Sorgum: Jangan Biarkan Hanya Cerita

Kecil tapi bernilai lebih, ungkapan ini dapat menggambarkan kepada kita tentang tanaman pangan yang satu ini. Betapa tidak? Bulirnya yang kecil tidak kalah bergizi dengan pangan lainnya dan sudah pasti sangat bermanfaat bagi tubuh kita. Si bulir kecil ini mengundang rasa penasaran saya untuk lebih dekat lagi dan melihat secara langsung budidaya tanaman ini di Desa Wanibesak, Kabupaten Malaka. Melalui kegiatan Kejar Palok yang dilakukan oleh Perkumpulan PIKUL KUPANG, kami diberi kesempatan berharga ini untuk study tour pangan lokal selama seminggu dari tanggal 12-18 Februari 2018 di empat wilayah dan salah satunya adalah desa Wanibesak, Kabupaten Malaka. Sembilan jam perjalanan kami tempuh menuju ke desa ini, untuk mengobati rasa penasaran kami tentang tanaman sorgum yang ada di daerah Malaka, khususnya desa Wanibesak.

oleh: Meliyana Sintha Sulla (Peserta Kejar Palok Januari-Februari 2018)

Tanaman Sorgum atau biasanya di sebut “Batar Anaruk” oleh masyarakat desa Wanibesak, Kabupaten Malaka merupakan tanaman yang secara turun temurun di tanam oleh masyarakat desa Wanibesak . “Sorgum ini tanaman dari nenek moyang dan sudah sejak dulu kala, orang tua kami makan sorgum sebagai makanan pokok” kata Bapak Silivester Sili salah seorang petani Sorgum dan hal inipun diakui oleh masyarakat Malaka pada umumnya. Tanaman sorgum merupakan salah satu tanaman yang sudah pasti ada di lahan kebun masyarakat, karena pada umumnya semua petani selalu menanam sorgum kata Bapak Silvester melanjutkan penjelasannya.

Petani sorgum yang ada di Malaka mengakui keuntungan dari menanam sorgum dirasakan langsung oleh petani dari biaya yang di keluarkan oleh petani dalam pemeliharaan tanaman ini, mereka mengakui biaya pemeliharaan lebih kecil namun hasil yang diperoleh tergolong besar. Hal ini dikarenakan dalam budidaya tanaman sorgum ini tidak membutuhkan biaya tambahan untuk pupuk, untuk obat pembasmi hama bahkan juga untuk pengairan, karena tanaman ini memang merupakan tanaman solusi lahan kering. Menurut petani Malaka tanaman sorgum ini cocok di tanam di daerah mereka karena kondisi daerah yang kering.

“Kita disini ini tidak tanam padi, karena memang air juga agak susah, sekarang memang tiap kebun itu ada sumur, hanya saja kita lebih pilih tanam sorgum”, ujar Bapak Yakobus Mali.

“Tanam sorgum ini lebih baik, kita tidak terlalu keluar biaya besar, tanaman ini kita tanam dan dapat tumbuh dengan baik di sini” lanjutnya.

Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik hingga masa panen tiba. Tanaman sorgum biasanya di tanam sekali saja pada awal musim pertama, sekitar bulan Desember di tanam dan masuk pada bulan Maret petani sudah bisa memanen hasilnya.

Penanaman benih sorgum sendiri yang biasa dilakukan oleh masyarakat Desa Wanibesak, dilakukan dengan jarak lubang tanam 10 sampe 15 cm, yang mana setiap lubang tanam diisi 4 sampai 6 bulir benih sorgum. Penanaman sorgum dilakukan bersamaan dengan penanaman jagung pada musim pertama. Dan pola penanamannya lebih banyak di tanam diantara tanaman jagung dan juga singkong. Jarang dijumpai penanaman hanya sorgum saja pada lahan mereka tanpa dibarengi dengan tanaman jagung. Ada juga petani yang menanam setengah hektar dari lahan yang ada dengan tanaman sorgum. Pola penanaman ini kembali pada masing-masing petani ujar bapak Yakobus.

Secara tradisi masyarakat Wanibesak, memang tanaman sorgum baik saat tanam ataupun saat panen tidak ada upacara khusus tanam atau panen seperti halnya jagung dan kacang. Namun bukan berarti tanaman ini tidak memiliki makna tersendiri bagi masyarakat malaka. Mereka mengatakan tanaman ini adalah makanan yang sudah sejak dulu di konsumsi oleh masyarakat. Ibu Maria mengatakan biasanya sorgum dimasak seperti masak nasi, dan ada juga yang masak dengan menggunakan santan kelapa yang rasanya sangat nikmat. Mengkonsumsi sorgum bisa dibarengi dengan sayur, atau bisa juga hanya sorgum saja, itu tergantung dari selera masing-masing, ujar bapak Silivester menambahkan.

Saat panen, petani meluruhkan biji Sorgum dengan menggunakan alat yang biasa disebut masyarakat Wanibesak sendiri dengan nama “kakorut”. Alat ini sangat sederhana dan mudah didapat karena biasanya di buat sendiri oleh petani sorgum dan alat ini selalu di simpan di setiap kebun mereka. Kakorut terbuat dari pelepah tuak, yang bagian ujungnya dibuat bercabang, sehingga dapat digunakan untuk meluruhkan biji sorgum dari batangnya. Setelah itu sorgum akan dijemur selama dua hari dan di tumbuk, namun saat ini petani sudah terbantu dengan adanya mesin penggiling di desa mereka sehingga tidak perlu melakukan penumbukan lagi. Pemilihan bibit untuk ditanam ditahun berikutnya dilakukan langsung saat panen, petani biasanya memilih lima sampai enam batang sorgum yang isinya nampak bagus, untuk dijadikan benih. Setelah di korut lalu dijemur, maka benih ini disimpan di dalam jirgen.

