Kupang, (28/12). Orang NTT siapa yang tak kenal RW?. Masakan pedas dengan bahan utama daging Anjing, hewan yang juga akrab menjadi teman manusia. Jadi, sebenarnya (daging) anjing itu makanan atau teman?
Relawan Perkumpulan PIKUL dan anak muda kota kupang mengggelar diskusi Jumat Inspirasi PIKUL (JIP) yang perrtama, dengan tema keberagamaan pangan lokal sebagai budaya di NTT dengan perspektif dari komunitas pecinta anjing di Kupang.
“Kegiatan ini dilakukan untuk mendapatkan perspektif yang lain terhadap keberadaan pangan lokal dan keberadaan anjing untuk dimakan (daging RW anjing) atau dijadikan sebagai hewan kesayangan yang bisa dilatih untuk jadi pintar”, Joanivita Soru, salah satu Sukarelawan Magang PIKUL sekaligus koordinator JIP menjelaskan. JIP sendiri adalah program diskusi dua mingguan yang dilaksanakan sebagai bagian dari Program Relawan PIKUL, periode Des 2017 – Febuari 2018
Di diskusi ini Krispinus Sehandi; salah satu narasumber dari komunitas Dog Lovers Kupang, berbagi pengalamannya dan perspektif mereka tentang RW. “Awalnya saya makan daging RW anjing tapi sekarang tidak lagi. Karena saya pernah melihat proses pembunuhan anjing yang sangat mengerikan yang bertentangan dengan apa yang saya pelajari di kampus. Apallagi ketika saya dapat survei diwarung daging RW, dimana proses pembuatannya sangat tidak higenis bahkan asal usul daging anjingnya tidak tahu dari mana. Apakah anjingnya sudah mati lama ataukah mati karena penyakit dan pedagang tidak mau tahu apakah menyehatkan atau tidak” jelasnya.
Masakan RW sendiri sudah cukup dikenal dalam budaya Indonesia bahkan dunia. Menurut Wikipedia di beberapa daerah di Indonesia, daging anjing disantap sebagai sumber protein baik secara terang-terangan maupun diam-diam. RW sendiri adalah turunan dari bahasa Minahasa/Manado, kependekkan dari “rintek wu’uk” atau bulu halus, sebagai sebuah eufemisme untuk anjing dalam budaya lokal disana. Di beberapa kota di Jawa seperti Solo dan Yogyakarta, sate daging anjing disamarkan dengan sebutan “sate jamu”; sedangkan sebutan tongseng daging anjing adalah sengsu, singkatan dari tongseng asu (bahasa Jawa: “tongseng anjing”).
“Kecintaan saya mulai semenjak saya memelihara anjing, tepatnya saya semester 2 di fakultas kedokteran hewan UNDANA dan saat ini anjing peliharaan saya sudah bisa membantu saya, misalnya disuruh ambil kaos kaki dan lainnya. Saat ini kami komunitas dogs lovers kupang sedang mencangkan untuk kampanye berhenti makan daging anjing” Krispinus melanjutkan.
Ester Umbu Tara sebagai nasumber Dari Komunitas Kupang Batanam menjelaskan terkait Kedaulatan dan keragamanan pangan lokal. Dalam diskusi tersebut ia menjelaskan terkait relevansi peningkatan Ekonomi masyarakat dengan mengkonsumsi pangan lokal. “Kehadiran komunitas kupang batanam untuk mendorong masyarakat perkotaan untuk menanam dipekarangan rumah dan mendorong masyarakat desa untuk berdaulat atas pangan dengan melihat potensi untuk menanam jenis pangan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pokok dan peningkatan ekonomi masyarakat desa” ungkapnya.
Hal senada disamapaikan Margaritha Kafomay salah satu peserta diskusi, bahwa pangan lokal harus dikembalikan untuk menjadi makan pokok. Ia meresahkan Kalau masyarakat tidak lagi makan pangan lokal maka 10 sampai 20 kedepan pangan lokal akan punah.
Diskusi tersebut dihadari oleh kurang lebih 20 peserta yang tersebar dari berbagai kalangan mulai dari mahasiswa sampai dengan pekerja. *** (Penulis : Ramlin Bunga, Relawan PIKUL, Angkatan 1)