Seberapa Jauh Kebijakan dan Narasi Rezim Ini Mengancam Resiliensi dan Lingkungan di Tengah Krisis Iklim?

Apa yang Terjadi dalam 100 Hari Pemerintahan?

Bagian II: Seberapa Jauh Kebijakan dan Narasi Rezim Ini Mengancam Resiliensi dan Lingkungan di Tengah Krisis Iklim?

Beberapa tahun belakangan ini, kita semua diperhadapkan dengan krisis iklim. Kondisi krisis ini akan semakin memburuk jika ada kenaikan suhu bumi sebesar 1,5°C pada akhir abad ini. Saat ini, suhu global telah meningkat sekitar 1,1°C dan diproyeksikan akan melampaui 1,5°C pada awal dekade 2030-an, menandakan kondisi bumi yang semakin tidak aman (Sumber: IPCC, “AR6 Synthesis Report: Climate Change 2023”). 

Sebagai negara kepulauan, Indonesia merasakan dampak signifikan dari krisis iklim. Dalam 10 tahun terakhir (2013-2022), Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat 28.471 kejadian bencana terkait cuaca dan iklim yang mengakibatkan 38.533.892 orang terdampak, lebih dari 3,5 juta orang mengungsi, dan lebih dari 12 ribu orang terluka, hilang, atau meninggal dunia. Bappenas juga memprediksi kerugian ekonomi mencapai Rp544 triliun selama periode 2020-2024 akibat dampak perubahan iklim (Sumber: Bappenas, “Bahas Urgensi Pembangunan Rendah Karbon, Bappenas Helat LCDI Week 2021). 

Penyebab utama krisis iklim adalah aktivitas elit ekonomi politik yang mengendalikan sebagian besar sumber daya dunia dan menghasilkan emisi gas rumah kaca dalam jumlah besar, yang dilegitimasi atas nama pembangunan. Sistem pembangunan yang eksploitatif mempercepat kenaikan suhu bumi. Ironisnya, kelompok masyarakat miskin, rentan, dan terpinggirkan menanggung beban terberat akibat perubahan iklim, seperti meningkatnya kelaparan, krisis air, penyakit, hilangnya tempat tinggal dan mata pencaharian, hingga kematian akibat bencana. Selain itu, berbagai upaya yang dianggap sebagai solusi perubahan iklim dapat memperparah ketimpangan yang ada jika tidak mengubah sistem pembangunan, sehingga berpotensi melanggengkan atau menciptakan ketidakadilan baru.

Di tengah ancaman krisis iklim, sebagian besar rakyat Indonesia masih mengalami kesulitan dalam pemenuhan hak dasar, termasuk aspek sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Negara secara aktif melakukan pengabaian dan diskriminasi yang menyebabkan ketimpangan dan ketidakadilan dalam pembangunan dan ekonomi, terutama melalui regulasi dan kebijakan yang merugikan warga secara ekonomi dan lingkungan. 

Kebijakan dan Narasi Pemerintah

1. Setelah Jenuh Hilirisasi Tambang, Rezim Mulai Hilirisasi Pangan 

Presiden Prabowo Subianto mendorong pengembangan hilirisasi untuk 28 komoditas, dengan fokus baru pada sektor pangan sebagai alternatif pengganti mineral yang mulai jenuh. Wakil Menteri Investasi, Todotua Pasaribu, menyatakan bahwa komoditas-komoditas ini sangat penting karena Indonesia memiliki potensi sumber daya yang besar di sektor pangan dan bauksit. Pemerintah telah mengalokasikan investasi sebesar Rp 9.542 triliun untuk program ini, yang bertujuan menciptakan lapangan kerja serta memperkuat perekonomian (Sumber: Tempo, “Setelah Hilirisasi Tambang Jenuh, Kini Hilirisasi Pangan”).

Di antara komoditas yang mendapat perhatian adalah bauksit, yang memiliki potensi besar sebagai bahan baku alumina, serta komoditas pangan seperti rumput laut dan ikan. Hilirisasi ini bertujuan mengolah bahan mentah menjadi produk bernilai tambah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik maupun ekspor. Program ini juga mencakup pengolahan minyak sawit menjadi biodiesel dan pengelolaan metanol untuk mendukung produksi B40.

