Bagian 1: Bagaimana Pemenuhan Akses Layanan Dasar Bagi Penyandang Disabilitas?
Dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming, sorotan publik tertuju pada serangkaian kebijakan dan isu penting. Beberapa agenda yang menjadi perhatian utama meliputi rencana ambisius pemerintah untuk membuka 2 juta hektar sawah serta hingga 1 juta hektar lahan tebu di Papua dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Selain itu, isu hak asasi manusia juga menjadi perhatian, terutama terkait pernyataan yang menyatakan tidak adanya pelanggaran HAM berat dalam beberapa dekade terakhir, termasuk tragedi tahun 1998, yang memicu berbagai tanggapan dan diskusi.
Di sisi lain, pemerintah juga mengumumkan sejumlah langkah kebijakan ekonomi dan kerjasama internasional. Dalam bidang fiskal, rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk barang dan jasa mewah mulai Januari 2025 menjadi perbincangan hangat. Terjalin pula kerjasama maritim dengan China, yang terjadi di tengah dinamika sengketa Laut China Selatan. Di kancah internasional, bergabungnya Indonesia dalam BRICS menandai langkah strategis dalam diplomasi global.
Dalam COP 29, pemerintah menegaskan komitmen untuk mencapai net zero emissions sebelum 2050. Rencana ini disertai target ambisius pembangunan kapasitas energi terbarukan sebesar 75 GW dalam 15 tahun mendatang. Namun, kebijakan ekspansi perkebunan sawit untuk mendukung produksi biodiesel turut menimbulkan kekhawatiran terkait keberlanjutan lingkungan. Tak berhenti disitu, pada tanggal 20 Januari 2025, Indonesia resmi masuk dalam Perdagangan Karbon Internasional.
Hasil survei Litbang Kompas pada 4–10 Januari 2025 menunjukkan mayoritas responden (80,9%) di 38 provinsi menyatakan puas terhadap kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran dalam 100 hari pertama. Namun, dibalik angka kepuasan tersebut, Pemerintah dinilai belum memberikan perhatian yang memadai terhadap kaum rentan, terutama penyandang disabilitas, yang hingga kini masih menghadapi tantangan dalam akses layanan dasar.
Di tengah berbagai krisis, kebijakan pemerintah yang lebih fokus pada pertumbuhan ekonomi dan ambisi global dinilai berpotensi meningkatkan kesenjangan sosial. Jika tidak segera diatasi, kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, dikhawatirkan akan semakin terpinggirkan dalam arus pembangunan. Di tengah krisis iklim yang berlangsung saat ini, kebijakan dan perspektif rezim yang berkuasa justru berpotensi memperburuk kerentanan kelompok rentan, terutama penyandang disabilitas.
Bagaimana nasib akses layanan dasar bagi kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, dalam 100 hari pertama ini? Apakah kebijakan pemerintah telah menyentuh kebutuhan dasar masyarakat yang paling membutuhkan?
Tantangan dan Realitas
Akses layanan dasar seperti KTP, Kartu Keluarga (KK), Akta Kelahiran, dan Kartu Identitas Anak (KIA) adalah hak fundamental setiap warga negara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan. Namun, banyak penyandang disabilitas menghadapi kendala, mulai dari minimnya infrastruktur ramah disabilitas, kurangnya sosialisasi, hingga stigma dalam pelayanan publik.
Pasal 3 UU Nomor 24 Tahun 2013 mewajibkan setiap penduduk melaporkan peristiwa kependudukan dan peristiwa penting seperti kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, hingga perubahan status kewarganegaraan. Bagi yang tidak mampu melaporkan sendiri, Pasal 57 ayat 1 UU Nomor 24 Tahun 2006 dan Perpres Nomor 98 Tahun 2016 mengatur bahwa mereka dapat dibantu oleh instansi pelaksana atau pihak lain, terutama jika kondisinya disebabkan usia, sakit keras, atau disabilitas. Pelayanan khusus ini mencakup layanan terpadu, pengajuan multi dokumen, dan penerbitan ulang dokumen sesuai domisili.
