Suara Perempuan yang dimarjinalkan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

“Setengah dari umat manusia adalah perempuan, dua pertiga dari pekerjaan di dunia dilakukan oleh perempuan. Sepersepuluh dari pendapatan yang dihasilkan di dunia dihasilkan oleh perempuan dan seperseratus dari kepemilikan tanah/rumah (property) dikuasai oleh perempuan”

Setiap tanggal 8 Maret dunia merayakan Hari Perempuan Internasional untuk mengenang perjuangan perempuan dalam memperoleh haknya. Pencetusan ini dilatarbelakangi oleh aksi demo besar-besaran yang dilakukan oleh perempuan New York, Amerika Serikat  tahun 1908 untuk menuntut keadilan upah dan jam kerja serta hak memilih dalam pemilihan. Peringatan Hari Perempuan Internasional kemudian dirayakan sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan perempuan mencapai kesetaraan dalam berbagai bidang termasuk didalamnya pengelolaan sumber daya alam. 

Jika berbicara mengenai perjuangan perempuan dalam mempertahankan sumber daya alam, seringkali kita temui di Indonesia aksi-aksi protes perempuan yang penghidupannya dirampas dan berujung pada penolakan demi penolakan untuk mempertahankan wilayahnya seperti yang terjadi di Kendeng, Jawa Tengah. Perempuan Kendeng menolak pembangunan pabrik semen di daerahnya karena dianggap telah mengeksploitasi sumber daya alam yang menjadi sumber kehidupan mereka. Penolakan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah aksi teatrikal di depan Istana Merdeka Jakarta pada 12 April 2016. Mereka merelakan kaki mereka di cor sebagai simbol dari pemaknaan semiotik keberadaan pabrik semen yang akan mengikat kehidupan mereka. Energi perlawanan yang sama juga terjadi pada tahun 1999 di Fatukoto, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, provinsi  Nusa Tenggara Timur. Pada saat itu Mama Aleta Baun bersama para perempuan Mollo menuntut penghentian tambang marmer milik perusahaan asal Jakarta dengan menenun di depan batu besar yang akan menjadi lokasi tambang. Mama Aleta dan masyarakat adat Mollo berjuang lebih dari 13 tahun untuk menutup tambang marmer. Mereka mempercayai alam adalah bagian tubuh manusia. 

“Kami percaya fatu, nasi, noel, afu masan a’tatif neu monit mansion. Batu sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut.” – Ujar mama Aleta dalam wawancaranya bersama Mongabay (2017). 

Masyarakat Nusa Tenggara Timur tentu masih sangat hangat dengan konflik lahan antara pemerintah dengan  masyarakat adat Pubabu – Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pada 9 Februari 2022, rombongan pemerintah yang dipimpin oleh gubernur Viktor Laiskodat bersama beberapa investor mendatangi kompleks bangunan instalasi peternakan yang saat itu ditempati oleh masyarakat Besipae. Kedatangan tersebut bertujuan untuk melakukan kegiatan rehab bangunan namun sayangnya para petinggi daerah tersebut dihadang oleh masyarakat. Mereka kecewa karena pemerintah seolah melewatkan keberadaan masyarakat adat yang sedang dan sudah lama bermukim di sana. Konflik terus berlanjut hingga pada selasa, 20 Mei 2020 masyarakat melakukan pemblokiran jalan pada kedatangan gubernur yang kedua kalinya. Para perempuan bahkan melakukan aksi bertelanjang dada sebagai bentuk penolakan keras terhadap perampasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun alih-alih berempati, beberapa oknum malah mengobjektifikasi tubuh perempuan dan melakukan kekerasan verbal terhadap aksi mereka. Dikutip dari portal berita Mongabay Indonesia, ketua Solidaritas Perempuan, Dinda Nur Annisa Yura dalam rilis yang diterima pada sabtu 15 Agustus 2020, menyatakan bahwa pelecehan seksual dan intimidasi terhadap tubuh perempuan, termasuk dalam hal perempuan yang menggunakan tubuhnya untuk berjuang, juga menunjukkan upaya pembungkaman gerakan dengan menggunakan seksualitas perempuan.

Sumber Daya Alam adalah sumber kehidupan yang kerap menjadi pusat perebutan kepentingan antar manusia yang seringkali menimbulkan ketidakadilan. Gerakan perlawanan yang terjadi di Kendeng dan Mollo adalah bentuk perlawanan perempuan terhadap ketidakadilan. Hal ini membuktikan bahwa ketika hal yang secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada urusan kehidupan anak-anak, suami dan keluarganya terganggu, perempuan akan melakukan berbagai cara untuk mempertahankannya. 

