Perubahan iklim berdampak besar pada berbagai sektor kehidupan, termasuk perempuan. Meskipun laki-laki juga terdampak, perempuan menghadapi tantangan tambahan akibat keterbatasan akses terhadap sumber daya dan pengambilan keputusan. Ketidakadilan ini sering kali berakar pada struktur sosial, ekonomi, dan budaya (Sumber: United Nations, Women in The Shadow of Climate Change).
Namun, di tengah keterbatasan tersebut, para perempuan adat ini membuktikan mereka adalah penjaga bumi. Dengan pengetahuan lokal, mereka memimpin upaya pelestarian lingkungan yang berkelanjutan.
Bagian 1: Perempuan Adat Pembaca Tanda Alam
Ina Ke’bba, sapaan akrab Magdalena Leba Piga, lahir di Desa Eilogo, Liae, Kabupaten Sabu Raijua, merupakan salah satu tokoh perempuan yang berperan dalam pelestarian alam di tengah ketidakadilan iklim. Sehari-hari, ia mengurus rumah tangga, tetapi di balik tugas tersebut, ia juga bertani saat musim hujan serta memasak nira ketika musimnya tiba *(Sumber: SkolMus, Profil Magdalena Leba Piga).
Sebagai bagian dari masyarakat adat, Ina Ke’bba tetap disiplin menjalankan tradisi musim adat di Desa Eilogo, salah satunya adalah Kei Rao atau Musim Gali Tungku. Bersama suaminya, ia aktif dalam pembuatan gula lontar, yang dalam bahasa setempat disebut Donahu.
Saat musim kemarau, ia mencari rumput laut yang terlepas dari tali, mengeringkannya, dan menjualnya kepada pengepul. Namun, setelah Siklon Tropis Seroja melanda Nusa Tenggara Timur pada 2021, banyak sumber penghidupan masyarakat, termasuk rumput laut, mengalami kerusakan. Akibatnya, harga rumput laut merosot tajam dan tidak lagi menjadi sumber penghasilan yang dapat diandalkan. Pada 2022–2023, Ina Ke’bba beralih mencari nafkah dengan mengumpulkan biji legundi, yang dijual dalam kondisi kering dengan harga Rp8.000 per kilogram.
Berdasarkan wawancara dengan Ina Ke’bba, seluruh warga Desa Eilogo masih memegang kepercayaan adat untuk tetap menanam saat musim tanam.
“Kami semua masih menanam saat musim tanam, kami memiliki kalender musim sendiri,” jelas Ina Ke’bba.
Ina Ke’bba tetap mempertahankan cara menanam tradisional yang berlandaskan kepercayaan adatnya. Ia masih menghafal prosedur dalam Kalender Tanam Tradisional.
“Saya masih mengandalkan alam untuk membaca musim,” ujarnya.
Kalender Adat Jingitiu merupakan penanggalan tradisional masyarakat Desa Eilogo yang mengatur berbagai aktivitas pertanian dan ritual adat. Tahun dimulai pada Juli, yang dianggap sebagai awal bulan dalam kalender ini. Pada Agustus hingga Oktober, masyarakat menjalankan tradisi Kelila Wadu, Panarau/Uruhogo, dan Pagarae. Pagarae adalah pengambilan batu karang di dasar laut untuk kapur sirih pinang.
Memasuki bulan November, kegiatan tanam-menanam dimulai. Ditandai dengan pembersihan lahan, di mana seluruh warga wajib bertanam, dilanjutkan dengan penanaman bibit kacang hijau dan sorgum pada akhir Desember hingga awal Januari.
Pada pertengahan Januari, warga melakukan Balik Tanah (mencabut rumput) di area lahan kacang hijau dan sorgum, sementara Februari ditandai dengan Weru Nyalewolara. Pada bulan sabit ke-5, setelah kacang hijau dapat dipanen, Deo Rai akan memetik hasil panen pertama sebelum panen massal, dan pada bulan sabit ke-7, masyarakat melaksanakan Ngaa Nyale serta Malam Putri Nyale. Maret menjadi waktu memasak kacang dengan gula Sabu dalam upacara khusus yang akan dipersembahkan di rumah adat (Kelaga).
Di Desa Eilogo, keputusan waktu tanam sepenuhnya bergantung pada Deo Rai, ketua adat yang membaca tanda-tanda alam seperti posisi bulan dan kondisi lingkungan. Pendekatan ini mencerminkan bagaimana kearifan lokal tetap menjadi panduan utama masyarakat meskipun informasi prakiraan cuaca modern sudah tersedia.
April dimulai dengan Penggaliwugopo, sebuah ritual perang khusus untuk Suku Gopo, serta Pekireihi (Pacuan Kuda). Saat bulan purnama pertama bulan Mei, masyarakat melaksanakan berbagai ritual seperti Penggaliwu, Padoa, dan Ngaa Hole, yang ditandai dengan taji ayam serta pacuan kuda sebagai penanda Tahun Baru.