Meski UU Nomor 8 Tahun 2016 menjamin hak-hak penyandang disabilitas, tantangan seperti keterbatasan fasilitas, kurangnya informasi, dan diskriminasi masih menjadi hambatan utama. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu menerapkan prinsip keadilan, mencakup keadilan rekognisi, prosedural, distributif, restoratif, antar generasi, dan gender, guna memastikan layanan publik yang inklusif dan merata.
Menurut data Kementerian Sosial, 15% dari populasi dunia merupakan penyandang disabilitas. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, jumlah penyandang disabilitas mencapai 22,5 juta orang, atau sekitar 5% dari total populasi. Di Nusa Tenggara Timur (NTT), jumlah penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) tercatat sebanyak 33.939 orang berdasarkan data BPS Provinsi NTT tahun 2016-2017. Namun, data spesifik mengenai penyandang disabilitas di wilayah ini masih sangat terbatas dan masih digabungkan dengan data PMKS lainnya, seperti anak-anak terlantar, anak yang berhadapan dengan hukum, dan lansia.
Menurut Ketua PERSANI (Persatuan Tuna Daksa Kristiani) NTT, Serafina Bete, jumlah penyandang disabilitas di Kota Kupang pada tahun 2024 diperkirakan mencapai 829 orang, tetapi data ini belum terpilah secara spesifik dan masih termasuk dalam kategori PMKS (Sumber: Wawancara Serafina Bete, Ketua PERSANI NTT).
Situasi serupa terjadi di Kabupaten Kupang. Berdasarkan wawancara dengan Desderdea Kanni dari Unit Layanan Disabilitas BPBD NTT, Dinas Sosial Kabupaten mencatat sekitar 1.400 penyandang disabilitas, meskipun data ini belum akurat karena hanya dikumpulkan untuk distribusi Program Keluarga Harapan (PKH) dan bantuan sosial lainnya. Hingga saat ini, pendataan yang pasti dan terpilah mengenai penyandang disabilitas di NTT belum pernah dilakukan (Sumber: Wawancara Desderdea Kanni, ULD BPBD Kabupaten Kupang).
Pendataan di Desa Mitra PIKUL memberikan gambaran lebih spesifik tentang layanan dasar utama ini. Dari 12 desa di Kabupaten Kupang, terdapat 713 penyandang disabilitas yang terdata, namun masih ada 326 orang (45,7%) yang belum sepenuhnya memiliki akses ke layanan dasar, termasuk dokumen kependudukan utama seperti Kartu Keluarga (KK), KTP, dan Akta Kelahiran (Sumber: Data Verifikasi DTKS/KTP/KK, PIKUL 2025).
Dari 12 desa di Kabupaten Kupang, kami memetakan kembali 6 desa yang berada di Amfoang menurut akses layanan dasar yang sudah mereka miliki:
- KTP: Dari 71 kebutuhan, hanya 23 penyandang disabilitas (32,4%) yang telah memiliki KTP, sementara 48 lainnya (67,6%) masih belum memiliki KTP.
- KK: Dari 44 kebutuhan, hanya 16 penyandang disabilitas (36,4%) yang sudah memiliki KK, sedangkan 28 lainnya (63,6%) belum mendapatkan dokumen ini.
- Akta Kelahiran: Dari 116 kebutuhan, hanya 5 penyandang disabilitas (4,3%) yang telah memiliki Akta Kelahiran, sementara 111 lainnya (95,7%) masih belum memiliki akta kelahiran.
- KIA: Dari 131 kebutuhan, hanya 2 anak yang merupakan penyandang disabilitas (1,5%) yang memiliki KIA, sedangkan 129 anak (98,5%) belum memilikinya.
(Sumber: Laporan Progres Perekaman Dokumen Kependudukan bagi Kelompok Berisiko dalam Program MATAHATI, Yayasan PIKUL).
