukkan negara masih berhenti pada tataran retorika. Tanpa pengesahan Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat, upaya adaptasi akan terus menyingkirkan masyarakat yang seharusnya menjadi garda depan dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Restorasi yang tidak berpihak pada masyarakat hanya akan mengulang kesalahan masa lalu, menjadikan alam dan manusia sebagai objek proyek, bukan subjek dari proses perubahan.
Sementara itu, pada pilar ketahanan sosial dan penghidupan, SNDC menempatkan peningkatan kapasitas adaptif masyarakat melalui SIDIK dan ProKlim sebagai strategi utama. Namun, pendekatan ini masih jauh dari inklusif. Kelompok disabilitas, misalnya, tetap tidak terlihat dalam sistem informasi kerentanan karena tidak adanya data terpilah, pengakuan terhadap extra cost of disability, dan kebutuhan akan infrastruktur universal. Di sisi lain, proses partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan adaptasi masih bersifat seremonial dan tidak mengikat. Masyarakat lokal, perempuan, dan kelompok rentan seringkali hanya diundang untuk memberikan pendapat, bukan menentukan arah kebijakan.
PIKUL menekankan adaptasi yang adil hanya mungkin terwujud bila ada devolusi kekuasaan ke tingkat lokal dan mekanisme partisipasi yang bermakna. Program berbasis komunitas seperti ProKlim seharusnya dijalankan dengan menjamin pengakuan atas peran perempuan serta masyarakat lokal dalam sistem pangan lokal dan mendorong pembelajaran kolektif antar komunitas. Selain itu, akses terhadap pendanaan iklim yang selama ini sangat birokratis perlu dibuka langsung bagi komunitas akar rumput, petani, nelayan, dan masyarakat adat yang telah lama membangun ketahanan tanpa banyak dukungan negara.
Melihat berbagai kelemahan tersebut, PIKUL menyerukan agar Pemerintah Indonesia meninjau kembali arah kebijakan adaptasi iklim nasional dengan menempatkan keadilan sosial-ekologis dan hak asasi manusia sebagai inti dari SNDC. Pengesahan RUU Keadilan Iklim, harus segera dilakukan sebagai prasyarat fundamental bagi keberhasilan adaptasi berkeadilan. Pemerintah juga perlu membangun mekanisme perlindungan sosial adaptif yang nyata bagi pekerja informal, perempuan, dan penyandang disabilitas, serta menjamin adanya partisipasi bermakna yang memungkinkan kelompok rentan menjadi perancang kebijakan, bukan sekadar penerima dampak.
Tanpa keberpihakan yang jelas pada kelompok rentan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat, ambisi teknokrasi adaptasi hanya akan menjadi dokumen indah tanpa makna. Krisis iklim adalah persoalan keadilan, bukan sekadar soal angka dan target.
Kontak:
Yayasan PIKUL
📞 PIKUL MEDIA | +62 821-4433-3785
✉️ [pikul.media@pikul.id]
🌐 www.pikul.id