Pada bulan keenam atau Bulan Juni, yang disebut bulan tunggal, tidak ada aktivitas pertanian karena sudah memasuki musim kemarau. Kegiatan utama masyarakat hanya memasak gula dan menyiram tanaman dengan air sumur untuk menjaga keberlangsungan tanaman yang masih bertahan. *(Sumber: Wawancara Magdalena Leba Piga, 2025).
Ina Ke’bba juga menambahkan masyarakat Eilogo punya tanaman yang harus ditanam setiap tahunnya yaitu Kacang Hijau dan Sorgum.
“Kami masyarakat Eilogo sejak nenek moyang kami menanam Kacang Hijau dan Sorgum, ada perkataan dari nenek moyang kami yang tetap saya pertahankan hingga kini yaitu Walaupun lahan yang digunakan tidak luas, hasil panen tetap melimpah,” kata Ina Ke’bba dalam wawancara.
Pada 2023–2024, ketika kemarau panjang dan gagal panen melanda desa, ia tetap tangguh dan berinisiatif membuat pagar gizi bagi lansia di dusunnya *(Sumber: SkolMus, Profil Magdalena Leba Piga).
Ina Ke’bba memimpin inisiatif penanaman kacang hijau untuk menyelamatkan benih yang gagal tanam saat musim Ku’dja Ae atau tanam serempak. Tanaman ini memiliki nilai penting dalam adat Liae dan digunakan dalam berbagai upacara tradisional.
Dalam proses bertani, Ina Ke’bba dan perempuan – perempuan di desa Eilogo berperan dalam membuat pagar untuk melindungi tanaman serta mengambil air dari sumur untuk menyiram tanaman. Penyimpanan benih untuk musim tanam berikutnya dilakukan dengan cara tradisional yaitu dengan mengupas kulit, mengambil biji, menjemur hingga kering, lalu menyimpannya dalam jerigen (Sumber: FPRB NTT, Forum Belajar Ketangguhan Seri 1-2025).
Bagian II
Kebang Lewa Lolon: Konservasi Berbasis Kearifan Lokal
Veronika Lamahoda, atau yang akrab disapa Mama Vero, adalah tokoh sentral dalam upaya konservasi laut berbasis kearifan lokal di wilayah Flores Timur. Sejak tahun 2016, ia telah menyoroti tingginya frekuensi aktivitas perusakan ekosistem laut di wilayah selatan Pulau Solor, khususnya melalui praktek penangkapan ikan menggunakan bom yang terjadi hingga 60 kali dalam sehari. Kesadaran akan dampak destruktif dari aktivitas tersebut mendorongnya untuk merancang solusi yang berakar pada budaya lokal, sehingga lahirlah konsep “Kebang Lewa Lolon.”
Terinspirasi dari sistem lumbung pangan masyarakat Lamaholot, Mama Vero mengadaptasi konsep ini ke dalam ekosistem laut. “Kebang Lewa Lolon,” yang berarti “lumbung di atas laut,” bertujuan untuk menjaga keberlanjutan sumber daya laut dengan membagi wilayah konservasi menjadi beberapa zona pengelolaan (Sumber: PIKUL, Catatan Lapangan YTIB).
Sumber : Yayasan Tanah Ile Boleng, 2024.
Gambar 2. Sketsa Pesisir Desa Bubu Atagamu
Untuk memvisualisasikan penerapan Kebang Lewa Lolon, Yayasan Tanah Ile Boleng (YTIB) membuat sketsa pantai Desa Bubu Atagamu. Sketsa ini menggambarkan zonasi wilayah pesisir dan laut untuk mendukung pengelolaan Kebang Lewa Lolon. Sketsa memperlihatkan pembagian wilayah ke dalam beberapa zona utama, yaitu Zona Inti, Zona Pemanfaatan Berkelanjutan, dan Daerah Buka-Tutup.
- Zona Inti (berwarna biru tua) berfungsi sebagai kawasan perlindungan penuh untuk menjaga ekosistem terumbu karang dan biota laut. Zona ini tertutup bagi segala bentuk eksploitasi sumber daya.
- Zona Pemanfaatan Berkelanjutan (berwarna kuning) memperbolehkan aktivitas perikanan ramah lingkungan yang tetap menjaga keseimbangan ekosistem.
- Daerah Buka-Tutup, yang berada di dekat garis pantai, memungkinkan pemanfaatan sumber daya laut pada waktu tertentu sesuai kesepakatan adat atau peraturan konservasi.
Selain zonasi laut, sketsa ini juga menampilkan elemen penting lain seperti wilayah vegetasi di daratan (berwarna hijau) serta batas desa (ditandai garis merah). Sketsa ini menjadi alat edukasi bagi masyarakat dalam memahami tata kelola Kebang Lewa Lolon.
