APA RASANYA MENJADI PENERIMA BEASISWA YANG BER”PERGURUANTINGGI”KAN KELURAHAN LELOGAMA AMFOANG SELATAN, BER’KELAS’KAN KEBUN, BER’KANTIN’KAN DAPUR DAN BER”DOSEN”KAN MAMA-MAMA? BETA TERPUKAU!!!
“Oleh: Martha Loban, Peserta Magang Program KEJAR PALOK (Ketong Anak Muda Belajar Pangan Lokal), Proyek Keberagaman Pangan untuk Kedaulatan Pangan, PIKUL – OXFAM, Desember 2017 – Februari 2018)”
Memasak di dalam Ume Kbubu, rumah bulat, rumah tradisional suku Dawan – Foto: Atta Loban
Beta mendapat sebuah pengalaman baru yang Beta yakini belum semua orang pernah alami. Beta di’kenyang’kan oleh makanan dan pengetahuan. Dulu Beta hanya tahu ubi kayu, jagung dan kenari, sekarang Beta tahu arbila, daun sipa dan sorgum. Dulu Beta hanya makan jagung bose, ubi rebus dan lu’at kemangi, sekarang Beta su makan uu’ amuk, uu’ foit deng lu’at pucuk jahe. Semua yang Beta su tahu dan Beta su makan di Lelogama, diberitahukan dan dihidangkan tanpa ada ‘tekanan’ oleh Mama mama di sana.
Beasiswa Kejar Palok 10 pemuda pemudi Kota Kupang ini digagas oleh Perkumpulan Pikul. Sebuah LSM yang berbasis di Kupang dan didukung oleh Oxfam. Beta adalah salah satu relawan di Perkumpulan Pikul dan peserta beasiswa ini bersama 9 orang pemuda pemudi lain yakni Megha Liu, Yuni Baun, Meli Sulla, Edwin Boimau, Petrus Maure, Ira Ola, Joanivita Soru, Mutiara Girsang dan Jems Mansula. 10 pemuda pemudi yang bersedia menjadi campaigner pangan lokal dan keberagamannya. Beta dan kesembilan pemuda-pemudi lainnya disebar ke daerah yang awalnya sudah bekerja sama dengan Perkumpulan Pikul untuk belajar tentang pangan lokal, keberagaman dan ketahanannya. Daerah-daerah tempat penyebarannya adalah Wanibesak-Malaka, Lelogama-Amfoang Selatan, Oh Aem I-Amfoang Selatan, dan Uitiuana-Semau.
Dulu Makan, Sekarang Masih Makan! Tahun 2014 lalu, Perkumpulan PIKUL pernah bekerja sama dengan Aliansi Desa Sejahtera menggelar Diskusi Kelompok Terfokus (Focussed Group Discussion, FGD) tentang Tata Kelola Pangan yang Berkedaulatan di NTT dan mengundang Dinas Pertanian dan Perkebunan Provinsi NTT yang diwakilkan oleh Dewi Manek. Beliau sepakat berpendapat bahwa kita belum mandiri soal pangan karena beras masih diimport sebanyak 150.000 ton per tahun. Kemudian lahir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Undang-undang ini memiliki tujuan-tujuan pokok yaitu; mengembangkan kemandirian produksi pangan yang beragam, mengembangkan dan memastikan tersedianya cadangan pangan dari tingkat desa, kabupaten, dan propinsi, terpenuhinya kebutuhan pangan yang bermutu, aman, dan bergizi bagi seluruh penduduk tanpa kecuali, memastikan setiap orang dapat mengakses pangan dengan harga yang terjangkau (atau memproduksi sendiri) dan meningkatkan kesejahteraan produsen pangan yaitu petani dan nelayan.
Bicara mengenai kemandirian pangan, Beta berpikir bahwa masyarakat Kelurahan Lelogama sudah cukup mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan mereka. Itu terbukti dari diskusi Beta bersama Bapak Metu salah satu warga di Kelurahan Lelogama bahwa dari zaman nenek moyang, mereka tidak mengkonsumsi beras tapi jagung dan umbi-umbian yang mereka tanam sendiri di kebun. Sampai dengan saat ini, keluarga dari Bapak Metu juga tidak bergantung pada beras bantuan dari pemerintah karena tersedia jagung, ubi, pisang dan panganan lokal lain di kebun meskipun beberapa pangan lokal lain saat ini sudah jarang ditemukan seperti pisang tanah yang rasanya tidak kalah enak dengan ubi keladi dan ubi lainnya. Saya pernah mencicipi pisang tanah ini saat berlibur ke kampung halaman Alor.
