Kedaulatan Pangan NTT: Tantangan, Potensi, Transformasi
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki keragaman konsumsi pangan yang dipengaruhi oleh kondisi geografis, budaya, dan sumber daya alam setempat. Masyarakat NTT mengandalkan berbagai sumber pangan lokal yang khas di setiap daerah, baik itu pangan lokal basis darat maupun pangan laut yang terbukti sejak lama berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian dan ketahanan pangan.
Keragaman pangan lokal di NTT berkaitan erat dengan kerawanan pangan yang disebabkan oleh keterbatasan ketersediaan, daya beli, aksesibilitas, dan ketergantungan pada beras. Ketergantungan ini berdampak buruk pada kedaulatan masyarakat, kedaulatan pangan, ekologi, dan budaya lokal. Untuk mencapai kedaulatan pangan yang berkelanjutan perlu diterapkan pendekatan agroekologi (eco-agriculture) yang memanfaatkan sumber daya lokal, mengurangi input eksternal, dan mengintegrasikan pertanian dengan pendekatan sistem tumpang sari, yang merupakan strategi pertanian yang lebih tangguh, serta menghadapi ancaman perubahan iklim dan harus diprioritaskan dibandingkan monokultur, terutama di daerah seperti NTT.
Salah satu program utama “Dari Ladang dan Lautan: “Efisien, Modern, dan Aman (hilirisasi pangan)” dijalankan oleh Pemerintahan Gubernur dan wakil gubernur 2025-2029, pemerintah baru perlu melihat sejarah panjang program pengembangan pangan di NTT yang menunjukkan banyak kebijakan yang tidak tepat karena tidak mempertimbangkan aspek agroekologi lokal dan pola konsumsi masyarakat serta perubahan iklim. Dari masa kolonial Belanda yang menerapkan gastro kolonialisme hingga program Food Estate yang dipaksakan di lahan kering NTT, banyak kebijakan tidak tepat untuk ketahanan pangan yang berkelanjutan. Selama ini oleh para ahli, food estate dianggap telah melanggar kaidah-kaidah ilmiah, melanggar 4 pilar pengembangan lahan pangan skala besar, terkait tanah dan agroklimat, infrastruktur, budidaya dan teknologi, serta sosial-ekonomi
Ketika program baru hilirisasi “Dari Ladang dan Lautan: Efisien, Modern, dan Aman” tidak dipertimbangkan dengan baik, hilirisasi dapat beresiko memperburuk pola konsumsi pangan, di mana hasil produksi lebih banyak dialokasikan untuk industri dan pariwisata, sementara masyarakat lokal mengalami kesulitan mengakses pangan dengan harga terjangkau. Agar hilirisasi tidak menjadi bumerang bagi ketahanan pangan, perlu ada strategi yang menyeimbangkan aspek industrialisasi dengan pemenuhan kebutuhan pangan lokal.
Baca Memo Kebijakan Memo Kebijakan Untuk Gubernur dan Wakil Gubernur NTT