Dari Laut ke Meja Makan: Bagaimana jika kita tidak bisa makan meting lagi?

Bagaimana jika pesisir kita rusak? bagaimana jika ikan semakin sulit? Bagaimana jika suatu hari nanti kita tidak bisa makan meting lagi?

Kota Kupang, sebagai ibu kota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), memiliki kekayaan pangan laut yang beragam. Kondisi ini membuat Kota Kupang memiliki banyak jenis pangan laut mulai dari ikan, udang, rumput laut dan kerang yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar pesisir. Hal Ini tidak hanya memberikan peluang untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga membuka kesempatan untuk meningkatkan perekonomian masyarakat melalui sektor perikanan. 

Tradisi “Makan Meting” dan Kekayaan Laut 

Meskipun pembangunan beberapa infrastruktur di  Kota Kupang mulai membatasi akses masyarakat ke pantai, namun masyarakat di pesisir Kota Kupang masih bisa mengakses makanan laut dengan mudah. Orang-orang yang tinggal di daerah pesisir dapat memperoleh hasil laut setiap hari melalui kebiasaan “makan meting” atau “gleaning” saat laut surut. Tradisi ini menghasilkan hasil laut secara alami dan bergantung pada keberlangsungan ekosistem laut dan ketersediaan sumber daya alam. 

Dalam penelitian yang dia lakukan bersama BRIN di Pesisir Atapupu, Kecamatan Kakuluk Mesak, Kabupaten Belu, Fanny Iriani Ginzel dosen Program Studi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang,  menjelaskan bahwa penduduk pesisir sering mengkonsumsi hasil laut seperti keong, kerang, bulu babi, serta berbagai jenis sayuran laut seperti rumput laut, Caulerpa (anggur laut), dan lamun dari jenis Enhalus.

Biasanya masyarakat berbondong-bondong pergi ke pesisir saat laut surut dan mengambil secukupnya untuk dimakan bersama keluarga.” – Fanny Iriani Ginzel

Saat diskusi bersama perempuan nelayan di Kelurahan Namosain, Kota Kupang pada 11 Oktober 2024 lalu, mereka mengatakan bahwa masyarakat Namosain masih sering melakukan tradisi “makan meting”. Mereka menggunakan berbagai teknik untuk mengolah berbagai jenis makanan laut. Jenis pangan laut yang paling sering ditemukan saat “Makan Meting” adalah sebagai berikut : 

Kerang – kerangan dan siput

Kerang dan Siput sangat mudah ditemukan di sekitar karang (coral) saat “makan meting”. Biasanya masyarakat mengolahnya dengan cara dimasak  menggunakan cuka untuk memperpanjang daya simpan. Jika dimasak menggunakan cuka dan dikeringkan, makanan ini bisa bertahan lebih dari seminggu, sementara jika diawetkan hanya dengan cuka tanpa di masak bisa tahan 3-4 hari.

Udang, Lobster dan kepiting

Udang merupakan salah satu jenis pangan laut yang mudah ditemui di pesisir kota kupang.  Biasanya masyarakat pesisir mengolahnya dengan cara dimasak dan dikonsumsi bersama nasi.  Tidak diketahui pasti jenis udang yang sering dikonsumsi oleh masyarakat pesisir kota Kupang namun biasanya jenis udang putih (Litopenaeus vannamei) adalah jenis udang yang sering ditemui di perairan Kota Kupang.

Lobster.  Menurut pengakuan perempuan nelayan di Kelurahan Namosain, lobster sempat sulit ditemukan pasca badai seroja yang menyerang NTT 2021 silam.  Jenis-jenis lobster yang sering ditemukan di perairan teluk Kupang beragam namun umumnya sebanyak 60% didominasi oleh lobster bambu (P. versicolor) (Triharyuni, 2017). Berbagai jenis hasil tangkapan seperti udang mantis, kepiting, dan lobster dihasilkan dari berbagai jenis teknik penangkapan sederhana hingga modern seperti pukat senar. 

Kepiting. Hewan jenis ini sangat mudah ditemukan saat “makan meting” terutama di daerah Hutan Bakau. Kepiting Bakau atau dalam bahasa latin disebut Scylla serrata yang umumnya tumbuh di hutan mangrove. Kepiting ini termasuk dalam golongan crustacea dan kaya akan protein, vitamin B, vitamin E, mangan, fosfor, yodium, zinc tetapi memiliki tingkat kolesterol yang cukup tinggi. Ekosistem mangrove memiliki bahan organik dan makanan alami seperti dedaunan yang gugur, kerang dan ikan-ikan kecil yang penting untuk pertumbuhan dan reproduksi kepiting bakau.

