Konflik panjang telah usai, tanah dibagi, suku-suku hidup dalam damai. Di tahun 1840-an Feotalo, Hea Mengga dan Kila Edon, tiga pahlawan dari Rote mengakhiri perang Tausbele-Putislulut bersama masing-masing suku pengikut di Nusa Bungtilu. Perang memang telah usai, darah dan air mata tak lagi mengucur tapi di tanah kekuasaan masing-masing, para penghuni dihadapkan pada usaha bertahan hidup.
Alam di Nusa Bungtilu yang masih ‘sakral’ telah menyediakan segalanya namun cara mendapatkannya, itu bukan soal mudah. Di hutan ada makanan, di dalam tanah ada air. Makanan bisa sangat mudah diperoleh, tapi air belum tentu. Semua orang tahu bahwa air ada di dalam tanah tapi titik dimana air itu ada, tidak semua tahu.
Empat Sumur di Semau, Meo Topnai dan Dua Orang TimorKlaim-klaim kemenangan antara kedua suku besar dan pengikut-pengikutnya dalam peperangan itu, rupanya mengalahkan usaha beberapa orang untuk mendapatkan air. Topu Nai, seorang panglima perang (meo) Putislulut yang akrab disapa Topnai adalah salah satu leluhur yang hidup dalam masa sulit air. Kisah Topnai yang masih dihidupi sebagian penghuni Nusa Bungtilu, sangat berarti.
Di Batuinan, wilayah yang pada masa Hindia Belanda masuk dalam Ketemukungan Otlano (Otan Lano), Kefetoran Pulau Semau, Topnai diyakini sebagai sosok di balik adanya empat sumber mata air di Semau. Keempat mata air itu berupa sumur kecil ialah Uikulun dan Uisuin di Uiasa, Uiutlui di Batuinan, dan Uinao di Huilelot.
Keberadaan empat sumur tersebut seturut tutur Salmun Putislulut (Kaka Ama Putislulut), ditemukan dan digali oleh dua orang Timor. Konon, Topnai menyeberangi laut menuju Timor untuk mengajak orang yang tahu ‘cari’ air-gali sumur. Ia mengajak dan membawa lebih dari dua orang ke Semau.
Seperti siasat perang, dalam perjalanan di tengah laut menuju Semau, Topnai melancarkan aksinya. Siasat itu berupa jebakan, setiap mereka yang dicurigai ‘berniat jahat’ atau tidak bisa menjawab pertanyaan, ditenggelamkan ke laut. Beberapa jadi korban, tersisa dua orang. “Dong punya nama Kului dan Laisaban, dong dua dari Timor,” kisah Salmun Putislulut.
Kului dan Laisaban diyakini berasal dari Timor-Amarasi karena mereka menggunakan Uab Metô (Bahasa Dawan-Timor) setiap kali menemukan/menggali sumber mata air. “He tnao” (kita jalan, beranjak pergi) atau “tnao ben” (jalan/beranjak sudah), demikian bunyi kalimat yang diucap.
Nama sumber mata air Uikulun, Uisuin, dan Uiutlui pun diyakini berasal dari (gabungan) nama kedua orang tersebut. Sedangkan Uinao berasal dari Bahasa yang digunakan. Demikian Kului dan Laisaban akhirnya menetap dan tinggal bersama Topnai. Di Semau, mereka tinggal di Kulun, sebuah kampung tua-tempat adanya sumber mata air Uikulun. Kampung ini terletak di jalur lingkar Semau, antara Uiasa dan Batuinan.
Hingga saat ini, hanya ada beberapa keluarga yang tinggal di sana, sebab pada tahun 1982 banyak orang yang memilih tinggal di dekat pantai, di Batuinan. Mereka meninggalkan kampung tua yang sebenarnya identik dengan sumber mata air.
Batuinan, salah satu desa di Kecamatan Semau, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Sejauh ditelusur, desa ini termasuk wilayah dengan kondisi sulit air. Uiutlui dan Uidete sebagai sumber mata air di Batuinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan semua orang. Kondisi ini diperparah lagi dengan aktivitas manusia yang merusak hutan ataupun dialihfungsikan dalam beberapa tahun terakhir.
Salmun Putislulut berkisah, pada tahun 1982 hingga 1987 ia dan keluarganya juga orang-orang yang tinggal di sana harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk mendapatkan air. Setiap hari “jalan kaki dari Batuinan ke Otan, bawa pulang air satu pikul” atau setara 20 liter.
“Dulu di kampung Kulun dan Uidete air banyak, sumurnya ada di situ. Tapi sampai di Batuinan, air sangat sulit,” katanya.
Pada tahun 1987, ia punya ide untuk menggali sumur. Ia adalah orang pertama di Batuinan yang memiliki sumur pribadi. “Dulu sonde ada besi gali, hamar ju sonde ada. Baru di taon 1987, beta mulai gali karena alat-alat su ada.”
