Dari Laut ke Meja Makan: Bagaimana jika kita tidak bisa makan meting lagi?

 

Bagaimana jika pesisir kita rusak? bagaimana jika ikan semakin sulit? Bagaimana jika suatu hari nanti kita tidak bisa makan meting lagi?

Tradisi “Makan Meting” dan Kekayaan Laut

Meskipun pembangunan infrastruktur mulai membatasi akses ke pantai, warga pesisir Kota Kupang masih punya cara unik buat menikmati hasil laut, yaitu dengan tradisi “makan meting” atau “gleaning” saat air laut surut. Tradisi ini memungkinkan mereka mendapatkan makanan laut alami tanpa harus melaut jauh.

Penelitian yang dilakukan bersama BRIN di Pesisir Atapupu, Kabupaten Belu, oleh Fanny Iriani Ginzel dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, menunjukkan bahwa masyarakat pesisir sering mengonsumsi keong, kerang, bulu babi, hingga berbagai jenis sayuran laut seperti rumput laut dan lamun.

“Biasanya masyarakat berbondong-bondong ke pesisir saat laut surut dan mengambil secukupnya untuk dimakan bersama keluarga.” – Fanny Iriani Ginzel

Di Kelurahan Namosain, masyarakat masih aktif melakukan tradisi ini. Mereka bukan cuma mengambil, tapi juga punya berbagai cara buat mengolahnya. Nah, berikut beberapa pangan laut yang sering didapat saat “makan meting”!

Kerang-Kerangan dan Siput: 

Kerang dan siput banyak ditemukan di sekitar karang. Biasanya dimasak pakai cuka biar tahan lama. Kalau dikeringkan, bisa awet lebih dari seminggu. Sementara kalau cuma direndam cuka tanpa dimasak, bisa tahan sekitar 3-4 hari.

Udang, Lobster, dan Kepiting

Udang: Banyak ditemukan di pesisir Kupang, biasanya diolah dengan cara direbus atau digoreng. Jenis yang sering ditemui kemungkinan besar adalah udang putih (Litopenaeus vannamei).

Lobster: Sempat sulit ditemukan setelah badai Seroja 2021. Di perairan Kupang, sekitar 60% lobster yang ditemukan adalah jenis lobster bambu (P. versicolor).

Kepiting Bakau: Hidup di hutan mangrove dan kaya akan protein, vitamin, serta mineral. Biasanya diolah dengan cara direbus atau dimasak dengan bumbu khas Kupang.

Bulu Babi

Di Namosain, bulu babi disebut “Duri Teek”. Proses membersihkannya lumayan ribet karena harus digoyang-goyangkan dalam karung untuk melepaskan durinya. Yang dimakan biasanya bagian gonad (telurnya), bisa langsung dimakan mentah, dibakar, atau dimasak bareng beras dalam cangkangnya.

Sayuran Laut: Caulerpa dan Lamun Enhalus

Caulerpa (Anggur Laut): Bentuknya mirip telur ikan dan sering disebut “green caviar”. Biasanya dimakan mentah setelah dicampur cuka, cabe, dan jeruk nipis.

Lamun Enhalus: Selain baik untuk ekosistem pantai, juga bisa dikonsumsi karena mengandung protein, karbohidrat, dan serat. Biasanya dimakan mentah atau direbus.

“Harta Karun” Laut NTT

Indonesia Timur terkenal dengan kekayaan lautnya. Dari ikan tuna, ikan layang, sampai cumi-cumi, semuanya jadi komoditas unggulan. Menurut data BPS NTT (2019-2022), tiga ikan yang paling banyak ditangkap di wilayah ini adalah:

  • Ikan Tongkol: 11.744 ton (2022)
  • Ikan Cakalang: 8.712 ton (2022)
  • Ikan Tuna: 6.807 ton (2022)

Nasib Nelayan dan Masyarakat Pesisir

Meski laut kita kaya raya, sayangnya nasib nelayan dan masyarakat pesisir nggak seindah pemandangan pantainya. Kebanyakan yang tinggal di pesisir adalah nelayan kecil, yang tiap hari bertarung sama ombak buat cari nafkah. Data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) nyebutin kalau ada sekitar 2,4 juta nelayan di Indonesia, dan di Nusa Tenggara Timur (NTT) sendiri, jumlahnya mencapai 329.824 jiwa. Tapi, sayangnya, kesejahteraan mereka masih jauh dari kata cukup.

