Dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan di tingkat lokal semakin didorong oleh pemerintah pusat melalui berbagai kebijakan seperti Proyek Strategis Nasional (PSN), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dan destinasi pariwisata super prioritas. Meski bertujuan untuk pemerataan pembangunan, pendekatan ini sering kali bertabrakan dengan konsep ruang yang telah lama dihidupi oleh masyarakat lokal. Ruang tidak lagi dipandang sebagai entitas sosial dan simbolik, melainkan mengalami proses abstraksi menjadi sumber daya yang dapat dieksploitasi demi pertumbuhan ekonomi. Fenomena ini menciptakan apa yang disebut sebagai paradoks kesejahteraan, yakni ketika pembangunan yang dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan justru menciptakan konflik dan perampasan ruang dari masyarakat lokal.
Paradoks ini berakar pada ketidaksepahaman antara pemerintah dan masyarakat dalam memaknai ruang. Bagi pemerintah, ruang merupakan objek yang dapat dikelola dan dimodifikasi demi kepentingan ekonomi dan modernisasi. Sementara itu, bagi masyarakat lokal, ruang memiliki makna spiritual, sosial, dan ekologis yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), masyarakat telah lama membangun relasi dengan alam berdasarkan simbolisasi ruang yang diwariskan secara turun-temurun. Bagi masyarakat adat seperti suku Boti dan Manggarai, alam bukan sekadar lingkungan fisik, tetapi memiliki nilai sakral yang harus dijaga keseimbangannya. Dalam kosmologi masyarakat Boti, bumi (uis pah) dipandang sebagai ibu yang memberi makan dan melindungi manusia. Oleh karena itu, terdapat aturan ketat mengenai pemanfaatan sumber daya alam, termasuk sanksi bagi mereka yang merusak hutan atau mengambil hasil alam secara berlebihan.
Sementara itu, masyarakat Manggarai memiliki kepercayaan bahwa alam dihuni oleh roh penjaga yang memastikan keseimbangan ekologis dan sosial. Hutan, gunung, dan mata air tidak hanya dipandang sebagai aset ekonomi, tetapi juga sebagai entitas yang harus dihormati melalui ritual-ritual adat. Kehadiran proyek pembangunan seperti geothermal di Wae Sano, observatorium Timau, dan eksploitasi sumber daya di Besipae telah mengganggu keseimbangan ini dan memicu resistensi dari masyarakat adat.
Proses pembangunan yang diupayakan oleh pemerintah di ruang lokal, menciptakan apa yang disebut sebagai “frontier-making” yakni bertemunya ide ruang modern dan ide ruang lokal di atas. Jika pertemuan ini terjadi tanpa ada penyelarasan, maka yang terjadi adalah konflik, di mana kedua ide ruang ingin saling menghilangkan. Sering kali, ide dengan kekuatan yang paling besar adalah ide ruang milik pemerintah, dan yang terjadi di kebanyakan tempat adalah penghancuran simbolisasi dan institusi sosial di ruang lama untuk “membuka lahan” bagi ide ruang modern
Untuk menghindari konflik yang terus-menerus terjadi akibat perbedaan pemaknaan ruang, diperlukan strategi penyelarasan antara konsep ruang pemerintah dan ruang lokal masyarakat. Pemerintah harus melibatkan masyarakat lokal secara substantif dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan terkait pembangunan. Bukan sekadar musyawarah formalitas, tetapi keterlibatan yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk menentukan bagaimana ruang mereka akan dikelola. Selain itu, proyek pembangunan harus memperhitungkan nilai-nilai adat dan simbolisasi ruang yang telah lama ada di masyarakat. Ini dapat diwujudkan melalui studi sosial-budaya sebelum proyek dijalankan serta mekanisme perlindungan terhadap situs-situs sakral.
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) harus dilakukan secara komprehensif dan transparan. Tidak hanya mempertimbangkan aspek teknis dan ekonomi, tetapi juga dampak sosial dan ekologis bagi masyarakat yang terdampak. Relasi antara pemerintah dan masyarakat harus bersifat setara agar tidak terjadi dominasi dalam pengambilan keputusan. Mekanisme konsultasi yang deliberatif perlu dikembangkan untuk memastikan masyarakat adat memiliki hak penuh dalam menentukan masa depan ruang mereka.