Kaka Ama kelahiran 4 Mei 1942 itu sudah punya sumur, letaknya persis di depan rumah di pinggir jalan. Ia tidak lagi ke Otan, cukup melangkah sejuah 10 meter air sudah bisa ditimba. Sedang para tetangga dan sebagian orang di Batuinan, pada saat itu masih melewati jalan di dekat sumur milik Salmun, menuju Otan-timba air. Suatu ketika para tetangga datang ke rumahnya, mereka meminta kesediaan Salmun agar diizinkan menimba air di sumur miliknya.
“Orang dong lihat, dong tahu su ada sumur di sini. Dong datang minta, mau sekikir ju sonde bae. Katong hidup sama-sama, jadi sama-sama pake, nikmati itu air di sumur,” kisah Salmun mengenang momen 34 tahun silam.
Instalasi SWPS, Mengobati ‘Trauma’ Masyarakat
Kondisi sulit air di Batuinan akhirnya membuat sebagian orang mengikuti jejak Salmun Putislulut. Mereka menggali dan memiliki sumur sendiri. Namun demikian, Batuinan tetaplah menjadi wilayah sulit air. Pada bulan-bulan tertentu seperti September hingga Desember, semua sumur mengering. Orang-orang Batuinan akhirnya menggantungkan kebutuhan air bersih pada mobil tangki air. Dalam beberapa tahun terakhir, biaya sebesar Rp 200.000 harus dikeluarkan untuk mendapatkan 5.000 liter air.
Kondisi itupun disebabkan oleh minimnya kesadaran masyarakat untuk mencadangkan air di musim hujan; yang tentu bisa meningkatkan kandungan air tanah. Sudah ada beberapa lembaga/yayasan yang menjalankan program air bersih di desa Batuinan namun hasilnya mubazir (infrastruktur) dan tidak ada tindak lanjut dari pihak-pihak terkait. Pengalaman ini pun menyisakan ‘trauma’ bagi masyarakat, akibatnya yayasan ataupun lembaga lain yang masuk dengan program yang sama sempat dipertanyakan-diragukan.
Memasuki pertengahan 2020, Yayasan Cemara dengan Perkumpulan PIKUL sebagai host dalam project Ketahanan Ekologis Pulau-Pulau Kecil, hadir di Batuinan. Adanya project ini adalah sebuah jawaban atas kegelisahan sekaligus mengobati ‘trauma’ masyarakat.
Project yang bersinggungan dengan konservasi termasuk di dalamnya kawasan tangkapan air ini berhasil direalisasikan lewat pemasangan instalasi Solar Water Pumping System (SWPS). Teknologi pompa air dengan sinar matahari sebagai sumber energi ini dipasang pada 23 Juni 2020 di Batuinan di sumur Uidete, milik keluarga Salmun Putislulut.
“Katong pasang instalasi pas tanggal itu. Dua hari setelah pasang, air langsung mengalir. Katong jadwalkan setiap hari, jam delapan sampai jam sembilan pagi. Katong juga sepakat, tiap Kepala Keluarga cukup pikul, 120 liter begitu,” ungkap Amos Tanu, Ketua Kelompok Pemakai Air Batuinan.
Adanya instalasi SWPS, memudahkan masyarakat yang selama ini sulit mengakses air bersih. Jika sebelumnya mereka harus menumpang di sumur tetangga, instalasi tersebut telah memudahkan para pemakai dengan mengambil di tendon yang telah disediakan. Para pemakai air tersebar di wilayah Dusun I dan Dusun II Desa Batuinan, terdiri dari 34 rumah tangga atau 36 Kepala Keluarga dengan total jumlah jiwa 109 orang.
FOTO 1
Amos Tanu menuturkan, dalam memperlancar pelayanan dibentuklah Badan Pengurus pemakai Air. Ia mengkoordinir beberapa anggotanya bekerja semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga pemakai air.
“Beta sebagai ketua, sekretaris satu orang, unit teknis SWPS dan jaringan perpipaan ada empat orang, petugas kontrol air ada empat orang dan yang jaga tandon ada dua orang.”
Air yang dialirkan dari sumur dengan ketebalan air 1,40 meter itu melayani para pemakai air hingga awal Oktober 2020. “Kemarau panjang, sejak tanggal 3 Oktober aliran air dihentikan karena air tinggal sedikit. Beta sebarkan informasi, bahwa katong su sonde bisa paksa lagi.”
Tahun 2020 memang ditandai dengan kemarau panjang, bahkan dalam beberapa tahun terakhir. Instalasi SWPS yang telah memudahkan masyarakat pun harus dihentikan. “Di sumur sisa air tebalnya 80 centi, itu empat centi di bawah pipa. Jadi katong sonde mungkin paksa. Kalau curah hujan bagus, sekitar akhir Januari atau awal Februari 2021 su bisa operasi lagi.”
Sejak Juni atau selama kurang lebih empat bulan, 109 orang di Batuinan merasakan-menikmati manfaat dari adanya panel surya (SWPS). Adalah sejarah baru bagi mereka, program air bersih berhasil di Batuinan.
