Catatan Editorial Buletin PIKUL INISIATIF Seri I 2025
Setelah 17 tahun, Yayasan PIKUL kembali menerbitkan buletin Inisiatif. Buletin ini adalah cermin hidup dari perjuangan dan harapan yang tersemai di tengah tantangan krisis berlapis. Sejak awal kami ingin menegaskan: krisis iklim yang melanda Indonesia Timur, khususnya Nusa Tenggara Timur, bukan sekadar masalah cuaca. Ini adalah manifestasi dari ketidakadilan struktural dan diperparah oleh kebijakan pembangunan mengedepankan keseragaman.
Krisis iklim, sebagai dampak terakhir dari antroposen menambah lapisan krisis yang sudah akut akibat ketimpangan, ketidakadilan, dan keseragaman. Kelompok yang paling keras merasakan dampak ini adalah nelayan kecil dan tradisional, petani skala kecil, perempuan, dan penyandang disabilitas. Mereka seringkali menjadi aktor yang terlupakan dalam narasi pembangunan, kemajuan, dan perubahan iklim. Inilah misi utama kami: “Make The Invisible, Visible” (membuat yang tak terlihat menjadi terlihat).
Buletin ini menuturkan cerita lapangan yang penuh ketidakpastian. Ketidakpastian pola hujan dan kemarau berkepanjangan menyebabkan gagal panen yang signifikan bagi petani dan menggoyang fondasi kesejahteraan komunitas. Kerentanan ini diperburuk oleh berlanjutnya bias kebijakan pangan nasional yang mengutamakan pada berasnisasi. Ditambah lagi proyek-proyek yang abai ekosistem sistem lokal, bahkan menganggap ekosistem kering sebagai sebuah “kecelakaan”. Kebijakan ini merusak kedaulatan pangan lokal dan menyingkirkan hingga 145 jenis tanaman pangan yang secara turun-temurun menjadi penyangga kehidupan. Di pulau kecil, seperti Sabu Raijua, krisis tata kelola air menghantui pulau di tengah Samudera Hindia ini. Penggunaan sumur bor berlebihan yang diinisiasi sebagai solusi politik, justru memicu intrusi air laut, menciptakan masalah baru alih-alih menyelesaikan masalah air bersih. Sementara di pesisir, pembangunan seringkali bias kelas, mengutamakan jogging track atau estetika kota, padahal yang paling dibutuhkan nelayan adalah pemecah gelombang dan perbaikan tanggul pasca badai.
Resiliensi Berbasis Komunitas: Rakyat Adalah Jawaban Namun, di tengah kegagalan sistem, resiliensi komunitas telah tumbuh subur dan menjadi harapan kita. Kelompok nelayan di Oesapa menginisiasi “Rumah Ikan” (rumpon) untuk memulihkan ekosistem laut, menunjukkan bahwa solusi konservasi yang paling efektif datang langsung dari tangan para penjaga laut. Petani perempuan di Oh’aem II membangun Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP) Betmanu Lete, yang berfungsi sebagai “celengan hidup” dan modal saat krisis melanda.
Inisiatif-inisiatif ini membuktikan bahwa pengetahuan lokal, solidaritas, dan inovasi masyarakat adalah benteng pertahanan paling kokoh menghadapi krisis iklim. Tuntutan Keadilan dan Harapan Kolektif Peran PIKUL adalah memastikan suara komunitas yang resilien ini mencapai ruang kebijakan. Melalui Aliansi Rakyat untuk Keadilan Iklim (ARUKI), kami menyerap aspirasi dari delapan subjek masyarakat rentan dan menyusun naskah akademik RUU Keadilan Iklim versi masyarakat sipil. Tuntutan nelayan untuk pemecah gelombang dan asuransi aset, serta desakan kami untuk moratorium sumur bor baru dan implementasi Kampung Ramah Air Hujan (KRAH) di Sabu Raijua, adalah wajah tuntutan sekaligus solusi rakyat yang perlu menjadi pertimbangan utama kebijakan pembangunan dan perubahan iklim.
Kami menyerukan pentingnya integrasi kebijakan iklim, yang tidak hanya memuja pada hutan tropis, tetapi juga memasukkan ekosistem non-hutan seperti savana, pesisir, dan lahan kering yang krusial bagi masyarakat lokal. Kebijakan harus bergeser dari sekadar “tutupan hijau” menjadi pemahaman utuh tentang fungsi ekologis dan hubungan sosial budaya. Kami menegaskan, amanat konstitusi menjamin hak-hak dasar, tetapi realitas lapangan menunjukkan negara seringkali abai. Dukungan Bapak/Ibu adalah kekuatan kami untuk terus menjadi penghubung antara masyarakat lokal dan ruang kebijakan nasional dan global, memastikan negara bergerak bersama rakyat.
Hormat saya,
Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan PIKUL