Studi kasus ini menggambarkan sebagian kecil dari permasalahan besar di Indonesia. Pertanyaan pentingnya adalah: Berapa banyak lagi penyandang disabilitas di Kabupaten Kupang, atau bahkan di seluruh Provinsi Nusa Tenggara Timur, yang masih terpinggirkan dari layanan dasar ini? Sudah saatnya janji keadilan sosial diwujudkan secara nyata.
Akses terhadap layanan publik bagi penyandang disabilitas di Kabupaten Kupang terhambat oleh berbagai faktor, seperti keterbatasan mobilitas, stigma sosial, kurangnya sosialisasi dari pemerintah, serta minimnya fasilitas ramah difabel di kantor layanan administrasi (Sumber: Laporan Progres Perekaman Dokumen Kependudukan bagi Kelompok Berisiko dalam Program MATAHATI, Yayasan PIKUL).
Namun, tantangan ini tidak hanya berhenti di level teknis. Kurangnya perhatian pada prinsip keadilan rekognisi dan prosedural, yang seharusnya menjadi landasan kebijakan publik, memperparah ketimpangan. Dalam konteks keadilan sosial, kelompok rentan seperti penyandang disabilitas seharusnya menjadi prioritas. Pemerintah harus segera memperbaiki sistem pendataan, meningkatkan aksesibilitas layanan, dan memastikan kebijakan yang lebih inklusif.
Melalui wawancara dengan Ketua PERSANI NTT, Serafina Bete, ia menceritakan kisah seorang teman dari anggota PERSANI yang tidak memiliki akses sama sekali ke layanan dasar. Hal ini disebabkan oleh stigma di masyarakat, di mana orang tua dari individu tersebut menolak mengakuinya sebagai anak. PERSANI kemudian melakukan advokasi kepada orang tua tersebut, menegaskan bahwa setiap penyandang disabilitas memiliki hak yang sama seperti warga negara lainnya tanpa diskriminasi (Sumber: Wawancara Serafina Bete, Ketua PERSANI NTT).
Ketika penyandang disabilitas memiliki dokumen kependudukan yang sah, peluang mereka untuk mengakses layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, dan jaminan sosial semakin terbuka. Dokumen-dokumen ini tidak hanya memberikan pengakuan resmi sebagai warga negara, tetapi juga membuka ruang partisipasi yang lebih luas dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Keberadaan dokumen ini adalah simbol pengakuan terhadap martabat dan hak mereka sebagai bagian dari masyarakat.
Namun, lambatnya pemenuhan kebutuhan layanan dasar bagi penyandang disabilitas mencerminkan kurangnya prioritas terhadap kelompok rentan. Realitas ini menjadi ironi dalam visi pembangunan yang menjanjikan inklusi sosial. Padahal, administrasi kependudukan yang menyeluruh bukan hanya soal tertib data, melainkan prasyarat bagi pembangunan yang berkeadilan.
Yulianus Wallu, Anggota PERTUNI (Persatuan Tuna Netra Indonesia) NTT, menyampaikan bahwa keinginan utama para penyandang disabilitas bukan hanya menerima bantuan, tetapi bagaimana mereka dapat diberdayakan. Pemberdayaan ini, menurutnya, harus sejalan dengan akses pendidikan dan perubahan stigma masyarakat. Ia menekankan bahwa tidak mungkin bagi pemerintah untuk memberikan bantuan kepada penyandang disabilitas sepanjang hidup mereka, dari lahir hingga meninggal, tanpa adanya upaya pemberdayaan yang lebih berkelanjutan (Sumber: Wawancara Yulianus Wallu, PERTUNI NTT).
Pemerintahan Prabowo-Gibran masih memiliki ruang dan waktu untuk memperbaiki kekurangan ini. Perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk memastikan kelompok rentan, termasuk penyandang disabilitas, tidak lagi menjadi kelompok yang terpinggirkan. Pemerintah dapat mengambil langkah proaktif dengan mendatangi langsung masyarakat yang sulit mengakses layanan, terutama mereka yang tinggal di daerah terpencil dan memiliki keterbatasan.