“SWPS ini beda jauh dengan dulu. Katong tahu KWHnya, spido meternya jelas, sebelum alirkan air ju katong ukur dulu ketebalan air, lebih praktis, lebih rapi. Dulu kalau pake genset, katong boros, rugi banyak, biaya minyak. Katong akan tetap jaga supaya musim hujan bisa pake lagi.”
Dalam usaha menjaga dan merawat keberlangsungan instalasi SWPS, para pengurus dan pemakai air lainnya menyepakiti adanya iuran bulanan, setiap KK dikenai biaya sebesar Rp 10.000. Iuran ataupun swadaya masyarakat, termasuk di dalamnya biaya operasional bagi para pengurus.
“Iuran ini memang ada kendalanya, kadang kumpul, kadang sonde. Harus sabar sampai orang sadar.”
Program yang dinilai berhasil ini pun diapresiasi pemerintah desa setempat. Friska Sunyiatun, Ketua BPD Batuinan punya curah melankolis. Pemerintah desa adalah salah satu pihak yang sempat mempertanyakan keberadaan Yayasan Cemara (mitra PIKUL) dengan instalasi SWPS.
“Awal-awalnya kami ragu karena sudah berulang-ulang yang namanya air bersih di Batuinan ini ada banyak LSM yang masuk tapi hasilnya tidak maksimal. Fasilitas yang sudah dibangun, mubazir. Ketika Yayasan Cemara masuk, omong soal air bersih, kami juga ragu,” ungkap Friska.
Perempuan kelahiran 1969 ini mengutarakan kalau pemerintah desa dan pihak Yayasan Cemara sempat bertentangan. Pemdes ragu, kalau-kalau instalasi SWPS akan mubazir sebagaimana program-program terdahulu.
“Tapi syukur, panel ini lebih baik, lebih menjanjikan untuk memenuhi kebetuhan air bersih bagi masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Kalau mau dibilang, program ini berhasil dari a sampai z.”
Pemdes Batuinan melalui Ketua BPD menilai instalasi SWPS baik adanya. Kalau dulu jalan dua kilometer baru dapat air, kalau dulu timba air berjam-jam, sekarang lewat instalasi SWPS air makin dekat, air sudah bisa diakses dalam hitungan menit. Ada harapan, “ke depannya kalau memang masih ada kegiatan yang harus dilaksanakan, pengadaan panel bisa ada di semua wilayah dusun, lebih luas lagi jangkauannya.”
SWPS: Su Senang, Bapak dengan Adik Su Bisa Bantu Ambil Air
FOTO 2
Koriance Ukat, seorang ibu rumah tangga, istri Yonathan Hunin, mama dari seorang siswa SMA kelas 2, adalah salah satu keluarga pemakai air. Di musim hujan, mereka tanam jagung. Seusai panen, Koriance menenun-aktivitasnya sejak berusia 14 tahun. Namun soal ambil air, itu aktivitasnya sejak kecil hingga menikah dan punya anak.
“Sejak kecil beta su terbiasa ambil air di sumur Uibaktoas, jaraknya satu kilometer. Dalam satu hari, kalau pagi ambil dua kali, sore ambil satu kali. Air pake buat masak, minum, cuci, dan siram tanaman,” kisah perempuan kelahiran 11 Desember 1973 itu.Menempuh jarak satu kilometer dengan lalepak di bahu, salah satu rutinitasnya. Kadang banyak pekerjaan rumah yang tertunda, “pagi-pagi sonde bisa bikin apa-apa karena harus ambil air.” Bahkan ketika berkeluarga, banyak pekerjaannya sebagai seorang ibu rumah tangga tertunda.
Pemasangan instalasi SWPS di Batuinan adalah ‘berkat’ bagi Floriance. Ia terbantu, banyak pekerjaannya di pagi hari yang bisa dilakukan. “Sekarang bapak dengan adik su bisa bantu ambil air karena jaraknya hanya 50 meter.”
Ia pun mengakui bahwa kondisi di Oktober hingga Desember 2020, air sudah berhenti mengalir oleh sebab turunnya debet air. Ia harus kembali ke Uibaktoas untuk pikul air, “kalau hujan, syukurlah bisa tampung,” atau keluarganya harus mengeluarkan Rp 200.000 untuk pesan air tangki yang dapat dipakai selama satu bulan.
Floriance, warga Dusun 2 Desa Batuinan ini punya harapan agar pemerintah desa dapat melanjutkan program yang sudah diberikan Perkumpuan PIKUL melalui Yayasan Cemara. “Katong minta pemerintah desa untuk lanjutkan pemeliharaan bak-bak, pipa, supaya ke depan air bisa lancar. Katong senang, Cemara punya katong su rasakan. Kalau yang lain katong sonde pernah pake.”
Tulisan Oleh: Herman Efriyanto Tanouf