Potret Migran Miskin Tak Ber-aset di Kota Kupang

Hasil Penelitian dapat diunduh di sini: https://tinyurl.com/567abzam

Urbanisasi diberbagai wilayah di Kota Kupang memicu pertambahan penduduk yang tinggi, sedangkan daya dukung ekologi terhadap pertambahan penduduk tidak bertambah bahkan cenderung berkurang.

Kurangnya daya dukung ekologi ditambah kurangnya kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan hak dasar, menyebabkan tingkat kesejahteraan migran tak beraset menjadi sangat rendah.

Survei ini merupakan bagian dari Proyek Baselining di PIKUL. Tujuannya untuk memperoleh informasi awal pemenuhan hak dasar migran yang tidak memiliki aset dan mengetahui persepsi mereka mengenai pemenuhan hak dasar. “Migran yang tidak memiliki aset” dipilih sebab kelompok inilah yang paling rentan terhadap perlindungan hak dasar yang seharusnya dipenuhi oleh negara, dalam hal ini pemerintah Kota Kupang. Hak dasar tersebut meliputi hak atas kesehatan, pangan, pemukiman, pekerjaan, dan sebagainya.

Perumahan menempati posisi pertama dari hak dasar yang menurut responden paling utama untuk dipenuhi, disusul oleh pekerjaan dan kebutuhan akan pangan. Isu tentang perumahan tidak hanya mengenai kepemilikan atau masalah kelayakan huni saja, namun juga masalah akses yang mudah terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh warga kota. Seringkali kebijakan terhadap rumah bagi warga miskin tidak tepat sasaran dan strateginya. Rumah-rumah kumuh masyarakat miskin direlokasi jauh dari tempat mereka melakukan aktivitas pekerjaan, sehingga biaya transportasi yang harus dikeluarkan oleh mereka semakin tinggi. Apalagi kebanyakan pembangunan rumah untuk masyarakat miskin tidak memperhatikan aspek transportasi yang memudahkan mereka melakukan mobilitas. Akibatnya, rumah-rumah sangat sangat sederhana yang disediakan oleh pemerintah ditinggalkan bahkan tidak dilirik oleh masyarakat miskin di perkotaan karena letaknya jauh di luar kota.

Perempuan: Terdiam dan Tidak Aman

Kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga hampir setiap hari menghiasi media massa. Menurut Daniel Hurek1, kasus kekerasan terhadap perempuan di Kota Kupang pada triwulan I dan III tahun 2009 meningkat secara signifikan. Pada triwulan I tercatat 163 kasus, sedangkan dtriwulan III naik menjadi 196 kasus. Namun dari survei yang dilakukan tidak banyak responden yang menjawab pertanyaan mengenai masalah khusus yang dihadapi perempuan di lingkungannya. Dari 500 responden, hanya 40 orang yang mengisi bagian ini. Sejumlah 29 responden yang menjawab KDRT sebagai masalah perempuan di lingkungannya, dan 9 responden menjawab perkosaan. Pelecehan dan kekerasan seksual masing-masing 3 responden yang menjawab. Sisanya menjawab lain-lain.

Kemungkinan hal ini terjadi karena kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga ditangani secara tertutup di dalam keluarga atau orang-orang terdekat. Sehingga kurang diketahui oleh tetangga. Perempuan sendiri masih menganggap tidak etis atau tabu untuk membicarakan masalah KDRT, pelecehan seksual, maupun kekerasan seksual yang dialaminya ke publik. Namun adanya jawaban pada bagian ini juga mengindikasikan bahwa masyarakat telah berani mengangkat persoalan yang dianggap privat ke ruang publik.

Masalah lapangan pekerjaan juga menjadi PR besar pemerintah kota. Ketersediaan tenaga kerja yang besar yang sejatinya memudahkan moda industri untuk selalu memiliki cadangan tenaga kerja yang muda dan murah, menghasilkan banyaknya pengangguran dan munculnya sektor-sektor informal di perkotaan. Kupang sebagai kota yang mulai menggeliat melakukan pembangunan beban pengangguran akibat migrasi desa kota ini juga patut diperhitungkan.

Ledakan penduduk dan semakin berkurangnya ketersediaan lahan untuk pertanian, juga menyebabkan para responden memandang pangan sebagai kebutuhan dasar yang penting untuk dipenuhi. Ironi kurangnya pangan ini juga di perberat dengan semakin tingginya tuntutan-tuntutan masyarakat untuk memenuhi kehidupan sebagai manusia modern, yang segalanya dikalkulasi oleh uang. Jika dahulu mungkin masyarakat masih bisa mengandalkan beras atau jagung kiriman dari kampung, saat ini mereka harus memberikan uang kembali ke kampung yang jumlahnya juga relatif lebih besar dari harga beras yang mereka beli di kota untuk jumlah yang sama. Apabila dulu mereka dapat berutang beras, sekarang tidak lagi. Jika berhutang maka harus membayar lebih mahal untuk jumlah yang sama.

Secara umum hak dasar masyarakat terhadap perumahan yang layak dan mudah aksesnya, pekerjaan/penghasilan yang tetap, pangan, fasilitas kesehatan yang baik, rasa aman dan sebagainya masih sulit dijangkau oleh masyarakat miskin, dalam hal ini para responden yang merupakan masyarakat migran. Warga miskin semakin tersingkir dari kota itu sendiri. Masyarakat migran tidak bisa memperoleh haknya atas kota, yang menurut David Harvey bukan hanya sebagai kebebasan individu untuk mengakses sumber daya perkotaan, akan tetapi lebih dari itu, hak atas perkotaan adalah hak untuk mengubah diri kita melalui mengubah kota itu sendiri. David Harvey juga menegaskan bahwa proses ini adalah sebuah proses yang melibatkan aksi kekuasaan kolektif untuk mendorong proses perkotaan yang demokratis.***(tim pikul)

Post Related

Scroll to Top