Di sisi lain, konflik dan gerakan sosial oleh masyarakat lokal juga perlu menjadi perhatian dalam memberi solusi pembangunan lokal yang komprehensif. Gerakan sosial masyarakat lokal seringkali hanya berputar pada tuntutan untuk mengakui hak adat terhadap tanah maupun lahan, yang di mana walaupun ini penting, hal ini tidak akan melahirkan hasil perjuangan yang substantif dan hanya akan memperpanjang konflik tanpa akhir. Hal ini wajar karena pemahaman masyarakat tentang ruang masih simbolik dan mereka tidak melihat pemanfaatan ruang dan alam seperti dalam kacamata pemerintah
Yang perlu dilakukan oleh masyarakat lokal bukan hanya menuntut pengakuan atas ide ruang lokal mereka, tetapi juga menuntut kesetaraan akses pada sumber daya alam mereka, kontrol terhadap ruang sekaligus pemenuhan kebutuhan mereka. Jadi, penyelarasan oleh pihak masyarakat lokal dapat dilakukan dengan menggeser tuntutan dari yang semula ideologis menjadi materialis, agar setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dapat dirasakan manfaatnya secara substantif oleh masyarakat lokal.
Sebagai contoh, dalam pengelolaan kawasan wisata di Labuan Bajo, perlu ada regulasi yang memastikan bahwa masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi tanpa kehilangan hak mereka terhadap ruang adat. Selain itu, pembangunan harus didukung oleh kebijakan yang melindungi masyarakat adat dari eksploitasi yang berlebihan. Regulasi mengenai hak atas tanah adat, pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dan perlindungan terhadap kawasan konservasi harus ditegakkan secara tegas. Dengan demikian, pembangunan dapat benar-benar menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan tanpa mengorbankan identitas dan hak-hak masyarakat lokal.
Paradoks kesejahteraan dalam pembangunan di tingkat lokal tidak hanya disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga oleh perbedaan dalam memaknai ruang. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan yang lebih sensitif dan berimbang dalam mengelola ruang, yang tidak hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menghormati keberlanjutan sosial dan ekologis. Penyelarasan konsep ruang antara pemerintah dan masyarakat lokal menjadi kunci utama dalam menyelesaikan konflik yang muncul akibat pembangunan. Dengan partisipasi aktif, penghormatan terhadap simbolisasi ruang, penerapan kajian lingkungan yang berkeadilan, dan kesetaraan relasi kuasa, pembangunan dapat dilakukan tanpa mengorbankan identitas dan kesejahteraan masyarakat adat. Di sisi lain, masyarakat lokal perlu mengorganisasi diri dengan menyelaraskan pemahaman ruang mereka dengan pemerintah, di mana ruang tidak hanya bisa dimanfaatkan secara simbolik saja, tetapi juga secara materialis seperti cara pemerintah, dengan tetap mengingat nilai-nilai lokal seperti menjaga dan melestarikan alam.
Dengan demikian, pembangunan di NTT dan daerah lainnya dapat berjalan lebih harmonis, tidak lagi menjadi arena benturan antara modernisasi dan tradisi, tetapi sebagai proses yang saling melengkapi demi kesejahteraan bersama.
Referensi
- Gole, H., & Sudhiarsa, R. I. M. (2024). Harmoni Alam dan Spiritualitas: Studi Kepercayaan Orang Manggarai Timur terhadap Roh Alam. Advances In Social Humanities Research, 2(2), 236–249. https://doi.org/10.46799/adv.v2i2.188
- Nope, H. A. (2019). Peran USIF dalam Pengelolaan Lingkungan Alam pada Masyarakat Adat Boti di Pulau Timor. Talenta Conference Series: Local Wisdom, Social, and Arts (LWSA), 2(1), 1–4. https://doi.org/10.32734/lwsa.v2i1.600
- Setiawan, A. (2017). Produksi Ruang Sosial Sebagai Konsep Pengembangan Ruang Perkotaan (Kajian Atas Teori Ruang Henry Lefebvre). Haluan Sastra Budaya, 33(1), 11. https://doi.org/10.20961/hsb.v33i1.4244
- Setiman, O. (2022). KONFLIK TATA KELOLA SUMBER DAYA PANAS BUMI DI DESA WAE SANO, KECAMATAN SANO NGGOANG, KABUPATEN MANGGARAI BARAT. Universitas Nusa Cendana.
- Smith, N. (2008). Uneven Development: Nature, Capital, and the Production of Space. In The University of Georgia Press (Nomor 3). http://scioteca.caf.com/bitstream/handle/123456789/1091/RED2017-Eng-8ene.pdf?sequence=12&isAllowed=y%0Ahttp://dx.doi.org/10.1016/j.regsciurbeco.2008.06.005%0Ahttps://www.researchgate.net/publication/305320484_SISTEM_PEMBETUNGAN_TERPUSAT_STRATEGI_MELESTARI
Kontributor:
Salomo Zakharia Tungga
Mahasiswa S2 Departemen Politik dan Pemerintahan UGM
Email: salomozakhariatungga@mail.ugm.ac.id