Siaran Pers Yayasan PIKUL : Keadilan Iklim dan Ketahanan Kepulauan Wajib dibahas dalam Debat Capres-Cawapres

Kupang, 17 Januari 2024 

Pada 21 Januari 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia akan menyelenggarakan debat ke-IV. Momen tersebut menyuguhkan penampilan debat para kandidat Calon Wakil Presiden 2024-2019 dengan mengusung tema seputar energi, sumberdaya manusia, pajak karbon, lingkungan hidup, agraria, dan masyarakat adat. Para panelis debat akan menguji sejauh mana pemahaman serta komiten para cawapres terkait visi-misi serta realisasi dari tema-tema tersebut. Dihadapkan pada sekian tema yang cukup krusial, sebab menyangkut kepentingan kesejahteraan rakyat Indonesia dalam seluruh cerita dan kenyataan mengenai keadilan pembangunan dan sumberdaya alam, akan tetapi tidak ada satupun pembahasan tematik debat yang menyentuh dan memperbincangkan realitas mengenai krisis iklim, keadilan iklim dan bagaimana pembangunan ketahanan terhadap wilayah kepulauan.  

Indonesia adalah negara kepulauan. Dengan demikian laut bukanlah pemisah, melainkan sebagai penyatu ribuan pulau-pulau di Indonesia. Dari 17.0241 pulau di Indonesia, 11.3032 pulau berada di kawasan Indonesia bagian Timur.3 Dengan banyaknya jumlah pulau di kawasan ini, Indonesia Timur memiliki kekayaan ekologi, sumber daya alam, sistem pengelolaan agraria dan maritim, kelompok adat dan model adaptasi terhadap perubahan iklim yang beragam. Namun, dengan karakteristik kepulauan tersebut, kawasan Indonesia Timur juga memiliki tantangan berbeda dalam menghadapi dampak perubahan iklim. Dengan karakteristik kepulauan, wilayah ini rentan terhadap bencana hidrometeorologi di darat maupun laut seperti siklon tropis dari samudera, gelombang pasang, banjir, kenaikan permukaan air laut, dan kekeringan. Belum lagi dampak aktivitas pertambangan di darat yang seringkali mengancam ekosistem laut sebagai sumber mata pencaharian nelayan tradisional.  

Kondisi ini diperparah dengan persentase penduduk miskin Indonesia yang terkonsentrasi di pulau-pulau Indonesia Timur. Tiga provinsi dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia pada Semester I 2023, berada di kawasan Indonesia Timur, yaitu Papua (26.03%), Papua Barat (20,49%) dan Nusa Tenggara Timur (19.96%).4 Provinsi lain seperti Maluku (16.42%),5 Gorontalo (15.15%),6 Nusa Tenggara Barat (NTB) (13.85%),7 dan Sulawesi Tengah (12.41%)8 juga berada di 10 besar provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia pada periode yang sama. Dengan tingkat kemiskinan, yang berada jauh di atas persentase penduduk miskin nasional (9.36%),9 model pembangunan, yang mal-adaptif, beresiko memperburuk kerentanan masyarakat kepulauan.  

Sekalipun naskah Visi-Misi ketiga paslon telah menyinggung isu pesisir, laut dan pulau-pulau kecil, masyarakat kepulauan hanya ditempatkan sebagai objek pembangunan dalam skema ekonomi biru dan hijau tanpa memperhatikan ketahanan masyarakat kepulauan melalui pembangunan kawasan Indonesia Timur yang berkeadilan. Padahal tingkat kemiskinan yang tinggi serta dampak perubahan iklim yang mengancam keberlangsungan hidup masyarakat kepulauan. Pembangunan di kawasan Indonesia Timur harus mampu meningkatkan kapasitas adaptasi masyarakat kepulauan dalam merespon perubahan iklim. Oleh karena itu, Yayasan PIKUL menuntut agar adaptasi berkeadilan iklim berciri wilayah kepulauan harus masuk dalam tema perdebatan tersebut. 

1. Bagaimana para kandidat Calon Presiden (Capres)-Calon Wakil Presiden (Cawapres) 2024-2029 memastikan komitmennya terhadap model, praktik dan implementasi pembangunan wilayah dan keadilan iklim sesuai karakteristik ekoregion dan bioregion yang terdapat dan dimiliki oleh masing-masing wilayah kepulauan dan kawasan pesisir di kawasan Indonesia Timur? 


