Solidaritas untuk Mengklaim Kembali Masa Depan

Catatan dari Festival Paham Nifu Mese, TTS

Hai mi sosa sa’le hai mo’et mihine

Hai kami sosa sata sa’le hai mo’et kamihine

Hai fe mui sufa ka’uf…

[Kami tidak menjual apa yang tidak bisa kami buat,

Kami hanya menjual apa yang bisa kami buat

Karena kami punya anak cucu…]

***

DEKLARASI rumusan masyarakat ini dibacakan oleh Wakil Bupati Timor Tengah Selatan di puncak acara Festival Paham Nifu Mese pada 11 Desember 2011. Melalui deklarasi ini, masyarakat mengklaim kembali hak mereka untuk menentukan arah pembangunan wilayahnya. Melalui deklarasi ini, masyarakat memberikan rambu-rambu tegas pada negara tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan atas nama apapun, termasuk pembangunan.

Bukan rambu-rambu tanpa sebab. Festival Paham Nifu Mese adalah bagian dari perayaan kebersamaan komunitas 3 wilayah yang membangun jejaring mandiri berbasis kekuatan masing-masing. Berbagai pengalaman perjuangan masyarakat masing-masing wilayah dijadikan bahan belajar tak habis digali. Masyarakat 3 wilayah dalam perayaan ini mampu menyodorkan bukti-bukti kekuatan yang mereka miliki, dan harus menjadi dasar kuat bagi pembangunan wilayah. Kekuatan-kekuatan yang direpresentasi oleh unsur-unsur penting hak dasar komunitas: lopo, makanan bersumber lokal dan tenunan dengan pewarna alami.

Lopo bukan semata tempat berteduh dari panas dan hujan. Lopo adalah simbol sekaligus praksis demokrasi dalam masyarakat. Dimana pengambilan keputusan tidak semena-mena, tetapi adalah hasil rembug bersama di lopo.

Makanan bukan semata memenuhi kebutuhan fisik hari ini. Makanan adalah instrumen pemeliharaan masa depan, generasi penerus serta hasil kolaborasi harmonis manusia dan alamnya. Kadang tak terbayang apa yang disediakan alam untuk manusia, dan kemampuan manusia mengolahnya dengan kreatif. Menyantap lezatnya olahan sagu gebang (putak laka) dicampur madu, atau kacang Arbila dibalur sambal lu’at adalah kenikmatan yang tak bisa diperoleh lagi bila hutan tidak lagi dibawah pengelolaan dengan kasih masyarakat.

Hasil tenunan bukan pelindung tubuh semata. Melaluinya, struktur dan pembagian peran dalam masyarakat diceritakan turun temurun. Warna-warni memikat yang mencerminkan kreativitas tradisi dalam pola yang bercerita merupakan hasil dari perasan dedaunan, kulit pepohonan dan buahan alam sekitar. Jauh lebih indah dibanding penggunaan pewarna buatan.

Kekuatan-kekuatan diatas diekspresikan masyarakat dalam bentuk drama-drama singkat dan narasi-narasi menggugah penuh penghayatan. Tidak ketinggalan tarian bonet dan puisi-puisi dari hati yang penuh kekuatan menghangatkan pekatnya hujan bulan Desember, diiringi petikan juke dan detak tegas gong Amanuban.

Kekuatan yang ada memungkinkan masyarakat menggambarkan visi wilayah mereka. Untuk mengafirmasinya, Wakil Bupati TTS diajak untuk bersama mengvisualisasi visi masyarakat di satu lembar besar papan visi 3 suku besar TTS. Ini adalah sebuah demonstrasi kedaulatan, klaim atas masa depan wilayah.

Lebih dari 300 orang tokoh dan anggota komunitas, para tetua, perempuan, anak muda dan anak-anak mengambil bagian dalam festival ini. Tanggal yang dipilih bukan kebetulan: 10 Desember. Ketika masyarakat dunia merayakan Hari Hak Asasi Manusia, masyarakat TTS mendeklarasikan hak untuk menentukan arah pembangunan wilayah di bawah naungan Fatu Nausus, perlambang sumber air kehidupan di Timor yang diselamatkan masyarakat dari celaka pembangunan kapitalistik.

Acara puncak Festival Paham Nifu Mese terpaksa ditunda 1 hari untuk mengafirmasi kehadiran Bupati TTS sebagai pimpinan pemerintahan. Ingkarnya bupati toh tidak menyurutkan semangat perayaan masyarakat. Perayaan sesungguhnya telah terjadi bertahun sebelumnya. Ketika masyarakat, perempuan dan laki-laki, mempertahankan wilayah dari perampokan sumber daya dan pencucian identitas. Ketika mereka saling bertemu untuk berbagi pengalaman dan pemahaman tentang hak dasar dan sumber daya bersama. Ketika mereka membangun visi bersama. Ketika mereka kembali dan menyebarluaskan pemahaman dan visi di komunitas masing-masing dengan strategi-strategi komunikasi yang kreatif.

Ingkarnya bupati seperti menyiram bensin pada api kedaulatan wilayah yang mulai membesar. Ketidakacuhan yang dipertontonkan pimpinan pemerintahan wilayah ditransformasi menjadi enerji baru bagi kekuatan rakyat. ‘Pesta ini adalah pesta rakyat, kita merayakan kekuatan dan visi kita. Tidak peduli, negara hadir atau tidak,’ demikian penegasan rakyat.

Festival Paham Nifu Mese ditutup dengan tarian bonet bergandengan tangan bersama, melambangkan ikatan visi dan hasrat membangun wilayah dengan lestari. Lebih dari 300 orang menari dalam langkah selaras, memamerkan solidaritas. Solidaritas antara alam dengan manusia. Solidaritas antara manusia-manusia dari suku berbeda dengan karunia sumber daya yang berbeda. Solidaritas antara generasi kini dan penerusnya. Solidaritas yang tidak kuyup oleh hujan dan ketidakhadiran negara.*** (Tim PIKUL)

Post Related

Scroll to Top