Bulu Babi

Dalam diskusi bersama perempuan nelayan di Kelurahan Namosain,  mereka mengungkapkan bahwa salah satu hewan laut yang sering dikonsumsi adalah bulu babi atau biasanya mereka sebut dengan istilah “Duri Teek”. Untuk membersihkan bulu babi/duri babi memerlukan waktu yang panjang. Prosesnya dilakukan dengan cara memasukkan bulu babi ke dalam karung atau keranjang, setelah itu keranjang/karung tersebut digoyang-goyangkan untuk melepaskan duri-durinya. Biasanya masyarakat mengkonsumsi bagian telur / gonad dari bulu babi.  Setelah dibersihkan, bagian gonad dapat langsung dimakan, baik dalam keadaan mentah, dibakar, atau dimasak. Namun ada juga beberapa orang yang mengolahnya dengan cara memasaknya bersama beras. Mereka  memasukkan beras ke dalam cangkang atau testanya, lalu dikukus hingga matang. 

Bulu Babi merupakan bioindikator kualitas dari perairan di suatu wilayah karena memiliki peranan penting dalam menjaga ekosistem dan merupakan konsumen utama alga. Ia mengendalikan pertumbuhan alga yang berlebihan di terumbu karang sehingga tetap bersih dan sehat.  Penelitian yang dipublikasikan oleh Litbang Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berjudul “Kandungan Gizi Gonad dan Aktivitas Anti Bakteri Ekstrak Cangkang Bulu Babi (Dieadema setosum)”, menunjukkan bahwa Bulu Babi menjadi sumber pangan yang mengandung asam amino, vitamin B Kompleks, Vitamin A, mineral, asam lemak omega – 3 serta asam lemak omega-6.

Sayuran laut :  Caulerpa (anggur laut)  dan Lamun dari jenis enhalus

Anggur laut (Caulerpa racemosa). Anggur laut memiliki bentuk seperti butir-butir anggur atau telur ikan sehingga seringkali disebut “green caviar”. Anggur laut adalah salah satu jenis rumput laut yang tumbuh di perairan dan merupakan sayuran laut yang paling sering dikonsumsi oleh masyarakat pesisir termasuk Kota Kupang. Pengolahan sayuran laut rata-rata dilakukan dengan  cara dilawar. Setelah dicuci bersih, sayuran laut dicampurkan dengan cuka, cabe dan jeruk nipis. Caulerpa sp, memiliki kandungan protein, karbohidrat, serat, mikro mineral (Fe, K, Ca), asam lemak, dan vitamin bermanfaat bagi manusia.

Lamun Jenis Enhalus. Lamun (seagrass) selain memiliki fungsi ekologis bagi ekosistem pantai, juga memiliki kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat, yang dapat dijadikan sumber makanan kesehatan dan obat-obatan bagi manusia, yang dapat mencegah berbagai penyakit degeneratif.  Pengolahan lamun jenis enhalus ini oleh masyarakat setempat dengan cara direbus atau dapat dikonsumsi secara langsung sebagai makanan maupun sebagai obat tradisional (Wakano, 2013). 

“ Harta Karun”  Laut NTT 

Indonesia memiliki panjang garis pantai yang mencapai hampir 100.000 km, memiliki kekayaan pesisir besar di sektor perikanan. Khususnya di wilayah timur Indonesia, hasil tangkapan ikan seperti tuna, ikan layang, cumi-cumi, dan udang merupakan komoditas penting yang dikontribusikan oleh kawasan Indonesia timur ke dalam pasokan ikan nasional (Zuhdi, 2023). Laut Indonesia Timur, yang membentang luas dari Pulau Sulawesi hingga Pulau Papua, menyimpan kekayaan alam bawah laut yang luar biasa dan belum sepenuhnya terungkap. Wilayah ini bukan hanya kaya akan sumber daya perikanan, dengan lebih dari 7.000 spesies ikan dan ratusan jenis terumbu karang yang tercatat. 

Data BPS Provinsi NTT di tahun 2019-2022 menyebutkan, terdapat tiga komoditas unggulan perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Timur yaitu, cakalang, tongkol dan tuna.  Tiga komoditas tersebut banyak ditemui di perairan Pulau Flores, Alor dan Pulau Timor.  Per tahun 2022, produksi ikan cakalang di Nusa Tenggara Timur mencapai 8712 Ton, produksi ikan tongkol mencapai 11744 ton dan produksi ikan tuna mencapai 6807 Ton.  Diagram berikut menunjukan nilai produksi tiga komoditas unggulan unggulan perikanan tangkap di wilayah Nusa Tenggara Timur (BPS Provinsi NTT, 2024). 

