Krisis iklim menjadi tantangan global yang mengancam kelangsungan hidup manusia. Selain berdampak pada lingkungan, perubahan iklim juga mempengaruhi kehidupan sosial dan ekonomi, terutama bagi kelompok rentan. Salah satu kelompok yang paling terdampak adalah penyandang disabilitas. Namun, meskipun mereka lebih rentan, keterlibatan mereka dalam perencanaan dan implementasi adaptasi iklim masih minim. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim di banyak negara, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, berbagai upaya adaptasi perubahan iklim telah dilakukan melalui kebijakan seperti Peta Jalan Sektoral Perubahan Iklim Indonesia oleh Bappenas, Rencana Aksi Adaptasi Perubahan Iklim (RAN API), serta berbagai peraturan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, beberapa program seperti Desa Tahan Iklim, Kampung Iklim (Proklim), dan Desa Tangguh Bencana (Destana) juga telah diperkenalkan untuk meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim.
Namun, program-program ini masih kurang memperhatikan kebutuhan penyandang disabilitas. Mereka sering hanya dilibatkan di tahap awal atau saat implementasi, tanpa diberikan ruang untuk menentukan apa yang terbaik bagi mereka. Sebuah laporan dari McGill University berjudul Status Report on Disability Inclusion in National Climate Commitments and Policies menganalisis sejauh mana penyandang disabilitas diikutsertakan dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim (API). Dari 192 negara yang meratifikasi Perjanjian Paris, hanya 35 negara yang memasukkan ketentuan pemenuhan kebutuhan disabilitas dalam rencana adaptasi perubahan iklimnya, dan Indonesia tidak termasuk di dalamnya. Bahkan, di negara-negara yang mencantumkan disabilitas dalam kebijakan API, masih belum ada langkah konkret dalam meningkatkan ketahanan dan kapasitas penyandang disabilitas terhadap perubahan iklim.
Ketidakmampuan untuk melibatkan penyandang disabilitas dalam perencanaan adaptasi iklim akan semakin memperburuk kerentanan mereka. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan berbasis komunitas perlu diubah menjadi community-led development, dimana komunitas, termasuk penyandang disabilitas, menjadi aktor utama dalam merencanakan dan mengimplementasikan solusi perubahan iklim. Pendekatan ini memastikan bahwa kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Dari Community-Based Development ke Community-Led Development
Pendekatan yang diterapkan dalam berbagai program adaptasi perubahan iklim di Indonesia umumnya bersifat community-based development, di mana pihak eksternal seperti lembaga pemerintah atau organisasi non-pemerintah berperan sebagai inisiator dan penggerak utama. Dalam pendekatan ini, komunitas sering kali hanya menjadi partisipan pasif tanpa kontrol penuh atas kebijakan yang mempengaruhi mereka.
Akibatnya, banyak program adaptasi yang diluncurkan dengan pendekatan ini tidak mampu memberikan dampak signifikan dalam meningkatkan kapasitas dan ketahanan komunitas terhadap perubahan iklim. Penyandang disabilitas sering kali hanya diikutsertakan dalam tahap pelaksanaan dengan peran yang terbatas. Mereka diberikan arahan tentang apa yang harus dilakukan tanpa kesempatan untuk terlibat dalam perencanaan dan pengambilan keputusan.
Sebagai solusi, pendekatan community-led development harus diterapkan agar penyandang disabilitas dapat berperan aktif dalam perencanaan dan implementasi kebijakan adaptasi perubahan iklim. Dalam pendekatan ini, komunitas tidak hanya menjadi peserta, tetapi juga penggerak utama dalam setiap tahap proses, mulai dari perencanaan, implementasi, evaluasi, hingga identifikasi pembelajaran dari program yang dilakukan. Penyandang disabilitas diberi ruang untuk mengidentifikasi kebutuhan mereka, merancang solusi yang sesuai dengan karakteristik jenis disabilitasnya, serta terlibat langsung dalam eksekusi program.