Pasangan Yang Bikin Ketagihan!!! 12 Februari 2018, Beta bangun lebih dahulu dari ayam jantan tetangga. Kira-kira pukul 03.30 WITA. Mandi, sarapan dan berangkat ke kantor pikul dengan menggendong tas ransel yang sudah terisi penuh dengan pakaian, barang dan peralatan yang Beta butuhkan 7 hari ke depan di Kelurahan Lelogama. 05.30 WITA , bunyi klakson mobil pick up yang akan kami tumpangi sudah terdengar di jalan raya depan kantor. Waktunya ngeTriiip gaisssss ^^.
Perjalanan dari Kupang menuju Lelogama memakan waktu kira-kira 5 jam sebab jalan dari Takari menuju Lelogama ,,Aduuuu Mama sayang eee,, jalannya polisi tidur semua! Jalan boleh polisi tidur, tapi pemandangannya, syukur padaMU Tuhan, subuuur choi!! Pohon pisang, pohon jati putih, pohon kopi berbaris rapih di sepanjang jalan menuju Lelogama. Gunung Buibulat menampakan wujudnya kontras dengan birunya langit. Jangan lupa abadikan moment ini yang dipersembahkan oleh BAPA di atas.
Gunung Buibulat, Desa Kauniki Hutan Ampupu yang dingin. Lelogama adalah Kelurahan di Kecamatan Amfoang Selatan, Kupang Nusa Tenggara Timur Indonesia. Untuk sampai ke sana, kami melewati Desa Takari, Desa Benu, Desa Hueknutu, Desa Kauniki, Desa Noelmina, Desa Oelnaineno, Desa Oh Aem dan Desa Tanini. Sebelum mencapai Lelogama, Beta disambut oleh hamparan hutan Ampupu dengan suhu udara dingin dan segar karena ketinggian daerah ini
Tiba di Lelogama, Beta dan Kak Ita disambut oleh Mama Sarlin Pahnael, Isteri dari Bapa Metu Pahnael, ketua salah satu kelompok tani di Lelogama yang sudah dua tahun terakhir ini bekerja sama dengan Perkumpulan Pikul. Bercerita sejenak sambil menikmati teh dan pen molo buatan Mama Sarlin. Mama Sarlin dengan sukacita menyambut Beta dan Kak Ita.
Kami menyampaikan maksud dan tujuan kami datang ke Lelogama dan siang itu kami langsung menyusun agenda kegiatan kami untuk 7 hari ke depan mulai dari melapor diri ke Kelurahan, berkunjung ke Kebun warga, berdiskusi bersama warga sampai masak dan makan panganan lokal masyarakat Lelogama bersama Mama Mama.
Mama Sarlin dengan penuh semangat bercerita tentang bagaimana orang tua dulu mengolah makanan dari kebun bahkan hutan untuk dimakan hingga sampai saat ini ilmu pengolahan itu diteruskan ke anak cucu mereka. Sungguh mereka dari dulu sudah berdaulat pangan atas hidup mereka. Jagung, ubi dan pisang pun sampai saat ini terus dikonsumsi sehingga tak harus merintih kelaparan sambil menunggu jatah raskin dari pemerintah.
Berdasarkan Pemetaan Pangan di Pulau Timor (bagian barat), Pulau Rote-Ndao, Pulau Sabu dan Pulau Lembata tahun 2013, diketahui bahwa NTT memiliki keragaman antar jenis dan intra jenis. Keragaman antar jenis yang ada mulai dari serealia, kacang-kacangan, hingga umbi-umbian (talas, ubi jalar, ubi kayu dsb). Sedangkan keragaman intra-jenis meliputi berbagai variasi di dalam jenis tersebut, biasanya ditandai dengan penyebutan nama lokal yang berbeda, misalnya Jagung (Zea Mays L) di Kupang memiliki nama pen busi, pen koto, pen saijan dsb.
Adanya keberagaman pangan dapat terlihat dari apa yang dihidangkan di meja makan. Siang itu kami disuguhkan hidangan berpasangan yang bikin ketagihan. Ya Tuhaann,, makanan saja dibuatMU seromantis ini, apalagi Beta pung kisah cinta ^^ ( ngareeep )^^ . Pen pulut dan sayur labu kuning serta daun sipa dan jeruk nipis tumbuh subur di kebun samping rumahnya Bapak Metu. Daun sipa mirip dengan daun dari bunga tai ayam, wanginya cukup khas. Siang itu Ellen anak perempuan tunggal Mama Sarlin memetiknya dari kebun dan dibuatnya lu’at.