Namun, hilirisasi juga menimbulkan dampak lingkungan. Proses industri yang bergantung pada energi fosil dapat meningkatkan emisi karbon, memperburuk perubahan iklim. Selain itu, pembangunan fasilitas pengolahan seperti smelter berpotensi merusak ekosistem akibat deforestasi dan konsumsi air yang tinggi. Limbah cair dan padat dari industri mineral, seperti bauksit, dapat mencemari sungai dan tanah sekitar. Polusi udara, penggunaan sumber daya alam yang berlebihan, serta tantangan pengelolaan limbah berbahaya menjadi masalah yang harus diatasi. Teknologi baru, seperti high-pressure acid leach (HPAL), diharapkan mampu meningkatkan efisiensi, meski tetap memerlukan sumber daya dan energi dalam jumlah besar.

Contoh dampak nyata dari program hilirisasi terlihat di Halmahera Tengah, Maluku Utara. Kawasan industri terpadu PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) dilaporkan menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia, deforestasi, serta pencemaran udara dan air, menurut laporan Climate Right International (CRI) yang dirilis pada 17 Januari 2024 (Sumber: Kompas, “Merusak Lingkungan, Hilirisasi Industri Nikel Perlu Dievaluasi”).

Selain itu, hilirisasi pangan di Indonesia membawa sejumlah dampak negatif yang memerlukan perhatian khusus. Pertama, ketergantungan pada industri tertentu dapat menimbulkan kerentanan ekonomi, terutama jika terjadi fluktuasi pasar global. Kedua, kesenjangan sosial dan ekonomi dapat meningkat, mengingat masyarakat yang kurang terampil atau tidak memiliki akses ke peluang baru berisiko tertinggal. Ketiga, peningkatan aktivitas industri sering kali menghasilkan limbah berbahaya dan emisi yang merusak ekosistem. Keempat, risiko over-spesialisasi dapat muncul jika negara terlalu bergantung pada satu jenis produk atau industri tertentu, sehingga rawan terhadap penurunan performa sektor tersebut. Kelima, tingginya biaya investasi awal untuk infrastruktur dan teknologi menjadi tantangan signifikan, terutama bagi negara dengan sumber daya terbatas (Sumber: Kompas, “Hilirisasi Butuh ”Huluisasi”).

Contoh kasus over-spesialisasi dapat dilihat dalam sektor pertanian di Indonesia, terutama pada komoditas tertentu seperti beras. Ketergantungan yang tinggi terhadap produksi beras menyebabkan petani kurang diversifikasi dalam usaha tani mereka, sehingga ketika harga beras turun akibat fluktuasi pasar atau meningkatnya impor, banyak petani mengalami kerugian besar. Hal ini memperburuk kondisi ekonomi mereka dan mengurangi insentif untuk meningkatkan produksi atau berinvestasi dalam teknologi baru. Selain itu, over-spesialisasi ini juga mengakibatkan kerentanan terhadap perubahan iklim dan penyakit tanaman, yang dapat menghancurkan hasil panen secara signifikan. Dengan demikian, ketergantungan yang berlebihan pada satu jenis komoditas dapat mengancam kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani (Sumber: PPID Pertanian, “Perdagangan Internasional”).

2. Hashim dan Tenaga Listrik 103 Gigawatt dalam 15 Tahun

Hashim Djojohadikusumo sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi dalam COP 29 di Azerbaijan, mengatakan pemerintah berencana membangun jaringan tenaga listrik dengan daya sebesar 103 gigawatt hingga 15 tahun mendatang. Proyek besar ini akan melibatkan kerja sama dengan ratusan perusahaan, serta investasi tahunan lebih dari US$ 15 miliar. Dari total kapasitas tersebut, sekitar 75% akan berasal dari energi baru dan terbarukan (EBT), sementara sisanya akan dipenuhi oleh energi nuklir dan bahan bakar fosil dengan jejak karbon yang minimal. Rencana ini juga menjadi bagian dari strategi pemerintah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, dengan target Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 8% pertumbuhan ekonomi, bahkan ada peluang untuk melampaui angka tersebut, menuju 9-9,5% (Sumber: Tempo, “Hashim Beberkan Rencana RI Bangun Jaringan Tenaga Listrik 103 Gigawatt dalam 15 Tahun”).

Transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) tampaknya menyimpan solusi sesat bagi hutan dan masyarakat  yang bergantung padanya. Proses ini berisiko mengorbankan jutaan hektare hutan tanpa memberikan manfaat nyata. Proyek-proyek transisi energi yang diberi label “ramah lingkungan” justru menjadi ancaman nyata, seperti pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) guna memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 (Sumber: Tempo, “Transisi Energi, Transisi Deforestasi”).

Hutan Tanaman Energi (HTE) adalah kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan bioenergi dari kayu, limbah pertanian, atau kotoran hewan. Pemerintah Indonesia melihat HTE sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Namun, kenyataannya, proyek ini sering mengorbankan ekosistem alami dan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), lebih dari 4,65 juta hektare hutan telah dialihfungsikan menjadi HTE, dengan angka yang terus bertambah karena izin-izin baru yang diterbitkan. Dampak alih fungsi ini meliputi degradasi ekosistem, konflik agraria, dan kerugian sosial.

3. Enggak Usah Takut Deforestasi, Sawit Juga Pohon Kan? 

“Enggak usah takut, katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit. Dia pohon, ya kan?” kata Prabowo pada Senin, 30 Desember 2024.

Pernyataan ini langsung mengundang banyak kritik tajam terhadap Prabowo. Tempo lewat artikelnya berjudul “Sesat Pikir Prabowo Menyamakan Sawit dengan Pohon Hutan” menyampaikan kritiknya lewat pernyataan para ahli.  

Koordinator Center of International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, membandingkan kemampuan perkebunan sawit dan hutan hujan tropis dalam menyimpan karbon sebagai perbedaan yang sangat besar. Ia menjelaskan bahwa dalam setahun, setiap hektare perkebunan sawit hanya dapat menyimpan sekitar 40-80 ton karbon, sementara hutan hujan tropis memiliki cadangan karbon yang jauh lebih besar, yakni antara 300 hingga 500 ton per hektare dalam setahun. Guru besar Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor menyampaikan hal ini kepada Tempo pada 6 Januari 2025 (Sumber: Tempo, “Sesat Pikir Prabowo Menyamakan Sawit dengan Pohon Hutan”). 

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sendiri telah menegaskan bahwa kelapa sawit bukanlah tanaman hutan. Hal ini ditegaskan berdasarkan berbagai peraturan pemerintah, analisis historis, dan kajian akademik yang komprehensif.

“Dari berbagai peraturan, nilai historis, kajian akademik, wacana umum, dan praktik, sawit jelas bukan termasuk tanaman hutan. Pemerintah juga belum memiliki rencana untuk merevisi berbagai peraturan tersebut,” ujar Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK, Agus Justianto, dalam pernyataannya. Lebih lanjut, dalam Permen LHK P.23/2021, kelapa sawit tidak dimasukkan sebagai tanaman rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) (Sumber: KLHK, “KLHK tegaskan sawit bukan tanaman hutan”). 

Produksi minyak kelapa sawit di Indonesia berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca (GRK), terutama dari kebakaran lahan gambut yang dikeringkan, penurunan lahan gambut, dan perubahan fungsi lahan. Rata-rata, sektor ini menghasilkan 220 juta ton emisi setara karbon dioksida setiap tahun antara 2015 dan 2022, setara dengan hampir seperlima dari total emisi tahunan Indonesia yang mencapai 1,23 gigaton pada 2022.

Meski hanya 14% dari perkebunan kelapa sawit (2,2 juta hektar) berada di lahan gambut kaya karbon, lahan tersebut menyumbang hampir 92% dari rata-rata emisi GRK tahunan sektor kelapa sawit selama periode tersebut, terutama akibat penurunan tanah dan kebakaran di area gambut yang dikeringkan.

Selain periode kering seperti El Nino pada 2015 dan 2019 yang meningkatkan emisi dari kebakaran lahan gambut, emisi GRK dari produksi kelapa sawit relatif stabil. Tantangan utama saat ini adalah bagaimana pemerintah Indonesia dan sektor kelapa sawit mengurangi emisi melalui upaya konservasi hutan, sekaligus mempertahankan produksi di lanskap kelapa sawit yang ada (Sumber: Trase, “Ekspor dan deforestasi kelapa sawit Indonesia”).

