Jangan Asal Tanam Pohon, Tidak Semua Pohon Cocok untuk Berbagai Jenis Vegetasi

Kita sering mendengar slogan pemerintah saat peringatan Hari Hutan, seperti “Ayo Tanam Pohon!”, “Jangan Biarkan Hutan Mati!”, “Kita Butuh Oksigen!”, dan “Hutan adalah Paru-Paru Dunia!” Namun, sudahkah kita memahami bahwa tidak semua pohon bisa ditanam di sembarang tempat dan sesuai untuk setiap ekosistem di Indonesia?

Indonesia dikenal sebagai negara dengan hutan hujan tropis. Namun, apakah benar seluruh wilayah di Indonesia tergolong hutan hujan tropis?

Klasifikasi Indonesia sebagai Hutan Hujan Tropis telah lama menjadi perdebatan. Meskipun banyak orang menganggap hutan hujan diklasifikasikan berdasarkan total curah hujan, formasi vegetasi tropis sebenarnya lebih dipengaruhi oleh ketersediaan air dalam tanah. Hal ini bergantung pada jumlah dan distribusi curah hujan, jenis tanah, serta topografi. Jumlah bulan kering per tahun, yang menunjukkan tingkat tekanan air ekstrem, menjadi faktor yang sangat penting.

Sistem klasifikasi hutan didasarkan pada ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), jenis tanah, serta ketinggian tempat (Sumber: The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku, Kathryn Mone, et all). 

Klasifikasi hutan dalam buku The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku didasarkan pada dua blok utama hutan hujan tropis di Asia Tenggara yaitu:

  • Daratan Asia Tenggara dan Paparan Sunda
  • Paparan Sahul

Hutan ini sendiri terbagi menjadi hutan pegunungan bawah, pegunungan atas, dan hutan subalpin. Di beberapa pegunungan dalam blok hutan utama, urutan zonasi ini menjadi lebih padat. Fenomena ini disebut Efek Massenerhebung (van Steenis, 1934). Efek Massenerhebung adalah pengaruh panas radiasi pada pegunungan besar.

Tabel 1. 1 

Formasi Hutan di Indonesia

Iklim Ketinggian Jenis Tanah Pengaruh Utama Jenis Hutan Curah Hujan & Musim Kering
Tidak Relevan Permukaan laut Pasir pantai Pengaruh angin laut Hutan pantai Tidak ada
Permukaan laut Tanah rawa Salinitas & genangan air Hutan bakau Tidak ada
Selalu Basah Dataran rendah Gambut & tanah rawa Genangan air Hutan rawa air tawar Tidak ada
Dataran rendah Tanah podsolik Iklim Hutan hujan dataran rendah > 2.000 mm hujan/tahun
Dataran rendah & pegunungan Tanah berbatu & subur Ketinggian & kondisi tanah Hutan pegunungan & montana > 2.000 mm hujan/tahun, 2-4 bulan kering
Iklim Muson Kering Dataran rendah Tanah tropis Iklim muson Hutan gugur & savana < 1.500 mm hujan/tahun, 6-9 bulan kering

*(Sumber: Champion and Seth 1968; Dick 1991; Whitmore 1984). 

Contoh keragaman hutan di Indonesia yang bukan hutan hujan tropis  misalnya bisa dilihat di Pulau Timor di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau Timor memiliki keberagaman vegetasi hutan yang terbentuk sebagai respons terhadap kondisi lingkungan yang khas, seperti musim kemarau panjang, curah hujan yang bervariasi, serta jenis tanah yang beragam. Salah satu jenis vegetasi yang ditemukan adalah Mixed Tropical Monsoon Forest (Hutan Monsun Tropis Campuran), yang terdiri dari berbagai jenis pohon khas daerah tropis yang menggugurkan daunnya saat musim kemarau untuk menghemat air. Hutan ini terletak di bagian tengah dan timur Timor Barat. Dapat ditemukan di sekitar daerah Kefamenanu, Soe, dan beberapa bagian pedalaman dekat perbatasan dengan Timor Leste.

Selain itu, terdapat Eucalyptus urophylla (Ampupu) Forest (Hutan Ampupu), yang didominasi oleh pohon ampupu dan banyak ditemukan di daerah berbukit dengan tanah yang kurang subur. Terutama ditemukan di daerah pegunungan bagian tengah dan timur pulau. Area spesifik: Pegunungan sekitar Soe, wilayah perbukitan di selatan Kefamenanu, dan beberapa daerah di sekitar Belu. Wilayah pegunungan utama terdapat di bagian tengah pulau, dengan dataran tinggi seperti sekitar Soe dan Kefamenanu, yang memang memiliki elevasi lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya.

Pegunungan di Timor Barat tidak setinggi pegunungan di wilayah lain di Indonesia, tetapi lebih berupa perbukitan dan dataran tinggi yang mendukung jenis vegetasi tertentu seperti Eucalyptus urophylla (Ampupu) forest.