Dalam naskah visi-misi, ketiga paslon hanya menempatkan kelompok rentan sebagai objek pembangunan. Padahal peningkatan kapasitas adaptasi berkeadilan di wilayah kepulauan hanya dapat dilakukan dengan mengakui hak kelompok rentan di wilayah tersebut. Kelompok perempuan pesisir, yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menangkap, membudidaya, menjual dan mengelola produk perikanan, tidak dapat mengakses bantuan perikanan karena status pekerjaan di KTP bukan nelayan, melainkan Ibu Rumah Tangga. Di wilayah pesisir Indonesia Timur sendiri, terdapat 48 kelompok masyarakat adat, 33 di antaranya sudah diakui sebagai masyarakat hukum adat, dengan masih terdapat 22,5% wilayah kelola masyarakat adat yang belum dialokasikan.10 Pengakuan hak kelompok rentan merupakan langkah awal model pembangunan yang berkeadilan iklim. 
Pengakuan hak kelompok rentan perlu diikuti dengan pelibatan secara aktif kelompok ini dalam pembangunan berkeadilan iklim. Seringkali keberadaan dan partisipasi mereka diabaikan dalam proses pembangunan yang berujung konflik. Sebut saja, konflik masyarakat adat Pubabu di NTT saat mempertahankan wilayah hutan adat mereka, atau konflik antara masyarakat adat Awyu di Papua dengan PT Megakarya Jaya Raya dan PT Kartika Cipta Pratama. Sampai 2021, tanahkita.id melaporkan terdapat 67 konflik tenurial masyarakat adat melawan pemerintah maupun perusahaan, dimana hampir 30 konflik tersebut terjadi di wilayah Indonesia Timur, dengan jumlah konflik tertinggi di Pulau Sulawesi.11 Dengan menempatkan kelompok perempuan, anak, disabilitas, masyarakat adat, petani dan nelayan tradisional sebagai subjek pembangunan yang terlibat aktif dalam menentukan arah kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk memperkuat kapasitas adaptasi masyarakat lokal. Pelibatan kelompok rentan dalam pengambilan Kebijakan Iklim di Wilayah Indonesia Timur penting untuk menjamin kebijakan tersebut sesuai model adaptasi yang berkeadilan. 

2. Bagaimana strategi Ketiga Paslon Capres-Cawapres dalam menjamin akses dan pemerataan pembangunan serta perlindungan hak kelompok rentan di wilayah Indonesia Timur tanpa mengorbankan integritas sosial dan lingkungan?

Adaptasi yang berkeadilan berarti menempatkan manusia, khususnya kelompok rentan, sebagai pusat diskusi pengelolaan SDA, energi, pangan, agrarian dan lingkungan hidup. Sayangnya, dalam upaya mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim, seringkali pembangunan yang dilakukan malah menutup akses kelompok rentan terhadap pengelolaan SDA, energi, pangan, agrarian dan lingkungan hidup. Sebagai contoh, pembangunan tanggul pemecah gelombang, di sepanjang garis pantai Kota Kupang dan Kabupaten Kupang yang malah menutup akses nelayan tradisional yang akan berlabuh di pantai. Akibatnya mereka harus mengeluarkan biaya lebih untuk memarkirkan perahu mereka di pantai lain, dengan resiko keamanan yang rendah. Kasus ini belum termasuk privatisasi banyak kawasan pesisir dalam rangka industri pariwisata. Akibat privatisasi ini, akses publik ke kawasan pesisir menjadi terbatas atau hilang sama sekali. Luas konsesi industry pertambangan juga seringkali merebut ruang hidup masyarakat lokal. Di Pulau Sangihe, Sulawesi Utara, luas lahan konsesi, yang dipegang PT Tambang Emas Sangihe, mencapai 42.000 ha dari luas pulau hanya 73.698 ha.12 Pemerataan akses pengelolaan SDA, energi, pangan, agrarian dan lingkungan hidup tidak dapat ditawar demi meningkatkan kemampuan adaptasi menghadapi perubahan iklim. 

3. Bagaimana komitmen Ketiga Paslon untuk menghentikan dan memulihkan kerusakan ekosistem pulau yang diakibatkan oleh aktivitas pertambangan baik di darat (on-shore) maupun di laut (off-shore), energi, dan industri ekstraktif lain? 

Ambisi pemerintah dalam pengelolaan SDA melalui industri ekstraktif terbukti telah berkontribusi pada kerusakan ekologis yang mengancam sistem mata pencaharian nelayan tradisional di wilayah kepulauan. Menurut laporan JATAM, aktivitas pertambangan nikel, yang dilakukan oleh Harita Group di Pulau Obi, Maluku Utara telah berdampak kepada kerusakan ekosistem terumbu karang perairan Pulau Obi. Tidak hanya kerusakan pada ekosistem laut, aktivitas pertambangan ini juga berdampak pada hilangnya akses masyarakat sekitar terhadap air bersih. Belum lagi pembangunan PLTU Timor tepat di wilayah konservasi TNP Laut Sawu, yang seharusnya dilarang, dengan dalil PSN telah berdampak pada penurunan kualitas panen nelayan rumput laut di Kawasan Teluk Kupang, NTT. Ambisi pemerintah dalam industry ekstraktif nyatanya telah berdampak pada kerusakan ekologis yang massif dan merugikan kelompok paling rentan dalam sistem ekonomi. Untuk itu, ketiga paslon Capres-Cawapres harus menunjukan komitmennya tidak hanya untuk menghentikan, tetapi juga memulihkan ekosistem yang rusak akibat aktivitas pertambangan. 

 

Contact Person: 

Maria Inviolata, Advocacy Officer (+62 811-3825-878) 

Elsy Grazia, Media and Communication Coordinator (+62 812-3867-0167) 

 

Post Related

Scroll to Top