Selain emisi, kelapa sawit juga merupakan resiko utama penurunan bio-diversity. Ekspansi perkebunan kelapa sawit seringkali mengorbankan hutan primer dan sekunder menjadi lahan pertanian, yang mengakibatkan hilangnya habitat bagi banyak spesies. Menurut penelitian, sekitar 50% dari semua deforestasi di Kalimantan, antara tahun 2005 hingga 2015 disebabkan oleh pengembangan kelapa sawit, yang berdampak langsung pada penurunan keanekaragaman hayati. Konversi lahan ini tidak hanya mengurangi jumlah spesies tumbuhan dan hewan, tetapi juga mengancam spesies terancam punah seperti orang utan dan harimau, yang kehilangan habitat aslinya akibat pembukaan lahan untuk perkebunan. Penelitian menunjukkan bahwa perubahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit dapat menurunkan kekayaan spesies tumbuhan hingga 93% dan kekayaan spesies kupu-kupu hingga 83% (Sumber: IUCN, “Kelapa sawit dan keanekaragaman hayati”).

4. Raja Juli Antoni dan Ambisi Pembukaan 20 Juta Hektare Untuk Food Estate

Menteri Kehutanan Indonesia, Raja Juli Antoni, pada 30 Desember 2024, mengumumkan rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk budidaya padi gogo dan pohon aren demi meningkatkan ketahanan pangan dan energi. Meski terdengar ambisius, sejarah kegagalan program food estate di Indonesia menimbulkan keraguan (Sumber: Mongabay, “Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi”). 

Proyek serupa di masa lalu, seperti Mega Rice Project era Orde Baru, berujung pada kehancuran ekosistem gambut Kalimantan serta penderitaan petani transmigran, hingga dihentikan pada 1998 oleh Presiden BJ Habibie. Selanjutnya, Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di era Susilo Bambang Yudhoyono justru menghancurkan hutan sagu Papua, merusak akses pangan masyarakat adat, dan menciptakan konflik agraria berkepanjangan.

Di bawah Presiden Jokowi, food estate menjadi bagian Proyek Strategis Nasional, termasuk megaproyek di Merauke yang mencakup 2,29 juta hektare. Meski bertujuan untuk swasembada pangan dan energi, proyek ini menuai kritik, terutama karena melibatkan Martias Fangiono, pengusaha yang pernah terjerat kasus korupsi sawit.

Inisiatif ini memicu pertanyaan: apakah langkah ini benar-benar mendukung ketahanan pangan atau mengulang kesalahan fatal yang merusak lingkungan dan masyarakat?

5. Bioekonomi Untuk Ambisi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia 8% 

“Saya baru mungkin menginjak bulan ketiga memimpin pemerintahan Republik Indonesia dan makin saya mempelajari keadaan perekonomian kita, saya makin merasa percaya diri, saya merasa optimis, saya percaya, saya yakin kita akan mencapai bahkan mungkin melebihi 8 persen pertumbuhan” Kata Prabowo Subianto dalam Musyawarah Nasional Konsolidasi Persatuan Kadin Indonesia. 

Bioekonomi sering kali dipromosikan sebagai solusi untuk tantangan lingkungan dan ekonomi yang dihadapi dunia saat ini. Namun, banyak kritik yang menyatakan bahwa pendekatan ini tidak cukup efektif dalam mengatasi masalah mendasar, termasuk triple planetary crisis, yang terdiri dari perubahan iklim, hilangnya keanekaragaman hayati, dan polusi. Salah satu isu utama adalah bahwa bioekonomi cenderung mengandalkan monokulturisasi, yaitu praktik penanaman satu jenis tanaman secara besar-besaran, seperti kelapa sawit, jagung, atau tebu. Praktik ini dapat memperburuk kerusakan lingkungan dan mengancam biodiversitas dengan mengurangi keragaman spesies yang ada di ekosistem.

