Oleh: Yurgen Nubatonis*
Ditulis ulang dari dari sumber pertama: http://satutimor.com/kami-tidak-makan-makanan-ternak.php
“Ratusan Warga Makan Makanan Ternak”, demikian judul berita yang dimuat portal berita online kompas.com tanggal 18 Juni 2015 (http://regional.kompas.com/read/2015/05/02/08240301/). Dalam berita-berita terkait yang ditulis mediayang sama juga diceritakan bagaimana Presiden Republik Indonesia kemudian mengutus Menteri Sosial untuk mengunjungi warga di Kecamatan Kualin dan Amanuban Selatan Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) didampingi Gubernur Nusa Tenggara Timur lalu memberikan bantuan berupa beras dan mie (http://regional.kompas.com/read/2015/06/18/01032251/). Sebagai orang yang sejak kecil mengkonsumsi bahan yang disebut pakan ternak tersebut, saya merasa ada yang keliru tentang konsep pangan yang dimiliki oleh DPRD NTT yang diwakili oleh salah satu anggotanya, Jefry Un Banunaek dan media dalam hal ini Sigiranus Marutho Bere, wartawan yang menulis berita tersebut.
Membakar akar bilan
Kekeliruan pertama yang dilakukan adalah dengan menulis bahwa yang dikonsumsi adalah bagian dari pohon enau ataupun pohon lontar. Pada gambar yang ditampilkan pada berita lainnya pada media yang sama (http://regional.kompas.com/read/2015/06/16/19491741/) ditunjukkan bagian dalam batang pohon gewang yang dikonsumsi namun ditulis bagian dari pohon enau. Bagian ini dalam bahasa melayu kupang disebut putak. Dalam bahasa meto (bahasa Timor) disebut puta dan dalam bahasa tetum disebut akal atau akar. Ini menunjukkan bahwa tidak ada pemahaman dari penulis tentang apa yang ditulis sehingga terjadi kesalahan penulisan.
Kekeliruan yang berikut adalah kekeliruan yang paling mendasar yang memandang bahwa yang dimaksud dengan bahan pangan hanyalah beras. Sebab itu ketika ada warga yang tidak mengkonsumsi beras maka dia dianggap tidak sedang mengkonsumsi bahan pangan. Padahal dalam Undang-Undang Nomor 18 tahun 2012 secara jelas disebutkan bahwa bahan pangan juga berasal dari produk kehutanan, tidak hanya dari produk pertanian dan perkebunan, yang mana padang sabana NTT juga termasuk di dalamnya. Masih dalam pasal yang sama, juga dijelaskan tentang pangan lokal sebagai makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengaan kearifan lokal.
Hasil penelitian Perkumpulan Pikul (2013) berhasil mengidentifikasi 5 jenis serealia, 11 jenis umbi-umbian, 12 jenis kacang-kacangan dan 7 jenis batang/ bunga/ buah yang merupakan pangan lokal di NTT termasuk gewang di dalamnya. Sangat beragam dan sangat potensial sebagai basis ketahanan pangan di NTT. Namun pada kenyataannya, pandangan bahwa bahan pangan hanyalah beras tetap menjadi acuan dalam mengambil keputusan. Jargon yang dikumandangkan Gubernur NTT bahwa NTT adalah propinsi jagung hanyalah jargon kosong. Saat ini di seluruh wilayah NTT sedang dalam masa panen jagung, kenapa bukan jagung yang kemudian dipilih untuk dibagikan kepada mereka yang mengalami gagal panen jagung ? Tetapi justru mie dan beras yang dibagikan.
Kembali ke gewang, keberadaannya sebagai bahan pangan bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat NTT, khususnya di wilayah Timor Barat. Gewang adalah produk padang sabana yang telah beradaptasi dengan kondisi yang kering di NTT (LIPI, 2007). Ormeling (1955) mencatat bahwa gewang telah dimanfaatkan warga NTT sejak dahulu untuk berbagai keperluan termasuk untuk makanan dan minuman. Dalam website resmi Badan Ketahanan Pangan propinsi NTT pun (bkpp.nntprov.go.id/) putak dikategorikan sebagai salah satu pangan lokal NTT. Sehingga harusnya tidak ada yang aneh dengan pilihan warga untuk mengkonsumsi putak sebagai sumber karbohidrat. Namun ternyata ini menjadi keanehan, bahkan bagi pemerintah NTT sendiri.
