Resmi menjadi Hutan Adat, Mutis “tidak boleh” dikunjungi oleh publik.

Masyarakat Adat Mollo sedang melakukan Ritual Adat Menolak Taman Nasional Mutis - Timai bertempat di Pintu Gerbang Gunung Mutis / Doc. PIKUL

Masyarakat tidak tahu istilah Taman Nasional. Tiba-tiba sudah ada papan di sana. Taman Nasional itu bahasa adatnya apa? Sejak dahulu kala, masyarakat tahu bahwa Mutis itu hutan adat, hutan larangan. Apa itu Taman Nasional? Seluruh aktivitas di Mutis harus sesuai izin Usif, tapi penetapan ini tidak ada dialog dengan para usif. Ini sama saja tidak menghormati hukum adat kami” – Yeheskiel Mnune- Tokoh Adat Mollo.

Mutis adalah Ibu yang memberi kehidupan pada Pulau Timor.

Baru-baru ini penetapan Taman Nasional Mutis -Timau menjadi kontroversi. Masyarakat adat setempat menolak perubahan status dan menganggapnya sebagai pengkhianatan terhadap hak dan keberadaan mereka. Penetapan status ini dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, Siti Nurbaya pada Minggu, 8 September 2024 secara daring bersama Tim Bezos Earth Fund [BEF] – lembaga filantropi berbasis di Amerika Serikat – melalui teleconference dari Denpasar, Bali.

Masyarakat adat mempertanyakan status “Taman Nasional” 

Sayangnya, penetapan Taman Nasional ini tidak melalui dialog dan diskusi dengan para tokoh adat setempat. Penolakan demi penolakan pun terjadi. Masyarakat adat Mollo Utara di Kabupaten Timor Tengah Selatan misalnya. Mereka mengatakan bahwa penetapan “Taman Nasional” ini secara tiba-tiba, tidak ada keterlibatan para usif dan amaf dalam pengambilan keputusan. Hal ini kemudian dianggap bahwa pemerintah telah mengabaikan keberadaan para tokoh-tokoh adat di Mollo. Penetapan Taman Nasional secara sepihak ini juga dianggap tidak menghormati hukum adat Mollo. 

Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa status taman nasional ini merupakan komitmen pemerintah untuk melindungi flora dan fauna endemik.  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang kini berubah menjadi Kementerian Kehutanan 1)  menegaskan bahwa perubahan status tidak mengurangi fungsi konservasi, tetapi justru akan mengakomodasi kebutuhan masyarakat setempat melalui sistem zonasi untuk membedakan area konservasi, rekreasi, dan aktivitas manusia lainnya. Hal ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada ekosistem. |   1) Saat ini Taman Nasional di oleh Kementerian Kehutanan sesuai dengan Perpres no 139/2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024-2029

Dalam siaran Pers yang diterbitkan oleh KLHK pada 31 Oktober 2024,  menjelaskan bahwa proses penetapan Taman Nasional Mutis – Timau telah ditempuh sesuai prosedur yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 tahun 2021 tentang perencanaan kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan. Proses tersebut meliputi: usulan/ proposal, penelaahan dokumen usulan pada Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, pembentukan tim terpadu, studi/ penelitian lapangan oleh tim terpadu, penyampaian laporan dan rekomendasi oleh Tim terpadu kepada Menteri LHK, proses penelaahan laporan serta penerbitan Keputusan Menteri LHK. Tim terpadu memiliki pilihan untuk tidak merekomendasikan perubahan fungsi, merekomendasikan sebagian ataupun merekomendasikan seluruhnya.

Masyarakat Adat khawatir sekaligus curiga sistem zonasi Taman Nasional akan membatasi akses dan kegiatan masyarakat. Terutama aktivitas pariwisata yang dikhawatirkan akan mengganggu tatanan budaya dan adat-istiadat, ritus-ritus adat, hingga aktivitas yang berkaitan dengan penghidupan masyarakat seperti penggembalaan ternak dan kebersihan lingkungan yang tentu saja akan berpengaruh terhadap sumber-sumber air di Mutis.

Namun, KLHK menekankan bahwa tidak ada rencana untuk pembangunan wisata masif di kawasan tersebut, meskipun pembangunan sarana lain yang bersifat strategis mungkin dilakukan. Secara keseluruhan, KLHK berupaya untuk menjelaskan bahwa perubahan ini bertujuan untuk pengelolaan hutan konservasi yang lebih baik dan memberikan dampak positif bagi masyarakat lokal.

Yeheskiel Mnune, Tokoh Adat Mollo  dari Desa Ajaobaki menjelaskan bahwa sistem zonasi seperti yang dikatakan pemerintah itu sejak dahulu kala masyarakat adat sudah melakukannya. Menurutnya, hukum adat telah mengatur zona-zona mana saja yang boleh dan tidak boleh diganggu. Namun menurutnya, pemerintah tidak pernah berkoordinasi dengan para usif dan amaf dalam proses penetapan status ini.

“Sistem zonasi seperti itu kami di hukum adat sudah mengaturnya. Bagian wisata, bagian ternak sampai pada bagian ritual itu semua sudah diatur sejak dulu. Masing-masing bagian itu ada dia punya nama dan ritualnya tersendiri. Jika pemerintah mau mengatur zonasi, apakah mereka tahu dengan cerita seperti ini ? Cerita-cerita di balik penetapan wilayah dan ritual di dalamnya?” – Yeheskiel Mnanu – Tokoh Adat Mollo.