Nasib Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Potensi sumber daya alam yang kaya ini sayangnya tidak berbanding lurus dengan nasib masyarakat pesisirnya. Mayoritas masyarakat yang tinggal di pesisir adalah nelayan kecil. Data KKP menyebutkan bahwa 9.202.224 rumah tangga perikanan tangkap laut (RTL) atau 2.401.540 orang nelayan. Sementara Data Statistik Perikanan Provinsi NTT tahun 2023, menyebutkan bahwa jumlah rumah tangga nelayan di NTT mencapai 82.456 unit dan jumlah penduduk nelayan mencapai 329.824 Jiwa.

Wilayah pesisir Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi berbagai masalah serius yang berdampak pada lingkungan, hingga sosio-ekonomi masyarakat.  Tingkat kesejahteraan nelayan NTT masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari laporan BPS Provinsi NTT tahun 2023, yang menyatakan bahwa Nilai Tukar Nelayan (NTN) dari sektor perikanan masih di bawah angka 100.  Artinya nilai tukar produk nelayan masih belum mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga baik untuk konsumsi maupun biaya produksi nelayan. Masyarakat pesisir sering kali tidak mendapatkan manfaat dari eksploitasi sumber daya alam di wilayah mereka. Ketimpangan akses terhadap sumber daya dan kesempatan ekonomi menyebabkan banyak keluarga tetap hidup dalam kemiskinan.

Komitmen pemerintah belum juga terlihat dalam melindungi pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Dalam debat  calon wakil presiden Indonesia pada Januari 2024 lalu, pembicaraan tentang pesisir hanya didominasi oleh eksploitasi sumber daya alam, tanpa komitmen jelas perlindungan masyarakat pesisir dan kerusakan ekosistem yang diakibatkan dari industri ekstraktif dan hilirisasi. Masyarakat pesisir menghadapi persoalan ganda terhadap dampak krisis iklim saat ini. Mereka dihadapkan pada krisis multidimensi yang mengancam keberlangsungan hidup mereka. Perubahan iklim, eksploitasi sumberdaya laut yang berlebihan, dan pembangunan yang tidak berkelanjutan telah menyebabkan erosi pantai, kerusakan ekosistem, dan konflik pemanfaatan ruang laut. Kemiskinan, ketimpangan sosial, dan hilangnya kearifan lokal memperparah kondisi mereka. 

Krisis  Iklim dan ancaman “Harta Karun” Masyarakat Pesisir

Pasca Badai Seroja yang menerjang NTT pada 2021 lalu, banyak lokasi terumbu karang di Kabupaten Rote Ndao dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu mengalami kerusakan berat. (Sumber : Survei Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kupang dan  Yayasan Konservasi Alam Nusantara ). Di Teluk Kupang,  seperti di Kelapa Lima dan Pasir Panjang menunjukkan kerusakan yang sangat parah. Kerusakan terumbu karang ini berakibat serius terhadap fungsi ekologis dan ekonomi. Ekosistem terumbu karang memiliki peran penting dalam mendukung kehidupan masyarakat pesisir, termasuk nelayan dan rumput laut. Dalam wawancara yang dilakukan oleh PIKUL pada April 2024 lalu, perempuan nelayan mengatakan bahwa pasca seroja mereka kesulitan mendapatkan hasil laut.  Maryam Badaruddin, Perempuan Nelayan Kelurahan Airmata Kota Kupang mengatakan bahwa sebelum seroja beliau bisa mendapatkan lobster di pesisir pantai Teddys dengan mudah bahkan bisa sampai 7-8 ekor per hari. Namun setelah seroja, hasil tangkapan berkurang. Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang,  Wilson Tisera membenarkan hal ini. Beliau menjelaskan bahwa jika terumbu karang mengalami kerusakan maka sudah pasti akan mengganggu ekosistem pesisir termasuk hasil-hasil lautnya.

Terumbu karang itu rumahnya. Jika rumahnya rusak, sudah pasti ekosistem di sekitarnya juga akan rusak” – Wilson Tisera 

Terumbu karang  sangat sensitif dengan perubahan suhu air laut. Kenaikan suhu laut diatas rata-rata dapat menyebabkan pemutihan karang. Pemutihan karang pada dasarnya adalah lepasnya zooxanthellae, alga simbiotik yang memberi warna pada karang sekaligus sumber nutrisi. Apabila karang kehilangan zooxanthellae, maka tidak hanya warna yang hilang tetapi juga nutrisinya sehingga dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup terumbu karang. Apabila kondisi ini parah dan berkepanjangan, maka akan berdampak pada keanekaragaman hayati laut dan mengurangi fungsi ekosistem yang bergantung pada terumbu karang.  Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem yang menjadi sumber makanan dan perlindungan bagi hewan-hewan laut lainnya. Secara tidak langsung, terumbu karang juga menyediakan sumber pangan laut bagi manusia.

