Laporan IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) menunjukan hampir dapat dipastikan bahwa lautan global telah memanas tanpa henti sejak tahun 1970 dan telah menyerap lebih dari 90% panas berlebih dalam sistem iklim. Sejak 1993, tingkat pemanasan laut meningkat lebih dari dua kali lipat. Gelombang panas laut kemungkinan besar telah berlipat ganda frekuensinya sejak tahun 1982 dan semakin meningkat intensitasnya. Dengan menyerap lebih banyak CO2, lautan telah mengalami peningkatan pengasaman permukaan laut. Ekosistem laut terbuka, pesisir dan laut lepas, termasuk terumbu karang, pantai berbatu, hutan rumput laut, lamun, bakau, Samudra Arktik, dan laut semi-tertutup, baru-baru ini mengalami kematian massal akibat gelombang panas laut. Hal ini akan mendorong lebih besar lagi risiko pemusnahan dan kepunahan spesies dan penataan ulang jaring makanan laut.
Sejumlah penelitian dan skenario iklim masa depan di beberapa pulau kecil, menunjukkan pemutihan karang yang parah setiap tahun sebelum tahun 2040. Pemutihan karang yang parah, bersamaan dengan penurunan kelimpahan karang telah diamati di banyak pulau-pulau kecil, terutama di Samudra Pasifik dan Hindia. Di atas suhu 1,5°C, secara global termasuk pulau-pulau kecil, diproyeksikan akan ada kehilangan lebih lanjut 70–90% karang pembentuk terumbu, dengan 99% karang hilang di bawah pemanasan 2°C atau lebih (IPCC WGII 6th Assessment Report Chapter 15).
Padahal Ekosistem laut dan pesisir merupakan salah satu pendukung kehidupan di bumi, salah satunya dalam aspek kesejahteraan manusia. Ekosistem laut dapat menyediakan keanekaragaman hayati yang dapat menjadi asupan makanan bagi makluk hidup, dan lapangan kerja bagi manusia. Laporan Bappenas (2019), memperkirakan kerugian ekonomi dampak perubahan iklim pada sektor kelautan dan pesisir meningkat dalam 5 tahun kedepan. Kerugian akan meningkat menjadi 81,82 triliun di tahun 2024. Sektor kelautan dan pesisir menyumbang angka kerugain terbesar dari empat sektor prioritas, diikuti sektor air, sektor pertanian dan sektor kesehatan.
Sayangnya hal ini tidak didukung dengan perilaku dan kebiasaan yang tidak mencerminkan kontribusi terhadap komitmen bersama demi keberlangsungan ekosistem laut dan pesisir kita, seperti alih fungsi hutan mangrove; penambangan pasir yang menyebabkan abrasi; praktik penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti pengeboman dan penggunaan bahan kimia; penangkapan ikan yang berlebihan; pembuangan limbah dan sampah ke laut yang tidak didukung dengan manajemen pembuangan sampah yang baik; pemanfaatan batu bara pada industri besar dan masih banyak lagi. Saat ini kondisi ekosistem laut dan pesisir sangat membutuhkan perhatian yang serius dari kita semua.
Sudah saatnya kita membuat aksi kolektif sebagai upaya revitalisasi laut. Koalisi SIPIL (KoAksi dan Yayasan PIKUL) dalam program Voices For Just Climate Action juga mendukung melalui kegiatan adaptasi secara kelembagaan, komunitas, mengupayakan perubahan di sektor kebijakan, strategi, program dan aksi adaptasi. Koalisi SIPIL melihat aksi di atas menjadi krusial karena sejatinya laut tidak hanya sekedar menyediakan makanan, mineral, energi, dan lapangan kerja bagi manusia; tetapi juga menyimpan peranan penting bagi keberlangsungan seluruh makhluk hidup dalam hal suplai oksigen. Kita tahu bersama mikroorganisme lautan (fitoplankton) menyumbang 50-58% oksigen lebih besar dibanding tumbuhan (pohon) yang hanya menghasilkan 20% oksigen di bumi (National Oceanic and Atmosphere Administration). Oleh karena itu dengan menjaga keberlangsungan laut berarti kita sedang menjaga peradaban dunia. (Mariano Lejap & Ewaldina Soro-PIKUL)