Kritik Kebijakan Bahasa Isyarat SIBI: “Bias Kaum Dengar” Bagi Disabilitas Tuli

Pemerintah telah mengamanatkan berbagai kebijakan bagi kelompok disabilitas untuk menjamin hak dan kesempatan yang setara dalam berbagai aspek kehidupan. Kebijakan ini tertuang dalam UU No 8 Tahun 2016 yang menegaskan penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak kelompok disabilitas. Turunan dari kebijakan ini mencakup berbagai peraturan pemerintah dan perpres, seperti PP No 52 Tahun 2019 tentang kesejahteraan sosial bagi disabilitas dan Perpres No 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Namun, kebijakan ini cenderung menyamaratakan seluruh kelompok disabilitas tanpa mempertimbangkan perbedaan kebutuhan mereka.

Dalam implementasi kebijakan, pemerintah lebih menitikberatkan pada peningkatan fasilitas fisik bagi penyandang disabilitas, tetapi sering kali tidak mencerminkan keadilan bagi semua kelompok. Kelompok disabilitas tuli misalnya, menghadapi hambatan komunikasi yang besar. Pemerintah menetapkan Keputusan Kementerian Pendidikan dan Budaya Nomor 0190/P/1994 terkait sistem bahasa isyarat dengan memperkenalkan dua sistem: SIBI (Sistem Bahasa Isyarat Indonesia) yang mengikuti kaidah bahasa Indonesia, dan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) yang berkembang secara alami di komunitas tuli. Sayangnya, SIBI yang diciptakan oleh kaum dengar justru menyulitkan Teman Tuli karena tidak sesuai dengan pola komunikasi alami mereka.

Ketidakadilan linguistik ini menunjukkan bias bahwa Teman Tuli harus menggunakan bahasa yang dirancang oleh kaum dengar agar dapat berkomunikasi (Reagan, 2006). Hal ini selaras dengan konsep hegemoni budaya yang dikemukakan oleh Wahyudin (2020), bahwa kelompok dominan mendefinisikan bahasa sesuai kepentingannya. SIBI hanya diajarkan di SLB, yang tidak semua Teman Tuli dapat mengaksesnya karena kendala dukungan dan biaya. Akibatnya, banyak penyandang tuli tetap terpinggirkan dalam komunikasi dan informasi.

Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt, yang pertama kali diperkenalkan oleh Max Horkheimer, menjadi relevan dalam menganalisis kebijakan ini. Teori ini mengkritik pandangan positivisme tradisional yang melihat manusia sebagai objek pasif dalam sistem sosial. Menurut Horkheimer, masyarakat harus memiliki kesadaran kritis agar dapat mengubah struktur sosial yang menindas. Dalam konteks kebijakan bahasa isyarat, negara mencerminkan dominasi kekuasaan dengan menetapkan SIBI sebagai bahasa isyarat resmi tanpa mempertimbangkan kebutuhan dan aspirasi Teman Tuli. Negara menggunakan kekuatannya untuk menindas kelompok minoritas melalui kebijakan linguistik yang tidak melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan.

Data dari BPS dan Puslatdik Kemendikbud Ristek menunjukkan bahwa 30,7% kelompok disabilitas tidak menamatkan sekolah menengah. Dari jumlah tersebut, banyak Teman Tuli yang tidak mengenyam pendidikan SLB sehingga tidak mengenal SIBI. Padahal, SIBI dirancang dengan struktur tata bahasa Indonesia yang lebih kompleks dan tidak alami bagi mereka. SIBI yang membutuhkan imbuhan dalam bahasa isyarat justru menyulitkan mereka untuk memahami informasi, sehingga berisiko menciptakan “missing information” yang dapat berakibat fatal.

Hegemoni budaya kaum dengar tercermin dalam penggunaan SIBI di berbagai media informasi. Teman Tuli yang tidak memahami SIBI mengalami keterbatasan dalam menerima informasi dari televisi, layanan publik, hingga proses peradilan. Pemerintah mengklaim bahwa SIBI membantu komunikasi yang lebih luas, tetapi faktanya, kebijakan ini hanya menambah kesenjangan bagi Teman Tuli yang lebih terbiasa menggunakan BISINDO. BISINDO adalah bahasa ibu bagi Teman Tuli yang berkembang di lingkungan sosial mereka, tetapi tidak diakui secara resmi dalam sistem pendidikan dan pemerintahan.

Jika kebijakan bahasa isyarat tetap mengabaikan kebutuhan komunitas Tuli, maka dominasi kaum dengar dalam mendefinisikan bahasa akan terus berlanjut. Seperti yang dikatakan oleh Horkheimer, manusia bukanlah objek pasif dalam sistem sosial, melainkan subjek yang memiliki kebebasan untuk mempengaruhi dan mengubah struktur. Oleh karena itu, Teman Tuli harus diakui sebagai subjek aktif dalam menentukan kebijakan bahasa isyarat mereka sendiri.

Pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan SIBI dan membuka ruang dialog dengan komunitas Tuli untuk mencari solusi yang lebih inklusif. Salah satu langkah konkret yang dapat dilakukan adalah menyediakan pelatihan bahasa isyarat BISINDO di setiap daerah dengan melibatkan Teman Tuli sebagai pengajar. Hal ini akan membantu mengurangi kesenjangan komunikasi antara Teman Tuli dan masyarakat umum serta meningkatkan rekognisi budaya Tuli. Selain itu, Teman Tuli dapat dilibatkan dalam produksi konten informasi publik agar bahasa isyarat yang digunakan benar-benar mewakili kebutuhan mereka.