Jenis vegetasi lain adalah Mangrove Forest (Hutan Mangrove) yang tumbuh di wilayah pesisir dan berfungsi sebagai pelindung alami terhadap abrasi serta habitat bagi berbagai spesies hewan laut. Berada di sepanjang garis pantai, khususnya di teluk dan muara sungai. Area spesifik: Teluk Kupang, pesisir sekitar Kupang, dan beberapa bagian timur dekat Besikama.

Selain hutan yang lebih lebat, terdapat juga Brush and Scattered Forest (Hutan Semak dan Hutan Tersebar), yang merupakan vegetasi semak belukar yang tumbuh menyebar di lahan kering. Brush and Scattered Forest sering kali mengalami degradasi hutan akibat aktivitas manusia seperti penebangan liar atau kebakaran. Hutan ini Menyebar di berbagai zona peralihan antara hutan monsun dan sabana. Terutama ditemukan di bagian barat Kupang dan sekitar daerah pegunungan di perbatasan Nusa Tenggara Timur dan Timor Leste.

Pulau Timor, Pulau Rote dan Pulau Sabu juga memiliki Palm Savanna (Savanna Palem), yang didominasi oleh pohon-pohon palem seperti lontar (Borassus flabellifer) yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat setempat. 

Vegetasi lain yang juga ditemukan adalah Forest Savanna (Savana Hutan), yang merupakan peralihan antara hutan dan savana dengan campuran pohon keras dan padang rumput. Dapat ditemukan di bagian timur laut dan tengah pulau. Wilayah spesifik: Sekitar Atambua, pedalaman di sekitar WINI, dan beberapa bagian di timur Kefamenanu.

Terakhir, terdapat Open Savanna (Savana Terbuka), yang sebagian besar terdiri dari padang rumput dengan sedikit atau tanpa keberadaan pohon besar, sering digunakan untuk penggembalaan ternak. Menutupi sebagian besar Timor Barat, terutama di daerah yang lebih kering. Lokasi utama: Sebagian besar wilayah sekitar Kupang, Atambua, Lelogama,  bagian barat daya menuju Besikama, dan daerah sepanjang perbatasan dengan Timor Leste.

Memahami keberagaman ekosistem hutan sangat penting dalam kebijakan konservasi dan pengelolaan lahan. Namun, masih banyak kasus yang menunjukkan bahwa prinsip ini belum diterapkan dengan baik. Salah satu contohnya adalah perusakan hutan adat di Kabupaten Boven Digoel pada tahun 2019 akibat proyek perkebunan kelapa sawit yang mengancam keberlanjutan ekosistem serta kehidupan masyarakat adat setempat.

Permasalahan ini mendapat perhatian luas dari masyarakat Indonesia, terutama setelah kampanye All Eyes on Papua mencuat. Kampanye ini berfokus pada upaya menghentikan proyek perkebunan kelapa sawit seluas 36.094 hektare oleh PT Indo Asiana Lestari (IAL). Suku Awyu dan Woro, yang menggantungkan hidup pada hutan, menentang proyek ini karena berpotensi merusak ekosistem lokal serta menggusur mereka dari tanah adat yang diwarisi secara turun-temurun.

Suku Awyu merupakan salah satu dari ratusan kelompok suku di Papua yang tersebar di Kabupaten Mappi dan Boven Digoel, Provinsi Papua Selatan. Sementara itu, Suku Woro adalah salah satu marga dari suku Awyu. Sebagai masyarakat adat, mereka memiliki hubungan erat dengan hutan yang menjadi sumber utama kehidupan mereka, baik untuk pangan, obat-obatan, maupun bahan bangunan (Sumber: Greenpeace Indonesia, Kisah Masyarakat Awyu Menggugat Negara Mempertahankan Hutan Adat). 

Salah satu permasalahan utama dalam proyek ini adalah tidak adanya partisipasi masyarakat adat dalam proses perizinan. Dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura, saksi dari Suku Awyu menyatakan bahwa mereka tidak pernah diberikan informasi maupun dilibatkan dalam proses tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa izin lingkungan dikeluarkan tanpa mempertimbangkan hak-hak masyarakat adat yang seharusnya dilindungi oleh hukum.

Dalam persidangan, dua perwakilan masyarakat Awyu, Gregorius Yame dan Hendrikus Woro, hadir sebagai saksi dengan mengenakan pakaian adat serta membawa berbagai hasil hutan seperti sagu, cawat, motu (tas adat dari kulit kayu), dan pelepah nibung. Benda-benda ini menjadi bukti bahwa keberadaan hutan sangat penting bagi kehidupan sehari-hari masyarakat Awyu. Hendrikus Woro menjelaskan bahwa satu pohon nibung saja memiliki banyak kegunaan, pelepahnya bisa dijadikan tikar, pucuknya dapat diolah menjadi sayur dan garam Papua, isi batangnya berkhasiat sebagai obat batuk, sementara batang dan daunnya digunakan untuk membangun rumah dan bivak (Sumber: Greenpeace Indonesia, Satu Nibung Beragam Fungsi: Kesaksian Suku Awyu di Sidang Gugatan Perusahaan Sawit). 

