Pentingnya Akses Perempuan Ke Sumber Informasi Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang mengakibatkan tidak menentunya pola cuaca sangat memberi dampak terhadap setiap orang yang bekerja dengan mengandalkan alam, termasuk bagi para nelayan. Biasanya mereka akan melihat fenomena yang ada di alam sebagai tanda waktu yang tepat untuk turun ke laut ataupun menaikan perahu ke darat. Sayangnya, kebiasaan ini tidak lagi dapat diandalkan sepenuhnya karena cuaca yang semakin tidak mudah diprediksi. Untuk mengatasinya, para nelayan membutuhkan akses ke sumber informasi terkait perkiraan cuaca. Namun pada kenyataannya tidak semua nelayan memiliki kemampuan untuk memanfaatkan teknologi seperti gadget yang memudahkan mereka untuk mengakses informasi tersebut. Selain karena keterbatasan kemampuan, para nelayan yang sebagian besar waktunya berada di tengah laut juga tidak memiliki akses ke internet karena tidak adanya sinyal internet. Disinilah para istri berperan penting untuk membantu para suami dalam menyalurkan informasi yang mereka dapat hasil dari jelajah media sosial maupun aplikasi perkiraan cuaca.

Pada bulan Desember 2021, tim program Voice for Just Climate Action (VCA) menemui para perempuan pesisir yang merupakan istri nelayan Nunhila, Nunbaun Delha, Nunbaun Sabu, dan Lasiana. Selain sebagai ibu rumah tangga, sehari-harinya mereka juga menjual ikan hasil tangkapan para suami dan nelayan lainnya. Sebagian besar cerita yang kami dapat terkait dampak perubahan iklim adalah tentang pengalaman mereka saat menghadapi badai siklon tropis Seroja 2021 yang lalu. Menariknya, setiap dari mereka menceritakan hal yang sama yaitu para suami kehilangan perahu dan alat tangkap ikan karena terlambat mendapatkan informasi resmi dari pemerintah mengenai datangnya badai. Sebenarnya, beberapa istri dari para nelayan sudah sempat memperingatkan suami mereka mengenai berita perkiraan badai yang sempat mereka baca di media sosial. Namun pada saat itu, para suami mengatakan hujan ekstrim, gelombang tinggi, dan angin kencang yang tidak kunjung berhenti hanyalah bagian dari musim barat yang belum selesai. Mereka cenderung mengabaikan informasi yang disampaikan oleh para istri karena menurut mereka nelayanlah yang paling tahu keadaan laut. Alhasil, saat badai memuncak, para nelayan tidak bisa berbuat banyak untuk menyelamatkan perahu dan hanya bisa menyaksikan dari kejauhan perahu dengan segala perangkatnya hancur bahkan hilang ditelan gelombang tinggi.

Dari kejadian ini, setiap keluarga nelayan yang perahunya rusak dan hilang mengalami kerugian hingga mencapai puluhan juta rupiah. Untuk mulai bangkit kembali, mereka juga terbebani dengan melakukan pinjaman ke Koperasi, Bank, maupun kenalan mereka agar dapat membuat perahu dan membeli mesin serta peralatan lainnya sebagai ganti milik mereka yang rusak. Padahal, jika dari awal mereka lebih mempercayai informasi dari para istri sebelum badai memuncak, maka kerugian yang dialami dapat ditekan dengan mengamankan mesin perahu dan beberapa peralatan lainnya. Disini kita bisa melihat betapa pemikiran dan pendapat perempuan pesisir masih disepelehkan bahkan oleh suami mereka sendiri. Selain itu, dengan budaya pengambil keputusan dalam rumah tangga berada di tangan laki-laki, para istri cenderung mengikuti saja keputusan para suami, meskipun pada akhirnya jika suami kehilangan mata pencaharian, para istri juga yang kesulitan mencari pekerjaan tambahan agar keluarganya tetap memiliki persediaan makanan yang cukup.

Pendapat perempuan pesisir tidak ditanggapi serius juga diakibatkan oleh kurangnya pelibatan perempuan dalam program-program yang diadakan oleh pemerintah terkait layanan informasi iklim sehingga dianggap kurang memiliki pengetahuan dan kemampuan. Hal ini juga disinggung dalam IPCC WGII 6th Assessment report chapter 18, yang mengatakan bahwa adanya kesenjangan gender dalam program-program pemerintah terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Misalnya dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah, partisipasi perempuan sangat rendah karena mereka bahkan tidak diinfokan saat kegiatan diskusi kelompok terfokus (FGD). Padahal saat terjadi cuaca ekstrim, perempuanlah yang memiliki peran untuk menyelamatkan anak serta barang-barang berharga mereka. Namun, pada kebanyakan kasus yang terjadi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan. Hal ini pun juga dialami oleh perempuan-perempuan pesisir di Nunbaun Sabu dan Nunbaun Delha. Saat badai siklon tropis Seroja, sebagian dari mereka sudah berinisiatif untuk mengumpulkan barang-barang berharga dalam satu tas khusus untuk diamankan, namun hanya sedikit dari mereka yang mengungsi ke tempat yang lebih tinggi (dengan anggapan lebih aman dibandingkan area pesisir). Sisanya memilih untuk tetap tinggal di rumah masing-masing karena khawatir dengan para suami yang sedang berusaha mengamankan perahu mereka di tepi pantai.

Selain itu, penggunaan smart phone juga sangat penting untuk mengakses informasi iklim. Namun, para perempuan pesisir menghadapi tantangan-tantangan yang menghalangi mereka untuk mengakses informasi tersebut seperti kurangnya pelatihan cara mengakses informasi terkait cuaca ekstrim (cara menggunakan aplikasi-aplikasi ramalan cuaca), ketidakmampuan untuk menginterpretasikan informasi iklim dan melakukan aksi sebagai bentuk responnya, terbatasnya akses ke smart phone, dan ketidakmampuan untuk membeli pulsa untuk mengakses internet.

Berdasarkan hal-hal tersebut, terdapat beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan khususnya untuk pemerintah agar perempuan pesisir dapat turut berperan aktif dalam pengambilan keputusan saat menghadapi cuaca ekstrim diantaranya, pemerintah perlu mendesain layanan informasi iklim yang isinnya harus relevan, mudah dipahami, dan peka gender. Selanjutnya, program pembangunan dan iklim harus dirancang kembali untuk mengakomodir konteks kebijakan yang lebih spesifik untuk secara efektif ditujukan kepada kebutuhan-kebutuhan perempuan pesisir. Perempuan pesisir juga harus lebih dilibatkan dalam praktik adaptasi perubahan iklim, termasuk bantuan pasca bencana. Program penyaluran informasi cuaca ekstrim dari BMKG dalam bentuk SMS hanya dinikmati oleh nelayan tertentu. Oleh karena itu, program ini perlu digaungkan kembali agar dapat dinikmati secara merata tidak hanya oleh nelayan, tapi juga semua pelaku usaha di pesisir khususnya perempuan. Pada akhirnya, keadilan dan kesetaraan gender perlu menjadi pusat dari segala pengambilan kebijakan dalam proses adaptasi perubahan iklim.***(Maya A. Wie Lawa)

Post Related

Scroll to Top