Berdasarkan laporan BPS Provinsi NTT tahun 2023, nilai tukar nelayan (NTN) di NTT masih di bawah angka 100. Artinya, hasil tangkapan mereka nggak cukup buat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, apalagi buat biaya produksi. Nelayan dan masyarakat pesisir sering kali tidak dapat manfaat dari kekayaan laut yang ada. Ketimpangan akses terhadap sumber daya dan peluang ekonomi bikin mereka susah keluar dari lingkaran kemiskinan.

Krisis Iklim dan Ancaman untuk “Harta Karun” Laut

Laut yang dulu jadi sumber kehidupan, sekarang justru makin penuh tantangan. Pasca Badai Seroja 2021, banyak terumbu karang di Kabupaten Rote Ndao dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu rusak parah. Bahkan di Teluk Kupang, seperti di Kelapa Lima dan Pasir Panjang, terumbu karangnya nyaris hancur. Padahal, ekosistem ini penting banget buat kelangsungan hidup ikan dan biota laut lainnya.

Nelayan perempuan di Kelurahan Airmata, Kota Kupang, bilang kalau dulu mereka bisa dapetin 7-8 ekor lobster sehari. Tapi setelah Seroja, hasil tangkapan mereka turun drastis. Dekan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Wilson Tisera, juga ngebuktiin hal ini. Kata beliau, kalau terumbu karang rusak, otomatis ekosistem di sekitarnya juga terganggu. 

Terumbu karang itu rumahnya. Jika rumahnya rusak, sudah pasti ekosistem di sekitarnya juga akan rusak” – Wilson Tisera 

Selain bencana alam, kenaikan suhu laut juga bikin masalah makin rumit. Terumbu karang jadi stres, alga simbiotik yang kasih warna dan nutrisi buat karang pun lepas. Akibatnya? Karang memutih, mati, dan nggak bisa lagi jadi tempat hidup ikan dan biota laut lainnya. Lama-lama, hasil laut kita bisa makin langka!

Terumbu karang  sangat sensitif dengan perubahan suhu air laut. Kenaikan suhu laut diatas rata-rata dapat menyebabkan pemutihan karang. Pemutihan karang pada dasarnya adalah lepasnya zooxanthellae, alga simbiotik yang memberi warna pada karang sekaligus sumber nutrisi. Apabila karang kehilangan zooxanthellae, maka tidak hanya warna yang hilang tetapi juga nutrisinya sehingga dapat menurunkan kemampuan bertahan hidup terumbu karang. Apabila kondisi ini parah dan berkepanjangan, maka akan berdampak pada keanekaragaman hayati laut dan mengurangi fungsi ekosistem yang bergantung pada terumbu karang.  Terumbu karang merupakan sebuah ekosistem yang menjadi sumber makanan dan perlindungan bagi hewan-hewan laut lainnya. Secara tidak langsung, terumbu karang juga menyediakan sumber pangan laut bagi manusia.

Pemerintah dan Ambisinya

Indonesia itu negara kepulauan, lautnya luas, dan sumber dayanya melimpah. Tapi sayangnya, pembangunan yang ambisius malah bikin masyarakat pesisir makin terpinggirkan. Pemerintah sibuk ngejar industri ekstraktif dan hilirisasi sumber daya alam, tapi lupa buat mikirin dampak jangka panjangnya.

Kasus kayak di Pulau Obi, Maluku Utara, bisa jadi contoh nyata. Eksploitasi besar-besaran bikin ekosistem laut hancur, nelayan tradisional kehilangan mata pencaharian, dan masyarakat lokal harus berjuang lebih keras buat bertahan hidup. Kalau eksploitasi terus jalan tanpa aturan yang jelas, bukan nggak mungkin nanti kita bakal kehilangan “harta karun” laut yang selama ini jadi sumber pangan kita.

Sekarang pertanyaannya, gimana kalau pesisir kita rusak? Kalau ikan makin langka? Kalau suatu hari nanti kita nggak bisa lagi “makan meting” dan menikmati hasil laut seperti dulu? Ini bukan cuma soal nelayan, tapi juga soal masa depan kita semua. Laut harus dijaga, bukan dieksploitasi sampai habis!

Bagaimana jika pesisir kita rusak? bagaimana jika ikan semakin sulit? Bagaimana jika suatu hari nanti kita tidak bisa makan meting lagi? 

Tim Riset dan Penulis : Cristin Ledo, Christa Gabriela, Victory T.E Mallaka dan Miu

Sumber: Pikul.id

Post Related

Scroll to Top