Pemerintah juga dapat memperkuat posisi BISINDO dalam layanan publik dengan menyediakan interpreter BISINDO di rumah sakit, pengadilan, dan layanan administrasi lainnya. Saat ini, kurangnya interpreter BISINDO menyebabkan Teman Tuli Kesulitan dalam mengakses hak-hak dasar mereka. Jika pemerintah mengadopsi pendekatan yang lebih inklusif, maka penyandang tuli akan lebih mudah berpartisipasi dalam kehidupan sosial tanpa harus beradaptasi dengan sistem yang memberatkan mereka.

Dalam komunitas masyarakat, terdapat keinginan untuk memahami dan berkomunikasi dengan Teman Tuli, tetapi keterbatasan dalam memahami bahasa isyarat menjadi kendala utama. Banyak yang beranggapan bahwa pendidikan formal adalah satu-satunya cara bagi Teman Tuli untuk berkomunikasi dengan dunia luar. Namun, pandangan ini didasarkan pada bias kaum dengar yang mengasumsikan bahwa bahasa harus diajarkan di sekolah, padahal bahasa isyarat alami telah berkembang secara mandiri dalam komunitas Tuli.

Jika bias ini terus berlanjut, maka kebijakan yang dihasilkan hanya akan semakin mendiskriminasi kelompok Tuli. Kesadaran akan realitas ini harus dibangun tidak hanya di kalangan pemerintah, tetapi juga dalam komunitas Tuli sendiri. Mereka harus menyadari bahwa mereka bukanlah objek kebijakan, melainkan subjek yang memiliki hak untuk menentukan bahasa dan budaya mereka sendiri. Teman Tuli dapat bergabung dalam komunitas tuli untuk memperjuangkan hak-hak mereka, terutama dalam kebijakan bahasa isyarat.

Sebagaimana dikemukakan oleh Horkheimer, manusia sebagai subjek memiliki potensi kebebasan dan kemampuan untuk mengubah struktur sosial yang menindas. Teman Tuli memiliki hak untuk memperjuangkan pengakuan atas BISINDO dan menolak kebijakan bahasa isyarat yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka. Dengan membangun kesadaran kritis, komunitas Tuli dapat menuntut hak yang lebih adil dalam kebijakan bahasa dan komunikasi.

Kesimpulannya, kebijakan bahasa isyarat yang mengutamakan SIBI mencerminkan bias kaum dengar terhadap Teman Tuli. Dominasi kaum dengar dalam menentukan bahasa isyarat menyebabkan Teman Tuli semakin terpinggirkan dalam akses informasi dan komunikasi. Teori Kritis dari Mazhab Frankfurt membantu menganalisis bagaimana kekuasaan digunakan untuk menindas kelompok minoritas melalui kebijakan linguistik. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengevaluasi kebijakan ini dan lebih melibatkan komunitas Tuli dalam pengambilan keputusan. Dengan mengakui dan memperkuat BISINDO sebagai bahasa isyarat utama, Teman Tuli dapat lebih bebas berekspresi dan berpartisipasi dalam masyarakat tanpa harus tunduk pada sistem yang tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi

Jurnal

  1. Angger, B. (2013). Teori Sosial Kritis; Kritik, Penerapan, dan Implikasinya. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
  2. Anna Kurniawati, A. S. (2021). Teori Kritis dan Dialektika Pencerahan Max Horkheimer.
  3. Fajarni, S. (2022). Teori Kritis Mazhab Frankfurt: Varian Pemikiran 3 (Tiga) Generasi Serta Kritik Terhadap Positivisme, Sosiologi, Dan Masyarakat Modern.
  4. Reagan, T. (2006) Language Policy and Sign Language.
  5. Sholahudin, U. (2020). Membedah Teori Kritis Mazhab Frankfurt.
  6. Sindhunata. (1983). Dilema Usaha Manusia Rasional, Kritik Masyarakat Modern oleh Max Horkheimer dalam Rangka Sekolah Frankfurt. Jakarta: PT Gramedia.
  7. T Handika, R. I. (2018). Gesture recognition for Indonesian Sign Language .
  8. Wahid, A. U. (2019). Paradigma Teori Kritis, Suatu Pengantar Untuk Memahami Sosiologi Kritik. Kendari: Literacy Institute.
  9. Wahyudin, Y. M. (2020). Kekuasaan dalam Relasi Bahasa: Pengalaman Penutur Bahasa Isyarat di Yogyakarta.
  10. Zulpicha, E. (2017). Konflik Kebijakan Penggunaan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia di Lingkungan Pendidikan Formal.

Artikel

  1. Database Peraturan. https://peraturan.bpk.go.id/Details/37251/uu-no-8-tahun-2016
  2. Kompasiana. 2023. Pendidikan Anak Tunarungu (Tuli) di Indonesia: Apakah Sudah Memadai?. Diakses dari https://www.kompasiana.com/laurensiaaptik7925/652e051dee794a5900737232/pendidikan-anak-tunarung-tuli-di-indonesia-apakah-sudah-memadai. Tanggal 05 Desember 2023 18.35 WIB
  3. PUSLAPDIK Kemendikbudristek. 2021. Hari Disabilitas Internasional 2021: Libatkan Penyandang Disabilitas Pasca Covid 19. Diakses dari https://puslapdik.kemdikbud.go.id/hari-disabilitas-internasional-2021-libatkan-penyandang-disabilitas-pascacovid-19/?shem=ssusba. Tanggal 05 Desember 2023, pukul 18.47 WIB
  4. Wandari, Suryani. 2020. 9 Peraturan Turunan UU Penyandang Disabilitas. Diakses dari https://mediaindonesia.com/humaniora/365934/9-peraturan-turunan-uu-penyandang-disabilitas. Tanggal 05 Desember 2023, pukul 17.47 WIB

Kontributor:

Franciska Angelli Tefbana

Email: franciskaangellitefbana@mail.ugm.ac.id

Post Related

Scroll to Top