Monokultur tidak hanya meningkatkan risiko terhadap perubahan iklim, tetapi juga berpotensi melanggengkan perampasan tanah. Dalam banyak kasus, lahan yang seharusnya digunakan untuk pertanian berkelanjutan atau pemanfaatan sumber daya lokal diambil alih untuk produksi komoditas tertentu yang lebih menguntungkan secara ekonomi. Hal ini sering kali mengakibatkan konflik antara perusahaan besar dan masyarakat lokal, terutama di negara-negara berkembang, di mana hak atas tanah seringkali diabaikan demi kepentingan investasi besar.

Lebih jauh lagi, bioekonomi yang berfokus pada skala besar sering kali tidak memperhatikan batas daya dukung dan kapasitas adaptif lingkungan. Dalam konteks perubahan iklim yang semakin parah dan cuaca ekstrem yang lebih sering terjadi, penting bagi sistem pertanian dan produksi pangan untuk memiliki fleksibilitas dan ketahanan. Namun, pendekatan monokultur yang dominan dalam bioekonomi justru menurunkan kemampuan ekosistem untuk beradaptasi terhadap perubahan tersebut. Misalnya, ketika cuaca ekstrem seperti banjir atau kekeringan terjadi, lahan monokultur cenderung lebih rentan terhadap kerugian hasil panen dibandingkan dengan sistem pertanian yang lebih beragam (Sumber: Kumparan, “Perkebunan Indonesia 2025: Pilar Ketahanan dan Keberlanjutan Ekonomi”)..

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa bioekonomi tidak selalu menjamin pengurangan kemiskinan. Meskipun bioekonomi dapat menciptakan lapangan kerja baru dalam sektor energi terbarukan dan produk biobased, manfaat tersebut sering kali tidak merata. Masyarakat lokal dan petani kecil mungkin tidak mendapatkan akses yang sama terhadap peluang ekonomi ini, sehingga kesenjangan sosial dan ekonomi dapat semakin melebar.

Dalam konteks ini, penting untuk mengevaluasi kembali bagaimana bioekonomi diterapkan. Pendekatan yang lebih berkelanjutan harus melibatkan diversifikasi tanaman, pengelolaan sumber daya alam secara adil, serta mempertimbangkan hak-hak masyarakat lokal. Dengan demikian, bioekonomi bisa menjadi alat untuk mencapai keberlanjutan lingkungan dan sosial jika dirancang dengan mempertimbangkan batas-batas ekologis dan kebutuhan masyarakat (Sumber: The Guardian, “Why Bioeconomy Could Be a Double-Edged Sword”).

6. Perdagangan Karbon Internasional 

Pada 20 Januari 2025, Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia meluncurkan perdagangan karbon internasional perdana untuk pasar wajib. Perdagangan karbon (carbon trading) merupakan kegiatan jual beli kredit karbon (carbon credit), dimana pembeli menghasilkan emisi karbon yang melebihi batas yang ditetapkan. Batas emisi ini ditentukan melalui mekanisme Persetujuan Teknis Batas Atas Emisi Pelaku Usaha (PTBAE-PU), yang diterapkan oleh pemerintah kepada setiap pelaku usaha berdasarkan jenis kegiatan dan sektor mereka (Sumber: Siaran Pers KLHK, “Perdagangan Karbon untuk Pencapaian Target NDC, Kontribusi Indonesia bagi Agenda Perubahan Iklim Global”, 2024).

Pemerintah, melalui instansi terkait seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menetapkan batas emisi ini untuk memastikan pengendalian emisi gas rumah kaca (GRK). Pelaku usaha yang melepaskan emisi di bawah batas tersebut dapat menjual kelebihan hak emisinya kepada pihak lain, sementara pelaku yang melebihi batas harus membeli hak emisi tambahan untuk memenuhi kewajibannya. Kredit karbon (carbon credit) adalah representasi dari ‘hak’ bagi sebuah perusahaan untuk mengeluarkan sejumlah emisi karbon atau gas rumah kaca lainnya dalam proses industrinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi 1 ton karbon dioksida (CO2).