Sepiring lu’at terdiri dari daun sipa, tomat, cabe, bawang merah, garam dan perasan air jeruk nipis. Lu’at ini disantap habis oleh seisi rumah termasuk Beta dan Kak Ita. Enaak ! Segar ! Top Markotop ! pas dengan lidah orang NTT. Pen pulut (jagung) yang dimasak oleh Mama Sarlin terasa nikmat apalagi dicampur sayuran labu kuning dan lu’at sipa. “Beta tambah ee Mama”.. satu kalimat yang diucap dua kali oleh Beta, bukan karena masih lapar, tetapi memang ini pasangan makanan bikin Beta ketagihan. Lawar darah dan jeroan ayam juga enak.
Masih ada pasangan makanan lain yang bikin Beta ketagihan. Waktu itu dimasak oleh Mama mama dari RT 07. Namanya Uu’ Amuk (Uk bungkus). Ini adalah makanan orang tua zaman dulu. Biasanya dibuat dan dibawa ke kebun sebagai bekal. Bisa bertahan sampai empat hari. Bahan yang digunakan untuk membuatnya adalah jagung (pen pulut) yang sudah tua dan parutan kelapa. Yang membuatnya menarik adalah untuk membungkusnya, Mama Mama menggunakan kulit jagung. Setelah dimasak, rasa dan wanginya khas apalagi didampingi dengan teh hangat.
Di RT 07 Mama-mama membuat jagung dan parutan kelapa menjadi Uu’ Amuk, berbeda dengan Mama-mama di RT 10, dengan bahan yang sama dan tambahan ubi kayu serta sedikit gula, mereka membuat Uu’Foit. Rasanya tetap enak. Sungguh kudapan yang harus tetap disajikan di meja makan keluarga maupun untuk tamu, sebagai oleh-oleh.
Adalagi satu pasangan makanan yang bikin Beta gagal Move On, namanya Lu’at Bakalai (ini Beta yang kasih nama sendiri karena waktu makan,, rasanya nendang-nendang di lidah gituuu ^^). Lu’at Bakalai ini dibuat oleh Mama Frida Baisila dari RT 07. Bahan-bahannya yaitu nejae suva (pucuk jahe), ut sipa (daun sipa), helo (kemangi), olatlaok (mint), daun jinten, perasan jeruk nipis, garam, bawang merah dan cabe rawit. Semua bahan dibawa oleh Mama Frida saat kelompok Mama Mama berkumpul di rumah Mama Sarlin untuk berdiskusi dan memasak bersama kami (bisa dikatakan mereka datang untuk menguliahkan Beta dan Kak Ita, kan Mama Mamanya “dosen”). Lu’at Bakalai ini juga diracik oleh The Master of Lu’at Bakalai yaitu Mama Frida Baisila. Rasanya segar, enak, dan yang pasti bikin ketagihan.
Mari Bertahan dengan Batanam Terima kasih Perkumpulan Pikul dan OXFAM untuk kesempatan belajar yang Beta dapat. Ada harapan besar dari Beta kepada Pikul dan Oxfam agar ke depannya kegiatan seperti ini terus digagaskan. Belajar pangan lokal sambil jalan-jalan adalah aksi awal Beta untuk berkampanye tentang pangan, keberagaman dan kedaulannya.
Dari ba’Kejar Palok’ deng Mama Mama di Lelogama’, Beta diajarkan banyak hal. Mulai dari mengenal jenis makanan di pekarangan, menanam bahkan sampai mengolahnya yang sesungguhnya tidaklah mudah bagi Beta yang sudah terlanjur hidup dengan segala hal yang serba instant.
Mama Mama yang dengan penuh syukur menggulungkan lengan baju, menghaluskan padi menggunakan lesung dan alu, menyisihkan ampasnya kemudian memasaknya di Ume Bubu. Bermandikan keringat dan beraromakan asap dapur yang mengepul dalam Ume Bubu. Mama Mama yang juga dengan penuh percaya diri menghidangkan makanan nenek moyang kembali ke meja makan.
Beta dan teman-teman yang sedang membaca tulisan ini, mari kita bertahan dengan cara batanam. Mempertahankan makanan kita yang sudah ada dari dulu dan sampai sekarang masih ada ini agar tetap ada. Bukan biskuit singkong teman pendamping teh. Tapi Uu’ yang dimakan dengan sayur daun singkong. Memang butuh dukungan dari berbagai pihak termasuk Pikul dan Oxfam, tapi apa susahnya untuk kita mencoba. Bukan untuk kita saja tapi anak cucu kita nantinya. Agar kelak kita dan mereka tidak bergantung pada beras bantuan melainkan apa yang ada di halaman.***