Ancaman terhadap ekosistem pesisir tidak hanya berasal dari praktik pemboman ikan, tetapi juga dari penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti pukat harimau, eksploitasi berlebihan terhadap gurita, serta penangkapan spesies laut yang dilindungi seperti ikan Napoleon dan siput batu laga. Upaya restorasi terumbu karang pernah dilakukan dengan menempatkan tiga juta terumbu buatan pada 2018–2019, tetapi dampaknya masih terbatas akibat kerusakan yang sudah berlangsung lama.
Selain itu, abrasi pantai akibat pengambilan material batu dan pasir untuk konstruksi serta pembuangan sampah semakin memperparah kondisi lingkungan. Lemahnya pengawasan dan buruknya tata kelola sumber daya pesisir menyebabkan degradasi habitat laut yang berdampak langsung pada nelayan tradisional. Pada 2016, rata-rata pendapatan harian mereka hanya berkisar Rp 10.000–Rp 30.000.
Melalui “Kebang Lewa Lolon,” Mama Vero dan masyarakat setempat berupaya memulihkan keseimbangan ekosistem laut dengan menerapkan pengelolaan berbasis komunitas. Dengan pendekatan ini, masyarakat tidak hanya bertanggung jawab atas pemanfaatan sumber daya laut, tetapi juga berperan aktif dalam perlindungan dan pemulihannya demi kesejahteraan generasi mendatang (Sumber: PIKUL, Catatan Lapangan YTIB).
Peran perempuan menjadi sangat penting. Sebagai penjaga tradisi lumbung pangan, perempuan diberdayakan untuk menjadi bagian utama dalam pengelolaan “Kebang Lewa Lolon.” Mama Vero memastikan bahwa perempuan memiliki peran strategis dalam pengambilan keputusan serta pelaksanaan program konservasi ini. Selain itu, lembaga adat setempat juga dilibatkan dalam menetapkan aturan dan sanksi adat bagi mereka yang melanggar ketentuan konservasi.
Meskipun konsep ini mendapat dukungan dari banyak pihak, pelaksanaannya tidak lepas dari tantangan. Salah satu hambatan utama adalah resistensi dari sebagian komunitas adat yang masih lebih berorientasi pada eksploitasi sumber daya dibandingkan pelestariannya. Selain itu, belum adanya sanksi adat yang diterapkan secara luas menjadi kendala dalam memastikan kepatuhan masyarakat terhadap aturan konservasi. Peran kepala adat atau “Koten” sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan implementasi program ini.
Pemerintah desa juga belum sepenuhnya memberikan ruang bagi implementasi konsep ini, dengan berbagai alasan yang sering kali tidak jelas. Proses penyusunan peraturan desa (perdes) yang seharusnya menjadi landasan hukum bagi program ini memerlukan waktu yang panjang, sehingga Mama Vero dan timnya harus terus melakukan advokasi dan negosiasi agar kebijakan ini dapat diterapkan lebih luas.
Terlepas dari berbagai tantangan, dampak positif dari “Kebang Lewa Lolon” mulai dirasakan. Dengan adanya pengelolaan berbasis zonasi dan larangan aktivitas destruktif di kawasan konservasi, populasi ikan mulai meningkat. Nelayan tradisional yang sebelumnya hanya mendapatkan penghasilan Rp50.000-Rp75.000 per hari di tahun 2019, kini mengalami peningkatan hingga Rp75.000-Rp150.000 pada tahun 2020-2021, bahkan mencapai Rp200.000-Rp250.000 pada tahun 2023 bagi mereka yang rajin melaut.
Perempuan dan Ketahanan Lingkungan
Kisah Ina Ke’bba dan Mama Vero adalah bukti nyata bahwa perempuan berada di garis depan perjuangan melawan krisis iklim melalui pelestarian berbasis kearifan lokal. Mereka tidak hanya menjaga tradisi tetapi juga beradaptasi dengan perubahan zaman untuk melindungi sumber daya alam demi generasi mendatang.
Namun, upaya mereka membutuhkan dukungan struktural yang lebih kuat, baik melalui kebijakan pemerintah maupun kolaborasi dengan berbagai pihak. Dengan memberdayakan perempuan sebagai penjaga bumi, kita tidak hanya melestarikan lingkungan tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.
Referensi
- FPRB NTT. (2025). Forum belajar ketangguhan seri 1-2025.
- Hunga, I., & Candraningrum, D. (2017). Ekofeminisme IV (Tanah, air, dan rahim rumah). Salatiga: Parahita Press.
- PIKUL. (2024). Catatan lapangan YTIB.
- SkolMus. (2025). Profil Magdalena Leba Piga.
- United Nations. (2009). Women in the shadow of climate change.
- PIKUL. (2025). Wawancara Magdalena Leba Piga.