Pemerintah daerah jelas bertanggungjawab penuh terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pengelolaan sampah yang buruk hingga menyebabkan warga kemudian tidak dapat menikmati akses lingkungan hidup yang baik.
Tahun 2022 lalu, Kota Kupang sukses menyabet gelar “Kota Terkotor” di Indonesia untuk kategori kota sedang oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK). Gelar ini bukanlah yang pertama kali diberikan kepada ibu Kota Provinsi Nusa Tenggara Timur ini, pasalnya pada 2019 lalu Kota Kupang juga mendapat gelar yang sama oleh KLHK dalam penilaian program Adipura periode 2017-2018 . Dilansir dari kompasiana.com, tempat pemrosesan akhir (TPA) yang masih menggunakan lahan terbuka (Open dumping) dan belum adanya penyusunan kebijakan strategi daerah untuk pengolahan sampah adalah hal-hal yang mempengaruhi penilaian gelar tersebut.
Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Kupang tahun 2022, sampah di Kota Kupang mencapai 86 ton sampah per hari sementara pada tahun 2021 mencapai 218.98 ton per hari (sumber : Victory News). Menurut Walikota Kupang, George Melkianus Hadjoh penyumbang sampah terbanyak adalah sampah rumah tangga. Tetapi bila ditilik kembali, sampah-sampah rumah tangga seperti kemasan bumbu masakan, kemasan mie instan, dll adalah sampah yang berasal dari perusahaan-perusahaan besar di luar Kota Kupang. Pertumbuhan kota yang semakin tinggi mengakibatkan bertambahnya volume sampah di Kota Kupang sehingga penanganannya perlu dilakukan secara menyeluruh, mulai dari pengurangan sampah skala rumah tangga, tempat usaha hingga penanganan sampah yang tidak bisa dikurangi, termasuk pertanggungjawaban produsen. Selama ini, sebagian besar pengelolaan sampah di Kota Kupang masih sebatas dikumpulkan, diangkut, dan dibuang ke tempat pemrosesan akhir sampah.
Undang-undang Republik Indonesia No. 8 tahun 2008 menyebutkan bahwa pengelolaan sampah dilakukan dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu, sejak sebelum dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai ke hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara aman. Pengelolaan sampah dengan paradigma bahwa sampah sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi dapat dilakukan dengan kegiatan pengurangan dan penanganan sampah. Pengurangan sampah meliputi kegiatan pembatasan (reduce), penggunaan kembali (reuse), dan pendauran ulang (recycle), sedangkan kegiatan penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah untuk menangani permasalahan tersebut, mulai dari mengeluarkan perda No. 3 tahun 2011 yang mengatur tentang sampah, perda No. 33 tahun 2019 tentang penggunaan kantong plastik hingga turun aksi secara beramai-ramai untuk membersihkan sampah baik di jalan maupun di selokan bersama aparatur pemerintahan lainnya. Aksi-aksi pejabat yang secara langsung turun ke lapangan membersihkan sampah ini tentu tak luput dari liputan awak media hingga riuh pujian masyarakat di media sosial. Sayangnya, upaya-upaya tersebut masih belum cukup membuat kota ini bersih dari sampah. Solusi yang diberikan oleh pemerintah kota tampaknya seperti solusi palsu yang hanya memindahkan sampah dari satu lokasi ke lokasi lain. Kegiatan bersih-bersih kota tentu baik dan harus terus ada baik oleh masyarakat maupun instansi pemerintah. Namun sayangnya sekali lagi “bersih-bersih saja tidak cukup” untuk menangani permasalahan sampah tersebut. Seperti yang tertuang dalam Undang – Undang No. 18 tahun 2008, pemerintah bertanggungjawab terhadap pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir namun, yang dilakukan pemerintah Kota Kupang bukanlah pengelolaan melainkan memindahkan “masalah” dengan menambah “masalah” baru. Nyatanya, ada hal lain yang penting juga untuk diperhatikan yakni proses lanjutan sampah tersebut di “Tempat Penitipan Akhir” (TPA). Ya, TPA yang seharusnya menjadi tempat pemrosesan akhir, akhirnya hanya menjadi seperti “tempat penitipan” tumpukkan sampah dari berbagai penjuru Kota Kupang yang akhirnya hanya dibiarkan tertimbun begitu saja. Tempat pemrosesan akhir adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan.
