Bukan Sekadar Hutan: Mengkritisi Bias “Hutan-Sentris” dalam Kebijakan Konservasi Iklim Indonesia

Ditengah narasi penyelamatan bumi dari krisis iklim, Indonesia seringkali disebut sebagai paru-paru dunia. Namun, dalam praktiknya kebijakan mitigasi iklim Indonesia masih menunjukan bias yang mengkhawatirkan, yakni pendekatan yang terlalu fokus pada kawasan hutan belantara atau disebut sebagai hutan sentris.

Seringkali kita lupa bahwa tidak semua krisis ekologi terjadi di “hutan”, ada juga ekosistem seperti savana, pesisir, lahan basah ataupun wilayah urban yang memegang peran krusial dalam menghadapi krisis iklim. Jika zona hijau selalu menjadi center dalam krisis iklim maka kita justru menciptakan ketimpangan konservasi yang tidak menjawab kompleksitas masalah  lingkungan hari ini. Padahal, dokumen strategis nasional seperti Indonesia Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2025–2045 secara eksplisit menegaskan pentingnya melindungi keragaman ekosistem yang tidak hanya hutan tropis, tetapi juga ekosistem non-hutan yang sama pentingnya bagi ketahanan iklim dan keanekaragaman hayati. IBSAP menyebut bahwa Indonesia memiliki setidaknya 22 tipe ekosistem alami, yang mencakup lanskap seperti pesisir, lahan gambut, karst, sungai, dan savana menunjukkan perlunya perlindungan menyeluruh terhadap seluruh ragam ekosistem alami kita.

Banyak kebijakan iklim nasional seperti strategi Nationally Determined Contribution (NDC) yang lebih mengutamakan konservasi kawasan hutan tropis dan reforestasi sebagai jalan utama dalam penurunan emisi. Hal ini memang penting, tapi yang menjadi masalah ketika seluruh logika konservasi dibangun diatas anggapan bahwa hutan adalah satu-satunya “alat ukur” karbon.

Sebagai contoh di kawasan savana di Nusa Tenggara Timur, yang kerap dilabeli sebagai lahan marginal. Meskipun secara visual tidak hijau lebat, wilayah ini seringkali menyimpan keragaman hayati unik dan memiliki peran penting sebagai penyangga iklim mikro dan sistem air lokal. Mirisnya, kawasan seperti ini seringkali dianggap terpinggirkan dari skema REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and forest Degradation adalah program global yang dibuat oleh PBB (UNFCCC) untuk membantu negara-negara berkembang mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara melindungi hutan), perencanaan restorasi atau bantuan konservasi. Juga masyarakat lokal yang hidup di kawasan non hutan jarang dilibatkan dalam diskusi kebijakan perubahan iklim, seolah kontribusi mereka tidak cukup “hijau” untuk masuk dalam hitungan karbon. Sebagai contoh di wilayah China Barat Daya sabana Yuanjiang di menunjukkan potensi penyerapan karbon sebesar 1,30 ton C per hektar per tahun, dengan efisiensi karbon (CUE) yang melampaui rerata hutan global. Temuan ini menunjukkan bahwa sabana bukanlah lanskap ‘kosong’ dalam mitigasi iklim ekosistem strategis yang selama ini terabaikan karena bias ‘hutan-sentris’

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab bias ini : 

  1. Narasi Internasional yang seringkali menaruh nilai ekonomi tinggi pada hutan tropis sebagai penyerap karbon
  2. Skema pasar karbon yang lebih mudah diterapkan pada kawasan hutan
  3. Keterbatasan data ilmiah tentang kontribusi non-hutan dalam menyerap karbon

Akibatnya, kebijakan nasional turut memproduksi bias yang sama, menyederhanakan pendekatan mitigasi dan menjadikan hutan sebagai titik sentral tanpa mempertimbangkan ekologi lain yang juga rentan.  

