20 Juta Hektare Hutan untuk Pangan dan Energi: Food Estate atau Bencana Baru?

Membangkitkan Trauma Lama di Atas Janji Baru

Menteri Kehutanan Indonesia, Raja Juli Antoni, pada rapat terbatas di Kompleks Istana Kepresidenan tanggal 30 Desember 2024, mengungkap rencana ambisius pembukaan 20 juta hektare lahan hutan untuk budidaya padi gogo dan pohon aren. Dengan tujuan meningkatkan ketahanan pangan dan energi, proyek ini terdengar mulia di atas kertas. Namun, sejarah panjang kegagalan program food estate di Indonesia memberikan alasan kuat untuk mempertanyakan inisiatif ini.

Dengan dalih memperkuat ketahanan pangan dan energi, proyek ini diklaim sebagai solusi strategis pemerintahan Prabowo-Gibran. Namun, sejarah panjang kegagalan food estate di Indonesia memunculkan pertanyaan besar: apakah ini langkah maju menuju kemandirian pangan, atau justru pengulangan kesalahan fatal yang merusak lingkungan dan masyarakat?

Sejarah mencatat bahwa food estate di Indonesia hampir selalu menjadi proyek ambisius yang mengorbankan lingkungan dan kaum marjinal. Pada era Orde Baru, Mega Rice Project yang dicanangkan pemerintah sebagai lumbung pangan nasional di atas lahan gambut Kalimantan Selatan dan Tengah berakhir sebagai malapetaka. Proyek ini menghancurkan ekosistem gambut, memicu kebakaran hutan yang meluas, dan meninggalkan penderitaan bagi ribuan petani transmigran yang terjebak dalam janji palsu pemerintah. Kegagalan proyek ini begitu masif hingga pada 1998, Presiden BJ Habibie menghentikannya dengan mengakui bahwa kerusakan ekologisnya tidak terpulihkan (Sumber: Kompas, Food Estate “Era Soeharto dan Kerusakan Masif Hutan di Kalimantan”)

Sayangnya, penghentian proyek itu tidak menjadi pembelajaran bagi pemerintah selanjutnya. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, proyek serupa diluncurkan dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Dengan janji besar memproduksi jutaan ton pangan dan energi, MIFEE malah menjadi simbol pengabaian terhadap masyarakat adat Papua. Hutan sagu, sumber pangan utama masyarakat Papua dihancurkan demi membuka jalan bagi perkebunan skala besar. Akibatnya, akses masyarakat lokal terhadap bahan pangan pokok seperti sagu, ikan, dan daging rusak parah. Alih-alih menjadi solusi, MIFEE memperburuk ketimpangan sosial dan menciptakan konflik agraria yang berlangsung lebih dari satu dekade.

Pemerintahan berikutnya di bawah Presiden Jokowi juga tidak membawa perubahan yang berarti. Food estate tetap menjadi program unggulan, kali ini diperluas ke berbagai wilayah Indonesia seperti Maluku, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara Timur. Anggaran triliunan rupiah digelontorkan demi ambisi menciptakan lumbung pangan nasional. 

Salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi perhatian adalah food estate di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, dengan total lahan sebesar 2,29 juta hektare, atau sekitar 70 kali luas Jakarta. Proyek ini mencakup cetak sawah untuk pertanian, perkebunan gula, dan pembangunan pabrik bioetanol. Pemerintah mengklaim bahwa megaproyek ini bertujuan mewujudkan swasembada beras pada tahun 2027, sekaligus memenuhi kebutuhan gula dan bioetanol setahun setelahnya.

Namun, proyek ini tidak lepas dari kontroversi. Pemerintah menggandeng Martias Fangiono, pendiri korporasi kelapa sawit First Resources, serta anaknya, Wirastuty Fangiono, untuk mengelola proyek ini. Martias Fangiono sebelumnya terjerat kasus korupsi terkait pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit pada tahun 2007. Dalam kasus tersebut, pengadilan menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara dan denda sebesar Rp 346 miliar (Sumber: Tempo, “Proyek Food Estate Prabowo dan Jokowi di Merauke”)

Seperti hasil-hasil food estate sebelumnya, banyak yang justru berubah menjadi ladang kelapa sawit, lahan tidur, atau ladang konflik agraria yang baru. Pemerintah terus mengulangi kesalahan mendasar: mengabaikan kajian lingkungan, tidak melibatkan masyarakat adat, dan mengutamakan kepentingan korporasi.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri telah menegaskan bahwa kelapa sawit bukanlah tanaman hutan. Hal ini ditegaskan berdasarkan berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik yang komprehensif.

“Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum, dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan. Pemerintah juga belum memiliki rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, Agus Justianto, dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (7/2/2022).

Lebih lanjut, dalam Permen LHK P.23/2021, kelapa sawit tidak dimasukkan sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL).

Kini, pemerintahan Prabowo-Gibran mengusung rencana baru dengan skala lebih besar 20 juta hektare hutan, hampir dua kali luas Pulau Jawa. Padi gogo dan pohon aren menjadi bintang utama dalam narasi ini. Padi gogo, meskipun tahan terhadap kekeringan, membutuhkan pengelolaan lahan yang sangat baik agar tidak menyebabkan degradasi tanah. Sementara pohon aren, meski diklaim mampu menggantikan impor bahan bakar minyak, memerlukan infrastruktur dan teknologi yang belum terbukti siap dalam skala sebesar ini.

Padi gogo, meskipun dikenal tahan terhadap kekeringan, membutuhkan pengelolaan lahan yang baik untuk mencegah degradasi tanah. Yopi dkk, (2021) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa pemilihan varietas padi gogo yang tepat harus mempertimbangkan kesesuaian agroekosistem, yang memerlukan analisis mendalam terhadap kondisi lahan.

Selain itu, laporan tahunan Kementerian Pertanian RI (2020) mencatat bahwa uji ketahanan plasma nutfah padi gogo terhadap penyakit blas telah dilakukan pada 20 aksesi. Hasil ini menunjukkan bahwa padi gogo rentan terhadap penyakit tertentu, sehingga memerlukan pengelolaan yang cermat agar dapat berkembang secara optimal.

Dalam kondisi demikian, apakah proyek ini benar-benar bertujuan untuk ketahanan pangan, atau hanya menjadi dalih untuk eksploitasi besar-besaran?

Selanjutnya, peralihan dari energi fosil ke energi nabati melalui penggunaan bioetanol dari pohon aren memunculkan pertanyaan besar: “Berapa banyak lagi hektar hutan yang harus digunduli untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan bahan bakar?”

Dampak ekologis dari penggundulan hutan sebesar 20 juta hektare tentu tidak bisa diabaikan. Hutan Indonesia adalah paru-paru dunia, rumah bagi keanekaragaman hayati yang tak tergantikan, serta penjaga stabilitas iklim global. Menggunduli hutan dalam skala besar berarti mempercepat perubahan iklim, mengurangi penyerapan karbon, dan mengancam habitat ribuan spesies yang bergantung pada ekosistem tersebut. Selain itu, masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan akan menghadapi ancaman kehilangan tanah, sumber penghidupan, dan identitas budaya mereka.

Lebih jauh, sejarah food estate di Indonesia menunjukkan bahwa proyek-proyek ini bukan hanya gagal secara ekologis, tetapi juga secara sosial dan ekonomi. Konflik agraria kerap menjadi dampak yang tidak terhindarkan, sementara korupsi dan ketimpangan dalam distribusi keuntungan semakin memperburuk keadaan. Proyek ini sering kali lebih menguntungkan elit politik dan korporasi daripada rakyat kecil. Dengan anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan, food estate justru menjadi ladang subur bagi praktik korupsi dan kolusi yang mengorbankan kepentingan publik.

Apa yang kita saksikan hari ini bukanlah upaya baru, melainkan pengulangan pola lama. Pemerintah menggunakan narasi ketahanan pangan untuk menjustifikasi penggundulan hutan dan perampasan lahan, sementara masyarakat terus menanggung beban kerugian ekologis dan sosial. Retorika besar tentang kemandirian pangan seringkali hanya menjadi kedok bagi eksploitasi besar-besaran yang tidak berkelanjutan.