Akibat sampah yang hanya ditimbun terlalu lama tanpa pengelolaan yang tepat, pada akhir 2022 lalu, masyarakat Kota Kupang dikejutkan dengan terbakarnya TPA yang berlokasi di Kelurahan Alak, Kecamatan Alak, Kota Kupang. Kebakaran tersebut menyebabkan polusi udara dan mengganggu masyarakat sekitar. Bahkan menurut Rina salah satu pemulung di TPA Alak dalam wawancara yang dimuat dalam KatongNTT.com, mengaku bahwa kebakaran sudah terjadi sejak Juli 2022 dan pemkot sudah berupaya memadamkan api yang tak kunjung padam tersebut.
“su hampir lima bulan dari Juli itu. Siang-siang terbakar, kami di sini lari ke rumah di Osmok. Tidak bisa lihat dan tidak bisa bernafas” Kata Rina menceritakan situasi saat itu.
( sumber : KatongNTT.com)
Selama kurang lebih 5 bulan menghirup asap TPA, pada Desember 2022 TPA kembali terbakar lagi dengan kobaran api yang lebih besar. Terhitung sejak Juli 2022, asap yang mencemari lngkungan sudah mengganggu masyarakat selama kurang lebih 6 bulan.
Kebakaran besar tersebut kemudian menimbulkan kecurigaan bahwa TPA sengaja dibakar untuk mempermudah penanganan sampah yang menggunung tersebut namun hal ini langsung ditepis oleh Sekretaris Dinas Lingkungan Hidup dan kebersihan Kota Kupang, Jefry M. Djami yang diwawancarai oleh pos kupang pada 13 Desember 2022 lalu. Menurut beliau, kebakaran tersebut disebabkan oleh gas dan kaca yang disinari oleh matahari.
Tumpukan sampah di TPA paling banyak berasal dari sampah rumah tangga yang dimana sampah-sampah tersebut kebanyakan adalah sampah plastik kemasan/pembungkus produk-produk yang asalnya dari produsen luar kota Kupang. Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Greenpeace Indonesia pada 2018 lalu dalam gerakan #BreakFreeFromPlastick, menemukan bahwa sampah-sampah yang dibuang di TPA kebanyakan berasal dari perusahaan yang sudah tidak asing dan merupakan produsen barang kebutuhan sehari-hari (fast moving consumer goods atau FMCG) seperti Danone, Nestle, Johnson & Johnson, Unilever, Coca Cola, Colgate dll.
Jika merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 tahun 2018 pasal 15, perusahaan wajib bertanggungjawab dengan mengelola kemasan yang diproduksinya terutama kemasan yang sulit terurai atau yang tidak dapat terurai. Pemerintah daerah dalam hal ini gubernur, walikota, bupati, atau dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah berhak memberi teguran tegas terhadap produsen yang tidak bertanggungjawab terhadap sampahnya. Korporasi mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi masyarakat sehingga regulasi yang tegas dari pemerintah tentu dapat membuat produsen bertanggungjawab terhadap kemasan produk mereka. Hingga saat ini, pemerintah telah mengeluarkan peraturan menteri LHK No.75/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2019 tentang peta jalan pengurangan sampah oleh produsen (permen LHK 75/2019) yang mengatur agar produsen di bidang manufaktur, jasa makanan dan minuman serta ritel wajib mengurangi sampah dari produk dan kemasannya. Namun sayangnya proses ini tidak berjalan secara transparan sehingga publik tidak mengetahui sejauh mana komitmen para produsen tersebut.
Sistem TPA di lahan terbuka (Open Dumping) seperti pada TPA Alak, seharusnya sudah tidak boleh ada lagi sejak dilarang pada tahun 2013 dengan didukung oleh terbitnya Undang – Undang No. 18 tahun 2008. Dalam Undang-undang tersebut, terutama pada pasal 44 menyatakan bahwa pemerintah daerah harus membuat perencanaan penutupan tempat pemrosesan akhir sampah yang menggunakan sistem terbuka paling lama satu tahun sejak berlakunya undang-undang tersebut. Namun, hingga saat ini sampah di TPA Alak terus menggunung dan akhirnya terbakar.
