Short Exhibition Desain Teknologi Ramah Perempuan: Ruang Apresiasi dan Inovasi Teknologi yang tidak meminggirkan Perempuan

Pada dasarnya teknologi dirancang untuk membantu atau memudahkan dalam melakukan aktivitas. Anggapan bahwa teknologi identik dengan laki-laki adalah suatu bentuk maskulinitas dari teknologi itu sendiri. Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam mendesain teknologi adalah bagaimana teknologi yang diciptakan dapat berfungsi efisien bagi perempuan.

Yayasan PIKUL bekerjasama dengan kolaborator menginisiasi short exhibition bertajuk “Desain Teknologi Ramah Perempuan” yang diselenggarakan pada Selasa, 7 Februari 2023 di Hotel Neo Aston El Tari Kupang. Pameran pendek tersebut menampilkan teknologi yang telah di desain sesuai dengan kebutuhan kolektif perempuan di Desa mitra PIKUL yakni Desa Oelbanu, Leloboko, Oh Aem 1 dan Oh Aem 2 di Kabupaten Kupang, serta Desa Obesi, Kualeu dan Taiftob di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Kolaborator – kolaborator yang terlibat dalam pameran tersebut yakni  Kepik, Geng Motor Imut, Maggot NTT, Komunitas Hijau Daun, LP2M Undana (Prodi Kedokteran Hewan), Mahalalila Sekarbayu dan Lenny Mooy (akademisi pertanian adaptif) telah mendesain teknologi dan melakukan uji coba dengan kolektif perempuan. Proyek ini hadir untuk menjawab kebutuhan perempuan yang telah lama terpinggirkan dalam proses penciptaan teknologi itu sendiri.

Pada dasarnya teknologi dirancang untuk membantu atau memudahkan dalam melakukan aktivitas. Anggapan bahwa teknologi identik dengan laki-laki adalah suatu bentuk maskulinitas dari teknologi itu sendiri. Salah satu aspek yang sering terlupakan dalam mendesain teknologi adalah bagaimana teknologi yang diciptakan dapat berfungsi efisien bagi perempuan. Sejak zaman dulu, budaya patriarki membuat teknologi kerap  dianggap sebagai ruang bagi laki-laki. Posisi perempuan dalam bidang teknologi pun minim seperti yang dilaporkan pada kajian UNESCO: A Complex Formula: Girls and Women in Science, Technology, Engineering and Mathematics in Asia (UNESCO Bangkok, 2015), menjelaskan bahwa hanya ada 30% perempuan dalam  bidang Sains, Technology, Engineering & Mathematics (STEM). Persentase perempuan Asia dalam bidang tersebut pun hanya 18% perempuan.  Sementara di Indonesia jumlah peneliti perempuan yang berkarya di bidang tersebut mencapai 31%. Meski demikian, angka tersebut masih di bawah 50 % dan masih tergolong rendah. 

Sejak 2018,  Yayasan PIKUL dalam proyek-proyeknya bekerjasama dengan beberapa mitra telah menciptakan  jenis-jenis  desain teknologi yang bertujuan untuk membantu aktivitas perempuan seperti teknologi pengolahan air bersih, teknologi penyiraman (sprinkle air), tungku hemat bahan bakar, serta teknologi lainnya. Sayangnya, teknologi-teknologi tersebut masih belum berfungsi maksimal untuk perempuan terutama dalam pengoperasiannya, perempuan masih bergantung kepada pihak lain yang akhirnya berdampak pada terbengkalainya teknologi tersebut. Hal ini kemudian mendorong PIKUL untuk terus berinovasi menciptakan teknologi yang mudah dioperasikan oleh perempuan. 

Ide Desain Teknologi Ramah Perempuan ini datang dari keresahan kegagalan eksperimen teknologi kami sebelumnya dan kesuksesan beberapa adaptasi teknologi untuk perempuan di beberapa eksperimen yang lain. Dari sini kami belajar bahwa bagi beberapa kelompok dengan tingkat akses terhadap pengetahuan dan teknologi yang terbatas karena aspek gender atau relasi kuasa yang timpang lainnya, butuh pendekatan yang berbeda. Nah konsep Human Centered Design memberi kemungkinan untuk pendekatan desain teknologi bagi kelompok khusus seperti para mama-mama petani di desa” jelas Dany Wetangterah, Konsultan Human Centered Design, Yayasan PIKUL

Akhir tahun 2022 lalu, para kolaborator yang berasal dari komunitas, anak muda dan beberapa lembaga telah melalui proses desain dengan menggunakan metode Human Centered Design dengan tools utama adalah Design Thinking yang dikembangkan oleh IDEO.  Dalam design thinking, pendekatan yang lumrah adalah pendekatan berbasis masalah. Metode ini berfokus pada penyebab kesalahan dan faktor keahlian dalam konteks praktis. Akan tetapi kemudian, banyak hal berasal dari masalah manusia yang spesifik. Misalnya,  kesulitan dan tantangan dalam menggunakan produk, bagaimana pengguna menggunakan produk desain untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan  kemungkinan situasi yang tidak terduga dengan menggunakan produk desain (Winograd & Woods, 1997). IDEO menganggap desainer harus lebih berempati kepada pengguna, karena pengguna yang dianggap tidak pasti akan memberikan potensi yang tidak terbatas bagi desain untuk berkembang serta mampu bertahan di pasaran.