Ada hal lain yang unik dari yang saya lihat. Tidak hanya biji sorgum yang dibutuhkan, bagian tanaman sorgum yang lain juga di gunakan masyarkat di Wanibesak. Di setiap rumah yang kami kunjungi selalu ada sebuah sapu kecil yang digunakan untuk menyapu rumah, sapu kecil tersebut merupakan batang sorgum yang diikat dan bagian ujungnya yang merupakan cabang-cabang halus sorgum itulah yang digunakan untuk menyapu rumah.

Ada kebanggaan tersendiri yang terpancar dari wajah para petani yang kami jumpai di desa Wanibesak ini saat mereka bercerita tentang tanaman Sorgum.

“Kita tanam sedikit saja, satu bokor tanam benih, itu nanti datang panen dapat satu truck datang muat”, kata Bapak Silivester.

“Satu drom minyak itu bisa jadi 4 karung dan hasil jual itu bisa mencapai satu juta lebih”, kata Ibu Maria menambahkan.

Jenis sorgum yang ada di Wanibesak menurut Bapak Gresorius Bere ada tiga jenis yaitu sorgum putih, sorgum merah dan sorgum hitam. Namun lebih banyak petani menanam sorgum putih dan ada juga yang hitam. Untuk sorgum merah sendiri dikatakan agak memakan waktu bila menumbuk atau mengolahnya.

“Ini sudah kami punya tanaman sejak dulu jadi setiap petani pasti tanam hanya tanamnya itu diantara jagung dengan ubi kayu, kita tanam untuk makan ada lebih baru kita jual”, lanjutnya.

Mendengar apa yang para petani ungkapkan kepada kami tentang sorgum, ini membuat kami ingin melihat langsung tanaman ini di kebun milik mereka. Ketika diberi kesempatan langsung meninjau lahan perkebunan warga, ada rasa bahagia yang kami rasakan. Betapa tidak, kami akan melihat langsung tanaman ini meski pada bulan Februari ini menurut petani belum memasuki masa panen. Kami diajak langsung oleh Bapak Sintus Bere untuk melihat lahan perkebunan miliknya, yang berada di daerah Harani yang merupakan daerah pusat perkebunan warga Wanibesak. Kurang lebih 14 km kami menempuh perjalanan menuju ke kebun bapak Sintus. Rasa lelah kami terobati ketika mulai nampak didepan mata hamparan hijau sorgum terbentang di jalan masuk menuju ke kebun bapak Sintus. Meski pada saat ini tetap lahan perkebunan warga di dominasi oleh tanaman jagung. Di lahan bapak sintus sendiri, dalam satu hektar, setengah hetarnya ditanami jagung yang saat ini sudah siap panen, dan setengah hektarnya lagi di tanami sorgum. Menurut Bapak Sintus sorgum saat ini masih tergolong muda dan belum bisa di panen, panen diperkirakan bulan Maret. Hasil panen nantinya akan dikonsumsi sendiri dan juga akan di jual.

Untuk pemasaran sorgum sendiri dilakukan lebih banyak ke daerah Besikama, Betun, dan juga Kefa. Ini adalah daerah-daerah yang dekat dengan Malaka. Masih jarang petani menjual sorgum sampai ke Kupang, namun beberapa kali diakui Bapak Sintus ada yang datang langsung ke Wanibesak untuk membeli sorgum langsung dari petani sorgum yang ada di Wanibesak. Harga yang di patok oleh petani berkisar Rp.8.000,- sampai Rp. 10.000,- per kaleng nya (Kaleng mentega amanda).

Diakui masyarakat sejak dulu desa ini penghasil Sorgum, namun seiring berjalannya waktu jumlah sorgum yang ditanam mulai berkurang, dikarenakan pemasarannya yang belum maksimal dan dianggap belum banyak peminat konsumsinya. Sehingga saat ini sorgum ditanam oleh petani dilahan kebun mereka diselingi tanaman jagung dan singkong yang mana hasil panen sorgum ini untuk konsumsi pribadi dan bila berlebih hasilnya bisa dijual. Saat kami bertemu dengan Bapak Yakobus Ung yang menjadi Kepala Desa di Wanibesak, dan berbagi cerita tentang pangan lokal khususnya Sorgum, besar harapan bapak Kepala Desa, bahwa tanaman ini bisa menjadi ikon desa Wanibesak, sehingga bila ada yang mencari Sorgum bisa mencarinya di desa ini kata bapak Kepala Desa.

Apa yang dikatakan bapak Kepala Desa terngiang terus ditelinga saya. Seolah itu adalah titipan harapan yang harus disuarakan oleh generasi milenials saat ini. Miris rasanya saat dalam perjalanan pulang ke Kupang, saya bertanya pada salah satu penumpang seorang pemudi asal Wanibesak yang berkuliah dikupang. Ia mengaku pernah makan sorgum tetapi sekarang mereka terbiasa makan nasi. Saya memiliki impian suatu hari nanti Wanibesak bisa menjadi desa Sorgum terbesar, jangan biarkan sorgum hanya menjadi cerita, bila ada beras-beras bermerk yang menjadi incaran konsumen di pasaran, saya berharap bisa ada sorgum bermerk dari Wanibesak yang juga akan menjadi incaran konsumen. Lalu tugas siapa? Tugas kita semua. Mari bersama petani sorgum kita meningkatkan kualitas pangan lokal kita. Mimpi saya, mimpi kita, mimpi para petani, mari bergandengan tangan mewujudkannya. Salam Kejar Palok 2018.***

Post Related

Scroll to Top