Selain itu, komunitas penyandang disabilitas dapat menjadi elemen kunci dalam jaringan informasi terkait kebencanaan dan dampak perubahan iklim. Mereka tidak hanya sebagai penerima informasi, tetapi juga sebagai sumber pengetahuan dalam memahami dan merespons risiko serta tantangan perubahan iklim. Pelibatan mereka dalam sistem informasi ini akan memastikan bahwa strategi adaptasi perubahan iklim menjadi lebih inklusif, tepat sasaran, dan efektif.
Meskipun pendekatan community-led development menekankan pemberdayaan komunitas, peran pemerintah tetap penting dalam mendukung kebijakan adaptasi perubahan iklim yang inklusif. Pemerintah harus berperan sebagai exemplar, investor, dan enabler dalam proses ini.
Sebagai contoh, pemerintah harus mengintegrasikan prinsip inklusivitas dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim. Langkah penting adalah memastikan penyandang disabilitas dilibatkan dalam perencanaan, respons darurat, pemulihan, dan pemenuhan kebutuhan dasar mereka dalam menghadapi bencana atau dampak perubahan iklim. Ini harus tercermin dalam kebijakan seperti Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAD API) dan Program Kampung Iklim yang lebih inklusif.
Sebagai investor, pemerintah memiliki tanggung jawab dalam menyediakan pendanaan dan sumber daya yang memadai untuk memastikan program adaptasi perubahan iklim berjalan dengan baik, terutama yang melibatkan penyandang disabilitas. Pemerintah juga dapat membuka akses pembiayaan bagi penelitian yang berfokus pada dampak perubahan iklim terhadap penyandang disabilitas, guna memperdalam pemahaman dan meningkatkan keterlibatan mereka dalam mitigasi dan adaptasi.
Sebagai enabler, pemerintah harus memastikan infrastruktur dan sistem yang ada mendukung partisipasi penuh penyandang disabilitas dalam program adaptasi perubahan iklim. Langkah penting dalam hal ini adalah menyediakan informasi terkait perubahan iklim dalam format yang dapat diakses oleh penyandang disabilitas, seperti teks braille untuk tunanetra, subtitle atau deskripsi audio untuk tunarungu, serta platform digital yang ramah disabilitas. Pemerintah juga perlu menyediakan alat komunikasi bagi penyandang disabilitas intelektual agar mereka dapat memahami isu perubahan iklim dengan lebih baik.
Pemerintah juga harus mempertimbangkan konteks lokal dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim, termasuk pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh komunitas penyandang disabilitas. Keberagaman karakteristik dan kebutuhan mereka harus diperhitungkan agar kebijakan yang dibuat benar-benar inklusif dan efektif.
Kesimpulan
Krisis iklim menimbulkan tantangan besar bagi penyandang disabilitas, namun hingga kini mereka masih minim dilibatkan dalam kebijakan adaptasi perubahan iklim. Pendekatan yang dominan masih bersifat community-based development, di mana aktor eksternal menentukan kebijakan tanpa partisipasi penuh dari komunitas. Hal ini menyebabkan kurangnya kepemilikan kolektif dan rendahnya keterlibatan penyandang disabilitas dalam menghadapi perubahan iklim.
Pendekatan community-led development menawarkan solusi dengan menjadikan penyandang disabilitas sebagai aktor utama dalam perencanaan dan implementasi kebijakan adaptasi perubahan iklim. Dengan pendekatan ini, mereka dapat lebih berdaya dalam menghadapi perubahan iklim, sekaligus memastikan kebijakan yang diambil benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pemerintah memiliki peran penting dalam mendukung pendekatan ini sebagai exemplar, investor, dan enabler. Dengan memastikan inklusivitas dalam kebijakan, menyediakan pendanaan yang memadai, serta membangun infrastruktur yang ramah disabilitas, pemerintah dapat membantu mewujudkan adaptasi perubahan iklim yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kontributor:
Martin Dennise Silaban
Peneliti di SHEEP Indonesia Institute dan Mahasiswa Magister Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, UGM
Email: martindennise5@gmail.com