Kita membutuhkan pendekatan konservasi yang lebih adil dan menyeluruh, yang ekologis dari semua lanskap, termasuk yang tidak “hijau”, tidak hanya menghitung nilai karbon tetapi juga mempertimbangkan nilai sosial dan budaya  

Nilai Sosial (padang savanah). Digunakan masyarakat untuk penggembalaan ternak   secara komunal (sistem so’e)

  • Tempat pertukaran sosial dan ekonomi (pasar ternak, ritual penggembalaan tahunan).
  • Sumber pakan dan obat-obatan tradisional dari rerumputan dan tumbuhan liar.

Nilai Budaya

  • Banyak wilayah savana digunakan dalam ritual adat pemanggilan hujan, atau tempat sakral untuk kedoa (doa adat). (Lahan kering di Sumba/Timor)
  • Di beberapa kampung di Alor dan Flores, ritual adat “tamu air” dilakukan saat musim kering sebagai bentuk rekonsiliasi manusia-alam. (Rawa dan mata air)

Nilai Ekologis

  • Mengontrol erosi tanah di wilayah berangin atau berbukit curam.
  • Menjadi habitat penting spesies langka, seperti burung maleo (Sulawesi), kakatua jambul kuning (Timor), dan rusa timor.

Menyelamatkan bumi bukan hanya soal kita menanam pohon di hutan, tapi juga tentang merawat relasi manusia dengan seluruh bentang alam yang ada, dari sabana yg gersang hingga pesisir yang rapuh. Menuju strategi konservasi yg adil dan menyeluruh, membutuhkan 3 langkah konkret paradigma → kebijakan → pendanaan. :

  1. Perlu memperluas definisi kawasan konservasi dalam kebijakan iklim, tidak hanya berfokus pada hutan tropis tetapi juga memasukkan ekosistem seperti savana, lahan kering dan padang rumput dalam skema mitigasi berbasis lahan. Selama ini, kerangka hukum nasional masih merujuk pada UU KSDAHE 1990 yang mendefinisikan konservasi terbatas pada kawasan hutan dan cagar tertentu. Meskipun UU tersebut telah direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2024 dan memang memperluas cakupan hingga mencakup kawasan pesisir dan perairan, revisi ini masih belum secara eksplisit menempatkan ekosistem non-hutan daratan sebagai bagian strategis konservasi. Akibatnya, lanskap non-hutan kerap terpinggirkan. Padahal, dokumen IBSAP 2025–2045 sudah mengakui 22 tipe ekosistem alami yang harus dilindungi. Kritik akademis pun menekankan bahwa kerangka konservasi berbasis ecosystem services terlalu sempit, sehingga perlu bergeser ke paradigma yang lebih plural yang mengakui nilai ekologis, sosial, budaya, dan spiritual dari seluruh lanskap.
  2. Kita perlu mengubah cara berpikir tentang lanskap, dari yang selama ini dilihat sekadar dari tutupan hijau (green cover) menjadi pemahaman yang utuh tentang fungsi ekologis dan hubungan sosial budaya yang terbangun di dalamnya.
  3. Perlu ada mekanisme insentif khusus untuk restorasi ekosistem non-hutan, seperti pemulihan padang savana yang terdegradasi, rehabilitasi lahan pesisir, atau perlindungan sumber air di kawasan gersang. Ini bisa dilakukan lewat integrasi program adaptasi berbasis komunitas dan dana iklim daerah.

Saatnya kita keluar dari bias “hutan sentris” dan membangun strategi iklim yang betul-betul inklusif.

 

Referensi :

  • Kerangka Kebijakan & Dokumen Nasional
  • Data & Studi Ekosistem Non-Hutan
  • Chen, S., Zhou, G., & Zhang, D. (2019). Carbon storage and sequestration potential in the Yuanjiang savanna ecosystem, Southwest China. Journal of Environmental Management, 240, 231–239. 

 

  1. Kritik Akademis terhadap Pendekatan “Ecosystem Services”

Kuswardono, T. (2024). Rethinking human–nature relationships: From ecosystem services to pluriverse. Yayasan Pikul.

Post Related

Scroll to Top