Meskipun belum ada kebijakan yang langsung menyentuh penyandang disabilitas, Asta Cita Prabowo-Gibran mencantumkan program yang berfokus pada disabilitas dan inklusivitas dalam Asta Cita 4 dan 7. Program ini bertujuan memperkuat peran penyandang disabilitas melalui langkah strategis, seperti mempercepat penerbitan peraturan pemerintah, mengintensifkan kampanye kesadaran publik, membangun infrastruktur ramah disabilitas, dan memperluas akses pendidikan, pekerjaan, kesehatan, serta partisipasi politik. Selain itu, program ini juga mendorong perusahaan swasta dan BUMN untuk menyediakan kesempatan kerja serta memperluas perlindungan terhadap penyandang disabilitas dari stigma dan diskriminasi (Sumber: Asta Cita Prabowo-Gibran, 2024). Masyarakat kini menanti janji tersebut.
Kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk organisasi penyandang disabilitas, dan lembaga swadaya masyarakat, menjadi elemen penting untuk menjangkau kelompok-kelompok yang selama ini tidak terlayani. Pendekatan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan ini dapat membantu mengurangi hambatan struktural maupun stigma yang masih dihadapi penyandang disabilitas.
Pemenuhan layanan dasar bagi penyandang disabilitas bukan sekadar masalah administratif, tetapi mencerminkan keberpihakan pemerintah pada prinsip keadilan sosial. Keberhasilan dalam memperbaiki akses layanan dasar akan menjadi bukti komitmen pemerintah dalam menciptakan pembangunan yang merangkul semua pihak. Pengakuan ini lebih dari sekadar dokumen; ini adalah bentuk pengakuan terhadap hak, martabat, dan eksistensi mereka sebagai warga negara yang setara.
Sebagai penutup, pemerintah dan semua pihak terkait perlu lebih mengutamakan pemberdayaan penyandang disabilitas, bukan hanya sekadar memberikan bantuan. Perspektif inklusi harus diperbaiki dalam rezim ini, agar setiap individu, tanpa terkecuali, dapat mengakses hak-haknya secara setara (Sumber: Wawancara Adriana Nomleni, Research Manager, Knowledge Management and MEL Yayasan PIKUL).
Penulis: Vania Daniela Bunga
Sumber:
- Asta Cita Prabowo-Gibran. (2024).
- Badan Pusat Statistik. (2024). Potret penyandang disabilitas di Indonesia: Hasil Long Form SP2020. Jakarta: BPS. Diakses pada 23 Januari 2025, dari https://ntt.bps.go.id/id/statistics-table/2/NTg2IzI=/jumlah-penyandang-masalah-kesejateraan-sosial-pmks-.html
- Desderdea Kanni. (2025). Wawancara dengan Desderdea Kanni, Unit Layanan Disabilitas BPBD Kabupaten Kupang.
- Litbang Kompas. (2025). Hasil survei kepuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Prabowo-Gibran dalam 100 hari pertama. Diakses pada 20 Januari 2025, dari kompas.co.id
- Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2016. Tentang bantuan administrasi kependudukan bagi kelompok rentan. Diakses pada 23 Januari 2025, dari https://www.peraturan.go.id.
- Persatuan Tuna Daksa Kristiani (PERSANI) NTT. (2024). Wawancara dengan Serafina Bete, Ketua PERSANI NTT.
- Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI) NTT. (2024). Wawancara dengan Yulianus Wallu, PERTUNI NTT.
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016. Tentang jaminan hak-hak penyandang disabilitas. Diakses pada 20 Januari 2025, dari https://www.peraturan.go.id.
- Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Tentang administrasi kependudukan. Diakses pada 20 Januari 2025, dar https://www.peraturan.go.id.
- Yayasan PIKUL. (2025). Laporan progres perekaman dokumen kependudukan bagi kelompok berisiko dalam program MATAHATI.
- Yayasan PIKUL. (2025). Data verifikasi DTKS/KTP/KK di 12 desa Kabupaten Kupang.
- Yayasan PIKUL. (2025). Wawancara dengan Adriana Nomleni, Research Manager, Knowledge Management and MEL.