Kabupaten Boven Digoel sendiri memiliki hutan yang luas dan masih utuh, termasuk dalam kategori hutan dataran rendah serta hutan peralihan antara dataran rendah dan dataran tinggi. Keanekaragaman ekosistemnya sangat kaya, bahkan menjadi habitat bagi berbagai jenis burung endemik Papua yang terancam punah. Oleh karena itu, upaya pelestarian hutan di wilayah ini tidak hanya penting bagi masyarakat adat, tetapi juga bagi keberlanjutan lingkungan secara keseluruhan (Sumber: Lestari Indonesia, Penilaian Awal Konservasi Tinggi Kabupaten Boven Digoel).

Menanggapi isu ini, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo yang juga adik dari Presiden Prabowo Subianto menyampaikan keterangannya kepada Tempo. Ia membantah adanya deforestasi seperti yang diberitakan dan menegaskan bahwa lahan yang digunakan merupakan lahan kosong tanpa kayu dan bukan kawasan hutan.

“Kawasan yang digunakan di Papua Selatan itu dimulai dengan 60 persen lahan kosong. Tidak ada kayu, tidak ada hutan. Maka deforestasi tidak sebesar itu,” tegasnya kepada Tempo.

(Sumber: Tempo, Hashim Bantah Deforestasi Besar-besaran di Food Estate Papua: 60 Persen Lahan Kosong).

Pernyataan ini menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai jenis-jenis vegetasi hutan di Indonesia, termasuk berbagai jenis savana dan belukar yang juga masuk dalam kategori vegetasi hutan. Vegetasi asli di Papua, seperti hutan musim (Monsoon Forest) di Merauke, memiliki sistem ekologis yang unik dan tidak cocok untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. 

(Sumber: Yosefina Mangera, Analisis Vegetasi Jenis Pohon di Kawasan Hutan Kampung Wasur pada Taman Nasional Wasur Distrik Merauke, Kabupaten Merauke).

Hingga saat ini, perjuangan masyarakat adat terus berlanjut. Pada Mei 2024, suku Awyu dan Moi menggelar aksi damai di depan Mahkamah Agung, berharap agar izin perusahaan sawit dibatalkan dan hak-hak mereka atas hutan adat diakui. Kasus ini mencerminkan tantangan besar dalam perlindungan hutan adat di Indonesia serta pentingnya memastikan bahwa kebijakan konservasi dan pengelolaan lahan mempertimbangkan ekosistem lokal serta hak masyarakat adat.

 (Sumber: Tempo, Kisruh Pembabatan Hutan Adat Boven Digoel).

Hutan di kawasan Indonesia Timur tidak selalu seperti yang dibayangkan oleh masyarakat Indonesia dan dunia pada umumnya. Hutan di Indonesia Timur tidak  selalu identik dengan hutan lebat. Beragamnya jenis hutan pada wilayah ini menunjukkan pentingnya melakukan konservasi sesuai dengan ekosistem.. Jika penanaman dilakukan tanpa mempertimbangkan kesesuaian ekosistem, keseimbangan lingkungan dapat terganggu. Untuk itu, kebijakan konservasi dan pengelolaan lahan harus memperhatikan ekosistem lokal serta hak masyarakat adat.

Selain itu, peningkatan akses legal bagi masyarakat desa hutan harus menjadi perhatian utama dalam upaya perlindungan hutan (Sumber: IBSAP, 2025-2045).

Referensi:

  1. Champion and Seth. (1968). Forest Types of India.
  2. Dick, J. (1991). Forest Ecology and Conservation in Tropical Asia.
  3. Greenpeace Indonesia. (2023). Kisah Masyarakat Awyu Menggugat Negara Mempertahankan Hutan Adat. Diakses dari https://www.greenpeace.org
  4. Greenpeace Indonesia. (2023). Satu Nibung Beragam Fungsi: Kesaksian Suku Awyu di Sidang Gugatan Perusahaan Sawit. Diakses dari https://www.greenpeace.org
  5. IBSAP (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan). (2025-2045). Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia.
  6. Kathryn Mone, et al. The Ecology of Nusa Tenggara and Maluku.
  7. Lestari Indonesia. (2023). Penilaian Awal Konservasi Tinggi Kabupaten Boven Digoel. Diakses dari https://lestari-indonesia.org
  8. Tempo. (2024). Hashim Bantah Deforestasi Besar-besaran di Food Estate Papua: 60 Persen Lahan Kosong.
  9. Tempo. (2024). Kisruh Pembabatan Hutan Adat Boven Digoel.
  10. Van Steenis, C.G.G.J. (1934). Massenerhebung Effect in Tropical Montane Forests.
  11. Whitmore, T.C. (1984). Tropical Rain Forests of the Far East.
  12. Yosefina Mangera. (2024). Analisis Vegetasi Jenis Pohon di Kawasan Hutan Kampung Wasur pada Taman Nasional Wasur Distrik Merauke, Kabupaten Merauke.

 

Post Related

Scroll to Top