Salah satu kelemahan utama dari perdagangan karbon adalah ketergantungan pelaku utamanya terhadap mekanisme ini. Banyak perusahaan lebih memilih membeli kredit karbon daripada mengurangi emisi secara internal melalui upaya-upaya khusus. Kebanyakan perusahaan menganggap bahwa mereka tetap boleh menghasilkan emisi asalkan sudah membayar kompensasi, sehingga emisi tetap akan dihasilkan, bahkan jumlahnya berpotensi tidak berkurang (Sumber: Forestnews, “Kredit Karbon dari Konservasi Hutan Menggelembungkan Dampak dari Target Keliru Proyek REDD+”)

Komoditas karbon memiliki nilai yang sulit untuk diperkirakan, membuat sulit untuk menentukan harga ideal. Hal ini berpotensi merugikan perusahaan yang ingin mengelola emisi mereka dengan stabil. Ketergantungan pada harga fluktuatif dapat memicu spekulasi di pasar, yang pada gilirannya dapat merugikan perusahaan yang ingin mengoptimalkan biaya operasional mereka (Sumber: Tempo, Berapa Harga Karbon Indonesia yang Ideal?)

Bahkan, beberapa proyek perdagangan karbon telah terbukti tidak efektif atau bahkan menipu. Studi menunjukkan bahwa hanya sekitar 6% dari kredit berbasis proyek yang terkait dengan penambahan reduksi emisi karbon yang nyata. Diskrepansi antara klaim kredit dan dampak terkonfirmasi disebabkan prakiraan berlebihan emisi terhindari dari skenario batas dasar ‘deforestation’ yang tidak realistis (Sumber: Forestnews, “Kredit Karbon dari Konservasi Hutan Menggelembungkan Dampak dari Target Keliru Proyek REDD+”).

Isu lain yang lebih mendasar adalah bahwa perdagangan karbon saat ini cenderung berbasis pada offset, yang memungkinkan perusahaan untuk membeli kredit karbon sebagai pengganti pengurangan emisi langsung. Hal ini dapat memberikan “izin” untuk terus meningkatkan emisi dari sumber energi kotor, sehingga memperlambat upaya nyata untuk menurunkan emisi secara signifikan. Dalam konteks perubahan iklim, semakin tinggi suhu global, kemampuan hutan dan laut untuk menyerap emisi juga semakin rendah, sehingga pendekatan berbasis offset menjadi semakin tidak efektif.

Indonesia, sebagai negara dengan tingkat emisi tinggi dari sektor energi fosil, harus menuntut negara-negara maju untuk mengurangi emisi mereka secara drastis. Ini penting karena negara maju memiliki tanggung jawab lebih besar dalam mengatasi perubahan iklim dan harus berkontribusi lebih banyak dalam upaya global untuk menurunkan emisi. Selain itu, Indonesia perlu fokus pada pengurangan emisi dari sumber energi fosil di dalam negeri dan beralih ke energi terbarukan yang lebih bersih.

Dalam hal ini, efektivitas perdagangan karbon di Indonesia sangat bergantung pada bagaimana mekanisme ini dirancang dan diimplementasikan. Untuk mencapai tujuan mitigasi perubahan iklim, perlu ada penegakan regulasi yang ketat, transparansi dalam pelaporan emisi, dan dorongan untuk transisi ke energi bersih. Jika tidak, perdagangan karbon dapat menjadi alat yang tidak efektif dan bahkan kontraproduktif dalam menghadapi krisis iklim global (Sumber: AEER, “Menilai Perdagangan Karbon di Indonesia Sebagai Solusi untuk Krisis Iklim”).

7. Buzzer Sebagai Pemoles Citra Pemerintah 

Penunjukan Rudi Sutanto alias Rudi Valinka sebagai Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) membuka perdebatan serius tentang etika dan transparansi dalam manajemen komunikasi publik di era digital. Sebagai seorang buzzer yang dikenal dengan akun Twitter @kurawa, yang sering kali terlibat dalam kontroversi politik dan sosial, pengangkatannya menimbulkan kekhawatiran akan potensi konflik kepentingan dan kerusakan citra instansi pemerintah (Sumber: Tempo, “Rudi Valinka Buzzer Jokowi Jadi Staf Khusus, Wamen Nezar: Untuk Komunikasi Media Sosial”). 

