Bersuara Bagi Hutan Marga di Pulau Kecil

Hutan merupakan sumber kehidupan yang memiliki keanekaragaman tumbuhan dan hewan. Karena memiliki keanekaaragaman tersebut, hutan memberikan manfaat tangibel dan intagibel bagi lingkungan sekitar. Hutan memainkan peran penting dalam siklus hidrologi, menstabilkan dan melestarikan kehidupan ekosistem dalam tanah, serta menjadi habitat paling subur bagi spesies. Bisa saja satu atau beberapa jenis spesies hanya tumbuh dan berkembang biak di dalam satu hutan. Dengan demikian, hutan dapat menjelaskan identitas dari wilayah tersebut.

Pulau Semau memiliki hutan hak yang meliputi hutan desa dan hutan marga. Hutan desa hanya terdapat di desa Uiasa. Semenjak tahun 2020, Lembaga Adat dan pemerintah desa dengan dukungan dari Yayasan PIKUL, GEF SGP dan WGII (Working Group ICCAs Indonesia) menjadikan hutan desa sebagai Pukun Lulin atau hutan larangan. Aktivitas eksploitasi tidak diperbolehkan lagi dalam kawasan hutan tersebut dengan tujuan konservasi untuk keberlangsungan sumber mata air desa. Sedangkan hutan marga dicirikan dengan pengelolaannya secara komunal dalam hal ini marga/klan. Desa Uiasa memiliki hutan marga Solini, Letenboi dan Bising. Sedangkan di desa Batuinan terdapat tujuh hutan marga yakni hutan marga milik keluarga Balsomang, Slenasabu, Buifena, Putis Lulut, Bissilisin, Lainali, dan Naispotimu. Dan masih terdapat hutan marga di dua belas desa lainnya.

Bersamaan dengan penetapan Pukun Lulin dan atas dukungan dari pihak yang sama, Keluarga Balle Bilis Mau menetapkan salah satu hutan marga menjadi Talas. Dalam bahasa Helong, Talas berarti larangan. Apabila suatu area telah ditetapkan sebagai Talas maka kegiatan pemanfaatan tidak diperbolehkan lagi berlangsung pada area tersebut selama jangka waktu yang tertentu. Biasanya, Talas terjadi atas kesepakatan marga dan apabila ada yang melanggarnya maka akan dikenakan hukum adat seperti bencana atau sakit yang terjadi pada pelanggar. Talas dan Pukun Lulin merupakan upaya konservasi untuk melindungi sumber mata air. Sistem yang diberlakukan adalah buka tutup. Buka untuk menanam anakan untuk menambah populasi tanaman dan kemudian ditutup untuk menjaga kelestariannya. Dalam tradisi suku Helong, penetapan area konservasi bisa dengan sistem yang berbeda, tergantung dengan pemanfaatannya. Jika hutan dimanfaatkan sebagai sumber pengetahuan pangan dan herbal, maka berbeda pula sistem yang diberlakukan dalam konservasi.

Manfaat lain dari hutan marga adalah sumber pangan hutan, pakan ternak, kayu bakar dan plasma nutfah. Salah satu pangan hutan yang masih sering dimanfaatkan adalah sayur dua hari. Namanya mencirikan waktu pemanfaatan tanaman yakni dua hari setelah terjadi hujan pertama dalam setahun. Sayuran ini tumbuh liar di dalam hutan dan siapa pun dapat mengaksesnya. Menurut tradisi di Semau, sayuran ini tidak dapat dimanfaatkan lagi setelah memasuki hari ketiga setelah hujan. Sebab, sayuran ini sudah tua dan memiliki cita rasa yang berbeda.

Hutan marga di Pulau Semau juga menjadi “apotik” bagi warga di Semau. Penelurusan dari Yayasan PIKUL dengan dukungan dari ICCA GSI GEF SGP, mengidentifikasi lebih 100 jenis tanaman yang dimanfaatkan sebagai obat herbal bagi berbagai jenis penyakit baik bagi manusia maupun ternak. Jumlah ini berdasarkan hasil identifikasi tanaman di tiga desa Pulau Semau dan kemungkinan akan bertambah jumlahnya. Beberapa jenis tanaman memiliki manfaat yang ganda. Misalnya tanaman “Krenceng” yang memberikan manfaat sebagai bumbu dapur dan obat pasca persalinan. Sebelum adanya bumbu dapur produksi pabrik, warga biasa menggunakan daun tanaman Krenceng sebagai bumbu dapur. Daun dicampur dalam masakan ikan kuah asam atau mengukus ikan. Bagian kulit dari batang tanaman ini juga digunakan sebagai obat pasca persalinan. Kulit tanaman direbus bersama dengan bahan lainnya (Haidakan, Damar Putih, Kayu Namon, Buah Lelak, Dapun, Kaibua dan Kai Angin) untuk diminum oleh perempuan pasca melahirkan. Dalam penelesuran juga ditemukan kenyataan bahwa terdapat satu jenis tanaman yakni Hliu Bikloben yang keberadaannya hanya di hutan marga Laibahas. Tanaman tersebut dapat digunakan untuk mengobati luka pada ternak maupun manusia. Warga mengungkapkan bahwa jenis tanaman ini hanya tersisa satu pohon dan tumbuh diatas batu. Orang-orang dari desa tetangga yang membutuhkannya dapat mengaksesnya dalam hutan marga tersebut.

Pemanfaatan hasil hutan masih berlangsung hingga sekarang. Sayangnya, manfaat hutan sebagai sumber plasma nutfah hanya diketahui oleh beberapa orang tua di desa. Manfaat hutan terancam akan aktivitas pengembangan di Pulau Semau. Penetapan Pulau Semau sebagai bagian dari Ring of Beauty dan kawasan strategis mengharuskan pemerintah untuk melakukan percepatan pembangunan. Percepatan tersebut memungkinkan terjadi perambahan hutan. Ketika hal tersebut terjadi maka secara tidak langsung akan merusak ratusan spesies yang memiliki nilai dan kegunaan. Pada akhirnya, kekayaan hutan Semau hanya menyisakan cerita bagi generasi berikutnya tanpa ikut merasakannya.

Hari hutan sedunia mengingatkan kita atas manfaat dan ancaman terhadap hutan serta penghuninya.  Hutan di Pulau Semau adalah contoh bagaimana hutan menghadapi ancaman pembangunan, Jika kita membiarkan hutan di bumi ini punah, dunia akan kehilangan jutaan manfaat hutan, bahkan meningkatkan kerentanan akibat dampak perubahan iklim yang tampaknya tak terhindarkan. (PIKUL)

Post Related

Scroll to Top