Ketika Kita berbicara tentang teknologi, khususnya Desa dan Perempuan, kita harus memikirkan banyak hal yang sekiranya bisa diadaptasi oleh perempuan di Desa. Banyak teknologi yang kita datangkan dari luar, kemudian tidak adaptif dengan kondisi Perempuan terutama di Desa. Sehingga dengan seperti ini, orang belajar mendesain dengan rasa empati bukan membuat alat lalu membawa ke kampung tapi justru mendesain sesuatu atas permintaan dari orang yang akan menggunakannya. Jadi, dalam proses mendesain teknologi, kita perlu mempertimbangkan end usernya  bukan kita buat dan kasih ke mereka begitu saja” ungkap Ben Tarigan seorang expert di bidang teknologi saat ditemui di sela-sela pameran.

Pada era persaingan teknologi, empati menjadi motor penggerak. Menurut IDEO (2015), empati adalah “kotak peralatan” bagi seorang desainer yang berarti bahwa empati sebagai cara untuk mengenal dan memahami pengguna saat berinteraksi  dengan produk.  Dalam proses desain, para kolaborator melaksanakan live in di Desa dengan tujuan untuk membangun empati sehingga dapat memahami kebutuhan, kebiasaan, perasaan, dan keinginan kolektif perempuan yang akan menjadi pengguna dari teknologi yang diciptakan tersebut. Pihak-pihak yang terlibat dalam proyek ini pun wajib memiliki ketertarikan atau minat membantu perempuan dalam pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, mengutamakan perspektif gender dan memahami pengarusutamaan gender sebelum mendesain teknologi. 

Pameran yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam tersebut menampilkan enam jenis teknologi yang merupakan jawaban atas kebutuhan kolektif perempuan di Desa. Enam jenis kebutuhan tersebut sebelumnya telah diidentifikasi  oleh PIKUL dalam diskusi bersama. Kebutuhan teknologi tersebut diantaranya : 1) Mesin Pencacah (sesuatu yang membantu perempuan mencacah/memotong bahan baku hijauan untuk membuat pupuk organik; 2) Mesin pengawetan pangan atau Food Dehydrator. Kolektif perempuan melihat pangan lokal sebagai potensi yang dapat diolah menjadi sumber pangan untuk anak-anak (biskuit yang ketika dicampur dengan air panas menjadi bubur); 3) Pakan Ternak Organik (sesuatu yang membantu dalam menghemat waktu dan bahan bakar dalam memproduksi pakan ternak; 4) Mesin Pemecah Biji Kopi (sesuatu yang membantu dalam memisahkan kulit dan biji kopi; 5) Alat Pemintal benang (sesuatu yang membantu dalam memintal benang; 6) Alat Pemotong Bambu (sesuatu yang membantu proses membelah dan membersihkan bambu 7) Teknologi Pemanfaatan air limbah dan Pupuk organik Cair (sesuatu yang memanfaatkan limbah rumah tangga pertanian hemat air).

Melihat bahwa proses baik ini harus menjadi sebuah pengetahuan yang perlu dibagikan kepada publik, PIKUL kemudian mendesain sebuah pameran yang menjadi ruang apresiasi bagi kolaborator serta ruang pertukaran informasi bagi para kolektif perempuan di Desa mitra PIKUL lainnya. Vera Oja salah satu pengunjung pameran yang juga merupakan salah satu Dosen Fakultas Sains dan Teknik menemukan hal menarik dalam kunjungannya di setiap booth. Ia mengaku proses desain teknologi dengan konsep co – design ini menarik karena proses diskusinya melibatkan seisi rumah. 

Proses diskusi membuat alat ini melibatkan seisi rumah. Hal ini penting karena regenerasi perlu datang dari rumah. Selain itu, peralatan yang diciptakan membuat perempuan terutama di Desa bisa melakukannya sendiri tanpa perlu bergantung dengan suami.” Ungkapnya. 