Penting untuk dipahami bahwa swasembada pangan, khususnya beras, bukanlah solusi utama untuk ketahanan pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menegaskan bahwa penganekaragaman pangan adalah kunci ketahanan pangan, yaitu dengan meningkatkan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, serta berbasis potensi sumber daya lokal.

Produksi dan konsumsi pangan lokal yang beragam telah lama menjadi strategi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat lokal di Indonesia. Indonesia memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa. Mulai dari satwa berupa mamalia, burung, serangga hingga tumbuh-tumbuhan (Arif, 2021).

Di Kepulauan Nusa Tenggara Timur misalnya, hingga kini, berbagai jenis pangan lokal masih dibudidayakan atau tumbuh liar di hutan dan dirawat oleh alam. Dengan pengelolaan yang baik, pangan lokal ini dapat memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga, sekaligus mendukung swasembada pangan daerah.

Pemetaan pangan lokal yang dilakukan oleh Perkumpulan PIKUL pada tahun 2013 di wilayah Pulau Timor bagian barat (Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan), Pulau Rote Ndao, Pulau Sabu, dan Pulau Lembata, mengidentifikasi 36 jenis sumber pangan, termasuk serealia (jagung, padi, sorgum, jali, jewawut), umbi-umbian (keladi, talas, singkong, ganyong, ubi jalar dan berbagai umbi hutan) dan kacang-kacangan. Kuswardono (2014), dalam presentasinya menyampaikan bahwa produksi pangan NTT selama 43 tahun secara agregat selalu memadai. Sumber-sumber pangan ini memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan, asalkan diberdayakan secara optimal dan tidak diganggu oleh proyek-proyek raksasa berlogika monokultur. 

Penulis: Vania Daniela Bunga

Sumber: 

  1. Arif, A. (2021). Masyarakat Adat & Kedaulatan Pangan. PT Gramedia.
  2. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan). Laporan tahunan 2020. Diakses dari https://biogen-bsip-ppid.pertanian.go.id/doc/33/Laptah%202020.pdf
  3. CNBC Indonesia. (2024). Soeharto sampai SBY Gagal, Food Estate Dilanjutkan Jokowi. Diakses dari https://www.cnbcindonesia.com/entrepreneur/20231011063456-25-479545/soeharto-sampai-sby-gagal-food-estate-dilanjutkan-jokowi
  4. CNN Indonesia. (2025). Menhut Ungkap 20 Juta Hektare Hutan Akan Jadi Lahan Pangan dan Energi. Diakses dari https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250101210515-532-1182943/menhut-ungkap-20-juta-hektare-hutan-akan-jadi-lahan-pangan-dan-energi
  5. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). KLHK tegaskan sawit bukan tanaman hutan. Diakses dari https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/6404/klhk-tegaskan-sawit-bukan-tanaman-hutan
  6. Kompas. (2024). Food Estate Era Soeharto dan Kerusakan Masif Hutan di Kalimantan. Diakses dari https://money.kompas.com/read/2024/02/06/093244826/food-estate-era-soeharto-dan-kerusakan-masif-hutan-di-kalimantan?page=all
  7. Mongabay Indonesia. (2025). Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2025/01/05/berbagai-kalangan-ingatkan-bahaya-buka-20-juta-hektar-hutan-untuk-pangan-dan-energi
  8. Pikul. Keberagaman Pangan Lokal untuk Ketahanan Pangan dan Gizi. Diakses dari https://pikul.id/2023/12/06/keberagaman-pangan-lokal-untuk-ketahanan-pangan-dan-gizi/
  9. Prasetyo, D. T., & Purnama, B. R. Analisis pengelolaan lahan pertanian berkelanjutan di Kabupaten Banyumas. Jurnal AGRITECH, 43(3), 217-226. Diakses dari https://jurnalnasional.ump.ac.id/index.php/AGRITECH/article/view/12617
  10. Tempo. Ada sosok Raja Sawit di balik proyek tebu Jokowi yang babat hamparan hutan di Merauke. Diakses dari https://www.tempo.co/ekonomi/ada-sosok-raja-sawit-di-balik-proyek-tebu-jokowi-yang-babat-hamparan-hutan-di-merauke-6262

Post Related

Scroll to Top