Pemerintah dan Ambisinya

Indonesia adalah negara kepulauan. Dari 17 ribu pulau, 11 ribu diantaranya berada di kawasan Indonesia Timur. Laut bukanlah pemisah melainkan sebagai penyatu ribuan pulau-pulau di negara ini. Namun, dengan karakteristik kepulauan ini justru memiliki tantangan berbeda dalam menghadapi perubahan iklim. Ambisi pemerintah dalam pengelolaan SDA melalui industri ekstraktif justru telah merusak ekosistem yang mengancam sistem penghidupan dan mata pencaharian nelayan tradisional di wilayah kepulauan seperti yang terjadi di Pulau Obi, Maluku Utara. Ambisi yang tamak ini menyebabkan kerusakan yang masif dan justru semakin meminggirkan hak masyarakat pesisir terutama dalam urusan hak mendapatkan pangan laut yang sehat.

Bagaimana jika pesisir kita rusak? bagaimana jika ikan semakin sulit? Bagaimana jika suatu hari nanti kita tidak bisa makan meting lagi? 

Tim Riset dan Penulis : Cristin Ledo, Christa Gabriela, Victory T.E Mallaka dan Miu

Sumber : 

Nikijuluw, Victor dkk. 2024. Rona Ekologi dan Sosial Ekonomi Sumber Daya Laut di Provinsi Maluku dan Provinsi Nusa Tenggara Timur. 

Cappenberg, H. A. W. 2006. Pengamatan Komunitas Moluska di Perairan Kepulauan Derawan, Kalimantan Timur.JurnalOseonologi dan Limnologi di Indonesia No. 39

Hendrickx, M. E., Brusca, R. C., Mercedes, C., & Ger-man, R. R. (2007). Marine and brackish-water molluscan biodiversity in the Gulf of  Califor-nia, Mexico. Scientia Marina, 71(4), 637-647.

Muzahadah, Fadiyah., dkk. 2024. Rusaknya Ekosistem Terumbu Karang Akibat Pemanasan Global dalam Perspektif Hukum Laut. Jurnal Lex Suprema, Volume 6 Nomor I.Magfira, Sri HS. 2024. Kenaikan Suhu Laut dan Kerusakan Karang: Analisis Dampak Jangka Panjang Terhadap Ekosistem Terumbu Karang. Jurnal Multidisiplin West Science.

Potensi Laut Indonesia Timur  https://mediaindonesia.com/ekonomi/587830/wilayah-indonesia-timur-berkontribusi-besar-di-sektor-perikanan

Data BPS Potensi Komoditas Laut Nusa Tenggara Timur https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTQ5NiMy/produksi-perikanan-tangkap-di-laut-menurut-kabupaten-kota-dan-komoditas-utama.html

Data Perikanan Provinsi NTT https://satudatasektoral.nttprov.go.id/perikanan/ 

Inilah Dampak Badai Siklon Tropis Seroja Pada Terumbu Karang di TNP Laut Sawu  https://www.mongabay.co.id/2021/05/30/inilah-dampak-badai-siklon-tropis-seroja-pada-terumbu-karang-di-tnp-laut-sawu/

Ulfa, M. (2017). Persepsi Masyarakat Nelayan Dalam Menghadapi Perubahan Iklim (Ditinjau Dalam Aspek Sosial Ekonomi). Jurnal Pendidikan Geografi: Kajian, Teori, dan Praktik dalam Bidang Pendidikan Dan Ilmu Geografi, Tahun 23, Nomor 1, Jan 2018, 41-49. https://journal2.um.ac.id/index.php/jpg/article/view/2441/pdf

Lat, Makanan Anggur laut Sensasional https://www.rri.co.id/kuliner/281096/lat-makanan-anggur-laut-sensasional

Wakano, D. (2013). Pemanfaatan Buah Lamun Enhalus acoroides sebagai Sumber Makanan Alternatif Masyarakat Desa Lomin Seram Bagian Timur. e-journal uajy, (Prosiding FMIPA Universitas Pattimura 2013), 9-12. https://e-journal.uajy.ac.id/11867/1/jurnal.pdf

Post Related

Scroll to Top