Penolakan masyarakat adat terhadap status taman nasional didasari atas kekhawatiran akan eksploitasi sumber daya alam di Mutis. 

Mama Lodia Oematan, perempuan adat Desa Fatumnasi menjelaskan bahwa Mutis adalah sumber kehidupan orang Mollo khususnya dan orang Timor pada umumnya sehingga wajib bagi masyarakat Mollo untuk menjaga warisan para leluhur. Hutan membantu masyarakat adat berdaulat atas pangan, obat-obatan dan sumber daya alam di dalamnya. 

Kalau kami kekurangan makanan, kami pergi ke mutis berdoa dan minta baik-baik kepada leluhur untuk mengambil makanan. Kami jarang membeli makanan dari luar. Sumber makanan kami dari Hutan. Alam kami sayang kepada kami. Dia kasih kami makan. Taman nasional ini kami tidak tahu nanti dua atau tiga tahun lagi akan jadi seperti apa. Jadi kami menolak taman nasional karena adat dan budaya orang Mollo ada di Mutis” – Lodia Oematan – Perempuan Adat Desa Fatumnasi

Resmi menjadi hutan adat, Mutis ditutup untuk publik. 

Selasa, 28 Januari 2025, masyarakat Adat Mollo Utara bersama para Usif dan Amaf telah melaksanakan ritual adat untuk menolak status Taman Nasional Mutis – Timau dan mengembalikan status Gunung Mutis sebagai Hutan Adat. Ritual ini dimulai di Nausus, tempat ikatan Usif-usif (semacam raja atau adipati, tetapi bukan dalam arti monarki barat karena para usif tidak berkuasa mutlak, melainkan harus mendengar dan bermusyawarah dengan para amaf ketika mengambil keputusan)  Netpala, dengan menyembelih seekor kambing putih sebagai persembahan kepada alam dan leluhur. Selanjutnya, ritual dilanjutkan di enam lokasi sakral di kaki Gunung Mutis yang ditetapkan oleh para Usif. Acara puncak berlangsung di Mutis, ditandai dengan penyembelihan seekor babi dan penanaman dua pohon beringin di pintu masuk sebagai simbol persatuan antara dua wilayah  besar di Mollo Utara, yaitu Netpala dan Nunbena. Ritual ini menandakan bahwa secara adat, Gunung Mutis telah ditutup untuk publik. Meskipun BKSDA menutup kawasan tersebut hingga 14 Februari 2025, namun secara adat, Gunung Mutis kini berstatus hutan larangan yang tidak boleh dimasuki oleh sembarang orang.

Pernyataan Sikap Masyarakat adat Mollo.

Setelah melakukan ritual adat, masyarakat Mollo kemudian berkumpul di Fatumnasi dan menyatakan sikap menolak Taman Nasional Mutis-Timau dan mengembalikan status gunung mutis sebagai hutan adat yang telah disakralkan secara turun temurun. Pernyataan sikap bukan merupakan perlawanan terhadap negara tetapi sebagai upaya untuk mempertahankan harkat dan martabat sebagai orang Mollo secara khusus dan orang Timor secara keseluruhan.

Sejak dahulu, para leluhur telah menetapkan Mutis sebagai tempat sakral orang Timor untuk menghidupi orang Timor di seluruh wilayah Pulau Timor atau yang disebut atoni pah meto. Kami tidak berurusan dengan Surat Keputusan kementrian, tapi kami berurusan dengan adat kami. Jika ada orang yang melanggar tatanan adat ini maka konsekuensinya berat bisa berakhir dengan kematian”Alfred Baun, Masyarakat Mollo.

Dalam kesempatan tersebut, tokoh perempuan adat Mollo, Aleta Baun, menjelaskan bahwa persiapan untuk ritual adat ini telah berlangsung selama kurang lebih satu minggu. Namun, baru dalam tiga hari terakhir, terhitung sejak tanggal 25 hingga 28 Januari 2025, mereka dapat melakukan perjalanan dari Nausus ke Fatumnasi. Ritual panjang ini merupakan salah satu bentuk pernyataan sikap terhadap status baru Taman Nasional Mutis – Timau.

Melalui Ritual ini kami Masyarakat Adat Mollo menolak Taman Nasional Mutis – Timau, Kami Menolak Cagar Alam Gunung Mutis. Kembalikan hutan adat kepada masyarakat adat’ – Aleta Baun – Tokoh Perempuan Adat Mollo Utara. 

Sebagai informasi bahwa gerakan penolakan yang sama juga telah dilakukan oleh Masyarakat Adat Desa  Noepesu dan Desa Fatuneno,  Kecamatan Miomaffo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara dengan menggelar ritual adat pada 31 Oktober 2024 di dua titik lokasi yakni di Teto Asin, Desa Noepesu dan di Eno Nuat, gerbang masuk kawasan Gunung Mutis. Dikutip dari Victorynews.id, ritual adat tersebut dihadiri oleh oleh masyarakat adat, Anggota DPRD TTU dari Fraksi PDIP, Veronika Lake, Rohaniwan Katolik, Rm. Paulus Bapa, Ketua Forum Sejarah dan Budaya Timor (FSBT), Kayetanus Abi, serta sejumlah perwakilan organisasi kemahasiswaan. (EG)

Sumber : 

 

Post Related

Scroll to Top