Pemerintah daerah jelas bertanggungjawab penuh terhadap dampak yang ditimbulkan oleh pengelolaan sampah yang buruk hingga menyebabkan warga kemudian tidak dapat menikmati akses lingkungan hidup yang baik. Metode TPA dengan sistem open dumping menghasilkan gas metana (CH4) yang merupakan salah satu Gas Rumah Kaca ( GRK) penyebab krisis iklim. Timbunan sampah padat yang tidak didaur ulang melepaskan emisi karbon yang cukup besar yakni sebesar 15%. Hal ini setara dengan 21,6 juta mobil yang dikendarai selama satu tahun. Gas metana sendiri memiliki efek yang lebih besar dari gas karbondioksida dalam pengaruhnya terhadap perubahan iklim. Human Society International (2014) menyatakan bahwa dalam jangka waktu 20 tahun, gas metana memiliki angka GWP (Global Warming Potential) 25 kali lipat dibanding karbondioksida.
Konsentrasi gas metana di Indonesia dalam tren 15 tahun terakhir mengalami peningkatan hingga tahun 2021 mencapai 1923,6 ppb (laju peningkatan sebesar +7,7 ppb/tahun). Kondisi gas metana di Indonesia ini dapat menjadi kontributor perubahan iklim global dan regional karena karakteristik gas metana di atmosfer yang berpotensi menyimpan panas lebih kuat daripada karbondioksida sehingga dapat memperkuat proses pemanasan global. Data emisi yang telah dihimpun oleh US EPA (United State Environmental Protection Agency), menunjukkan selama 20 tahun terakhir, sektor limbah pembuangan baik yang bersumber dari tempat pembuangan akhir maupun limbah perairan menjadi penyumbang gas metana terbesar di Indonesia yakni 57% dari keseluruhan emisi tahun 2001-2020. Gas metana tidak dapat diserap secara alami oleh tanaman dalam proses fotosintesis dan memiliki sifat mudah terbakar jika bereaksi dengan api sehingga kasus kebakaran di TPA seperti di TPA Alak sangat mungkin terjadi akibat gas metana yang berasal dari timbunan sampah. Tidak hanya itu, jika terhirup oleh manusia gas metana dapat menyebabkan mual, sakit kepala, detak jantung lebih cepat, lesu, gelisah, penglihatan kabur hingga kehilangan memori.
Berkaitan dengan persoalan sampah ini, walikota Kupang George Melkianus hadjoh dalam wawancaranya bersama antaranews justru optimis menargetkan persoalan sampah akan selesai pada Desember 2022.
“sesuai target kita, setidaknya pada Desember 2022 permasalahan sampah sudah bisa selesai karena saat ini pemerintah Kota Kupang terus gencar melakukan upaya membersihkan sampah secara masif di semua kelurahan” demikian kata George Melkianus Hadjoh pada september 2022 lalu.
Namun sepertinya target beliau meleset karena bersih-bersih saja tidak cukup, malah menambah masalah di TPA yang kemudian terbakar dan mencemari udara. Lalu apakah perlu berhenti bersih-bersih ? Tentu tidak, Selain bersih-bersih, pemerintah justru memiliki power dan privilege untuk membuat aturan mengurangi sampah dengan mewajibkan penggunaan isi ulang (refill), penggunaan kembali (reuse) sebagai peraturan prioritas sehingga produsen mau tidak mau harus merespon baik solusi tersebut jika tidak maka pemerintah berhak memberi sanksi yang berlaku. Langkah tersebut akan menjadi harapan baik bagi permasalahan sampah di Kota Kupang. Selain itu, pemerintah juga perlu memaksimalkan perda No. 33 tahun 2019 tentang penggunaan kantong plastik yang mewajibkan toko, swalayan dan seluruh masyarakat untuk membawa tas belanja sendiri untuk meminimalisir penggunaan plastik sekali pakai. Tidak hanya industri dan pemerintah, sebagai masyarakat juga perlu mengurangi ketergantungan terhadap produk sekali pakai dan memulai gaya hidup berkelanjutan.*** (EG)