Meskipun Wakil Menteri Komdigi, Nezar Patria, membela keputusan ini dengan alasan profesionalisme dan keahlian Rudi dalam mengelola media sosial, faktanya, latar belakangnya sebagai seorang yang berkontribusi dalam membentuk opini publik dengan cara yang seringkali provokatif dan partisan tidak bisa diabaikan begitu saja. Di tengah gejolak politik dan tuntutan untuk meningkatkan integritas birokrasi, penunjukan Rudi justru menegaskan dominasi politik media sosial yang berpotensi merusak objektivitas dalam komunikasi publik pemerintah. Meskipun Nezar menjamin bahwa Rudi akan menghindari “praktik-praktik negatif”, kecemasan publik tentang bagaimana Rudi akan memanfaatkan posisinya untuk kepentingan politik tetap relevan. Dalam konteks ini, penunjukan Rudi lebih mencerminkan upaya pemerintah untuk mengontrol narasi di media sosial, tetapi hal ini juga berisiko memperburuk ketidakpercayaan publik terhadap keberpihakan dan keadilan komunikasi yang dikelola oleh pemerintah.

Penggunaan buzzer oleh pemerintah Indonesia, terutama dalam konteks penunjukan Rudi Sutanto alias Rudi Valinka sebagai Staf Khusus Menteri Komunikasi dan Digital, menunjukkan bagaimana negara dapat “meng-hire” individu untuk membungkam narasi kritis dan membentuk opini publik. Buzzer, yang dikenal sebagai pendengung di media sosial, berfungsi untuk mempromosikan citra positif pemerintah dan menyerang kritik yang muncul, sehingga menciptakan narasi yang menguntungkan bagi elite politik.

Salah satu cara negara menggunakan buzzer adalah dengan menjadikannya sebagai alat untuk membentuk opini publik melalui media sosial. Dalam hal ini, buzzer seperti Rudi Valinka, yang dikenal dengan akun @kurawa, memiliki pengaruh besar dalam memanipulasi informasi dan menyebarkan narasi yang mendukung kebijakan pemerintah. Dengan latar belakang sebagai buzzer yang aktif menyerang lawan politik, penunjukannya ke posisi strategis menunjukkan upaya pemerintah untuk mengintegrasikan strategi komunikasi digital dengan kekuasaan formal. Ini menciptakan konflik kepentingan, di mana individu dengan agenda politik tertentu mendapatkan legitimasi melalui posisi resmi di pemerintahan.

Lebih jauh lagi, laporan menunjukkan bahwa penggunaan buzzer tidak hanya terbatas pada individu seperti Rudi Valinka. Pemerintah juga diduga mengalokasikan anggaran untuk mendukung aktivitas buzzer di berbagai lembaga, termasuk TNI. Ini menciptakan pola di mana negara secara aktif membiayai upaya untuk membungkam kritik dan menyebarkan informasi yang menguntungkan pemerintah. Dalam konteks ini, para buzzer berperan dalam menekan akun-akun kritis melalui intimidasi, baik secara digital maupun fisik (Sumber: Tempo, “Mengapa Buzzer Masih Menjadi Senjata Pemoles Citra Pemerintah”).

Menakar Resiliensi di Tengah Krisis Iklim

Dalam menghadapi krisis iklim, kebijakan dan narasi yang dibangun oleh pemerintah menunjukkan potret kontradiktif antara ambisi pembangunan dan tantangan keberlanjutan. Fokus pada hilirisasi, bioekonomi, dan transisi energi memang berpotensi memberikan nilai tambah ekonomi, tetapi dampaknya terhadap lingkungan dan masyarakat sering kali diabaikan. Keputusan kontroversial, seperti pembukaan 20 juta hektare hutan untuk food estate, perdagangan karbon yang tidak transparan, hingga penunjukan buzzer sebagai alat komunikasi publik, mencerminkan bahwa upaya pemerintah lebih condong pada pengelolaan citra daripada solusi struktural untuk menghadapi perubahan iklim.