Mama Merviana Baitanu salah satu kolektif Desa Oelbanu, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang juga hadir saat pameran,  mengaku bahwa proyek ini membuat perempuan di Desa menjadi lebih mudah dalam mengoperasikan teknologi dan menghemat waktu kerja. 

Kami juga ingin berkembang. Teknologi ini mengurangi beban pekerjaan kami sebagai mama-mama di Desa. Memang kami sebagai mama-mama ini sibuk tapi dengan alat ini bisa bantu kami bekerja dan mengelola makanan yang ada seperti pisang, jagung, wortel menjadi bentuk lain yang bisa dimanfaatkan”  ujar Mama Merviana. 

Selain teknologi ini ditujukan untuk perempuan, hal menarik yang juga tidak dikesampingkan oleh PIKUL adalah desainer teknologi itu sendiri. Desainer yang terlibat tidak hanya didominasi oleh laki-laki saja melainkan juga ada keterlibatan desainer perempuan dalam prosesnya. Terhitung jumlah laki-laki dan perempuan yang terlibat seimbang yakni enam orang laki-laki dan enam orang perempuan dari total dua belas anggota kolaborator. Mahalalila Sekarbayu salah satu kolaborator mengaku telah memiliki pengalaman yang sama dalam mendesain teknologi di Sabu sehingga ia ingin juga menerapkannya di tempat lain. 

Saya punya pengalaman hampir sama di Sabu sehingga di proyek ini saya mau terapkan juga. Selama live in kami melihat mama-mama di Desa Oelbanu sangat kreatif terutama dalam mengolah pangan lokalnya. Tantangan menarik adalah kami berkolaborasi dan berdiskusi dengan mama-mama di Desa dengan melihat permasalahan di sana terutama yang berkaitan dengan PMT (Pendamping makanan tambahan). Maka kami sepakat membuat food dehydrator untuk membantu menyelesaikan permasalahan tersebut. Alat ini membantu menyimpan bahan makanan lebih lama seperti buah, sayur, jagung dan lain-lain sehingga anak-anak bisa mengkonsumsinya tanpa perlu menunggu musim” – Jelas Mahalalia yang juga merupakan mahasiswa Teknik Elektro Universitas Nusa Cendana Kupang.

Pameran sebagai ruang pertukaran ide dan informasi ini pun turut mengundang pihak lain baik dari pemerintah maupun non pemerintah, akademisi, expert dan anak muda untuk memberikan masukan terkait dengan isu teknologi dan perempuan sehingga  kemudian menjadi catatan pembelajaran kerja-kerja PIKUL untuk mendukung perempuan dalam mengelola sumber daya alam. Perwakilan pemerintah dan akademisi yang hadir kemudian mengapresiasi, memberikan masukkan dan berharap agar kegiatan ini bisa diadakan setiap tahunnya. Herson Yusuf dari Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan Daerah (Bapelitbangda) Provinsi NTT mengungkapkan harapannya agar inovasi ini juga ada di Desa-desa lain sehingga masyarakat bisa termotivasi menggunakan waktu sebaik mungkin untuk menunjang pendapatan mereka. Beliau juga menghimbau agar alat yang dibuat salah satu kolaborator yakni alat pemintal benang perlu diperhatikan agar tidak sampai merusak benang sehingga kain yang dihasilkan menjadi lebih baik. 

Hal senada juga disampaikan oleh Ahmad Buhari perwakilan Dinas Pemberdayaan Desa Provinsi NTT, bahwa pameran ini menampilkan hal-hal baru yang perlu dikembangkan sehingga perlu dicontoh oleh lembaga lain.

Tanggapan lain datang dari Akademisi yang mengapresiasi kontribusi anak muda dalam proyek ini. Prof. Philiphi de Rozari S.Si, M.Si, M.Sc, Ph.D dari Fakultas Sains dan Teknik Universitas Nusa Cendana mengaku sangat mengapresiasi keterlibatan anak muda dalam menjawab permasalahan di masyarakat.

Mereka masih muda tapi bisa selesaikan pekerjaan di Desa dan saya apresiasi itu juga.  Anak muda dan PIKUL mengerjakan hal kecil yang dampaknya besar” ungkap beliau di saat ditemui di akhir pameran.

Daftar Pustaka 

Candraningrum, Dewi & Anita, “Rasa Takut, Bullying dan Tekad Pelajar Perempuan dalam STEM: Kajian SMK di Jakarta”, Jurnal Perempuan 91 Status Perempuan dalam STEM, 2016, Yayasan Jurnal Perempuan, Jakarta.

IDEO.org. (2015). The Field Guide to Human-Centered Design. Sao Francisco Winograd, T., & Woods, D. (1997). The Challenge of Human-Centered Design. Human Centered Systems: Information, Interactivity, and Intelligence , 17-19.

Post Related

Scroll to Top