Dahulu, setiap rumah di wilayah kampung ibu saya di Wanibesak, Kabupaten Malaka memiliki lesung horisontal yang disebut ahok. Kenapa setiap keluarga wajib memiliki ahok ? Sebab ada siklus tahunan di mana di musim panas semua laki-laki dewasa akan ke padang sabana untuk menebang gewang sekalipun jagung banyak tersedia di lumbung. Pohon yang ditebang akan diambil bagian tengahnya (putak) hanya untuk satu keperluan utama. Dijadikan tepung untuk dijadikan aka bilan yaitu makanan olahan dari tepung gewang. Bagian yang tidak dapat dijadikan aka bilan, akan ditinggalkan dan digunakan penggembala sapi sebagai pakan sapi atau dibawa ke rumah sebagai pakan babi. Fungsi Ahok adalah untuk menumbuk cacahan putak yang sudah dikeringkan menjadi tepung. Selanjutnya tepung ini akan dicampur air untuk diproses lebih lanjut untuk mendapatkan endapan tepung putak yang disebut aka rahun. Lalu aka rahun akan diolah menjadi aka bilan untuk dikonsumsi. Aka bilan akan dikonsumsi bersama ikan dari pantai Taberek atau klata (sejenis ulat berwarna putih yang hidup dalam batang gewang yang lapuk).
Penghancuran Sistematis Kearifan Lokal
Namun kemudian secara sistematik lewat program bantuan beras. Kearifan yang sudah terjaga bertahun-tahun ini dihancurkan. Tangan-tangan warga kampung tidak lagi terbiasa untuk menebang gewang untuk dijadikan aka bilan. Tangan-tangan ini dilatih untuk menjepit uang di antara jarinya dan diserahkan ke pemerintah desa untuk mendapatkan beras raskin. Lidah anak-anak kecil pun diajarkan hanya untuk mencicipi beras. Citarasa aka bilan perlahan namun pasti mulai ditinggalkan. Memang saat ini aka bilan masih tersedia namun hanya dikonsumsi oleh mereka yang masih terlatih untuk menikmatinya. Cerita ini persis seperti cerita tentang sorgum di desa Oh Aem di Kabupaten Kupang yang tidak lagi ditanam karena ibu-ibu telah lupa cara memasak sorgum. Lantas semua menjadi aneh ketika kemudian hasil panen mereka gagal dan mereka tidak cukup punya uang untuk membeli beras. Ketika akhirnya mereka memutuskan untuk kembali mengkonsumsi bahan pangan yang dulu pernah mereka nikmati. Mereka dianggap mengkonsumsi makanan ternak oleh mereka yang tidak pernah menyaksikan bagaimana gewang maupun sorgum diolah untuk dikonsumsi. Bahkan juga oleh orang NTT sendiri yang telah dilatih untuk tidak mencicipi hasil dari padang sabana mereka sendiri.
Saya pun sejak kecil telah terbiasa untuk mengkonsumsi putak, sorgum, klata bahkan belalang. Bagi kami mengkonsumsi putak dan sorgum bukanlah sebuah pilihan untuk bertahan hidup. Mengkonsumsi putak dan sorgum adalah pilihan yang juga sama nilainya dengan pilihan untuk mengkonsumsi beras karena sorgum dan putak adalah bahan pangan. Kami stidak mengkonsumsi pakan ternak. Kami mengkonsumsi bahan pangan yang juga kebetulan dapat dikonsumsi oleh ternak. (***)
*Yurgen Nubatonis adalah anggota GENG MOTOR IMUT dan staf Perkumpulan PIKUL