Di tengah tuntutan global untuk mengurangi emisi dan menjaga keberlanjutan, pertanyaan besar yang harus diajukan adalah: seberapa jauh kebijakan ini dapat dianggap sebagai langkah maju dalam menghadapi krisis iklim, atau justru memperburuk ketimpangan dan kerusakan lingkungan? Apakah narasi pembangunan yang diciptakan pemerintah benar-benar mendukung resiliensi bangsa, ataukah hanya menjadi alat untuk melanggengkan eksploitasi sumber daya alam atas nama pertumbuhan ekonomi? Jawaban atas pertanyaan ini akan menentukan apakah kita sedang berjalan menuju masa depan yang berkelanjutan, atau malah menuju kehancuran ekosistem yang tidak terelakkan.

Sumber: 

  1. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (2022). Laporan Bencana Terkait Cuaca dan Iklim 2013-2022. Jakarta: BNPB. Diakses pada 23 Januari 2025, dari data.bnpb.go.id
  2. Bappenas. (2021). Bahas Urgensi Pembangunan Rendah Karbon, Bappenas Helat LCDI Week 2021. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
  3. Forest Watch Indonesia. (2024). Laporan Dampak Alih Fungsi Hutan Menjadi Hutan Tanaman Energi. Jakarta: FWI.
  4. Forestnews. (2024). Kredit Karbon dari Konservasi Hutan Menggelembungkan Dampak dari Target Keliru Proyek REDD+. Diakses pada 23 Januari 2025, dari: forestnews.id.
  5. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). (2023). AR6 Synthesis Report: Climate Change 2023. Geneva: IPCC.
  6. IUCN (2024). Kelapa Sawit dan Keanekaragaman Hayati. Diakses pada 23 Januari 2025, dari iucn.org.
  7. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2024). Perdagangan Karbon untuk Pencapaian Target NDC, Kontribusi Indonesia bagi Agenda Perubahan Iklim Global. Siaran Pers KLHK.
  8. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2021). KLHK Tegaskan Sawit Bukan Tanaman Hutan. Jakarta: KLHK.
  9. Kompas. (2024). Merusak Lingkungan, Hilirisasi Industri Nikel Perlu Dievaluasi. Diakses pada 27 Januari 2025 dari kompas.id
  10. Kompas. (2024). Hilirisasi Butuh ”Huluisasi. Diakses pada 27 Januari 2025 dari kompas.id
  11. Liputan6. (2024). Mengenal Bioekonomi, Jalan Menuju Pembangunan Berkelanjutan dan Transisi Ekonomi. Diakses pada 23 Januari 2025 dari  liputan6.com.
  12. Mongabay Indonesia. (2024). Berbagai Kalangan Ingatkan Bahaya Buka 20 Juta Hektar Hutan untuk Pangan dan Energi. Diakses pada 23 Januari 2025, dari mongabay.co.id.
  13. PPID Pertanian (2024). Perdagangan Internasional. Diakses pada 23 Januari 2025, dari ppidpertanian.go.id.
  14. RPJPN 2025-2045. (2024). Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas.
  15. Tempo. (2024). Enggak Usah Takut Deforestasi, Sawit Juga Pohon Kan?. Diakses pada 23 Januari 2025, dari tempo.co.
  16. Tempo. (2025). Hashim Beberkan Rencana RI Bangun Jaringan Tenaga Listrik 103 Gigawatt dalam 15 Tahun. Diakses pada 23 Januari 2025, dari  tempo.co.
  17. Tempo. (2025). Rudi Valinka Buzzer Jokowi Jadi Staf Khusus, Wamen Nezar: Untuk Komunikasi Media Sosial. Diakses pada 23 Januari 2025, dari  tempo.co.
  18. Tempo. (2025). Sesat Pikir Prabowo Menyamakan Sawit dengan Pohon Hutan. Diakses pada 23 Januari 2025, dari  tempo.co.
  19. Tempo. (2024). Setelah Hilirisasi Tambang Jenuh, Kini Hilirisasi Pangan. Diakses pada 23 Januari 2025, dari tempo.co.
  20. Tempo (2024). Mengapa Buzzer Masih Menjadi Senjata Pemoles Citra Pemerintah. Diakses pada 23 Januari 2025, dari tempo.co.
  21. Trase (2024). Ekspor dan Deforestasi Kelapa Sawit Indonesia. Diakses pada 23 Januari 2025, dari trase.earth

Post Related

Scroll to Top