Perempuan menjadi pengakses utama sumber-sumber daya yang tersedia di alam turut mengalami dampak yang cukup besar akibat dari kerusakan lingkungan. Hal ini akan menambah beban kepada perempuan dan tantangan yang dihadapinya pun semakin kompleks. Dalam kehidupan keluarga, perempuan memiliki kerja yang lebih besar dan memakan waktu lebih banyak mulai dari mengurus rumah, anak, makanan, memberi makan ternak hingga mengurus kebun. Namun, jika dilihat lebih luas lagi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam, perempuan seringkali terpinggirkan dalam pengambilan keputusan dan kepemilikan hak. Misalnya, perempuan di Desa mengelola dan menjaga hutan tetapi tidak memiliki hak dan kepemilikan yang sah terhadap hutan/lahan tersebut. Mereka juga jarang dilibatkan dalam proses diskusi ataupun pengambilan keputusan. Data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018 menyebutkan tanah yang dimiliki oleh perempuan hanya sebesar 15,88% dari 44 juta bidang. Demikian juga dengan hasil riset Solidaritas Perempuan tahun 2019, yang menyatakan bahwa bukti kepemilikan tanah atas nama perempuan hanya sejumlah 24,2%. Jika merujuk pada hukum negara yakni pada  Undang – Undang Pokok Agraria  Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan tiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan  mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan seharusnya mendapatkan hak yang sama dalam memperoleh kepemilikan tanah. Akan tetapi di beberapa daerah di Indonesia yang menganut sistem adat pratilineal, hak waris tetap harus diberikan kepada anak laki-laki seperti yang terjadi di Amarasi Barat, Kabupaten Kupang. Siki (2021) dalam penelitiannya mengenai kedudukan anak perempuan dalam pembagian harta warisan berdasarkan hukum waris adat Timor Amarasi di Desa Soba, Kecamatan Amarasi Barat, Kabupaten Kupang, menyebutkan bahwa anak perempuan tidak memiliki hak waris, tetapi mereka dapat diberikan bagian oleh anak laki-laki. Perempuan bisa mendapatkan uang, perhiasan ataupun hewan ternak yang merupakan pemberian dari saudara laki-lakinya. Akan tetapi jika menyangkut harta berupa tanah, walaupun diberikan oleh anak laki-laki kepada anak perempuan, pemberian tersebut hanya sebatas untuk digunakan sesuai kebutuhannya. Kepemilikan tanah tersebut tetap menjadi hak milik laki-laki. Sehinga tanah tidak bisa dijual oleh anak perempuan ataupun diambil alih oleh suami si anak perempuan tersebut.  Hal ini disebabkan karena anak perempuan suatu saat nanti akan menikah dan mengikuti keluarga suaminya, sehingga jika hak waris diberikan kepada anak perempuan maka kelak akan diambil alih oleh suaminya serta diteruskan kepada garis keturunan suaminya dimana akan berbeda klan atau marga. Hal yang mirip juga ditemui di Pulau Semau, Kabupaten Kupang dimana perempuan berhak mengelola lahan tetapi tidak berhak atas kepemilikan tanah tersebut.

Cerita di atas baik yang terjadi di Amarasi Barat maupun Pulau Semau tentu tidak lepas dari budaya patriarki yang menyebabkan adanya perbedaan kontrol, peran juga aturan-aturan dalam masyarakat sehingga menyebabkan adanya perbedaan hak antara perempuan dan laki-laki. Anak laki-laki cenderung memiliki hak yang lebih besar dibandingkan dengan anak perempuan termasuk soal hak atas tanah, hak untuk berbicara, hak untuk mengambil keputusan dan  hak waris. Perbedaan hak, kuasa dan peran tersebut menimbulkan posisi yang berbeda dalam masyarakat,  seperti yang terjadi pada laki-laki dan perempuan. Anggapan bahwa laki-laki adalah seorang pemimpin, menjadikan pendapatnya lebih dihargai dibandingkan perempuan. Pengabaian terhadap pendapat perempuan inilah yang kemudian berujung pada kasus sengketa Sumber Daya Alam. Pengabaian terhadap suara perempuan pernah dialami oleh Enjelita Oematan, kepala Dusun Desa O’besi, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Selama memimpin, beliau mengaku arahan dan pendapatnya kerap diabaikan karena dianggap belum bisa mengambil keputusan sendiri. Apalagi ia adalah perempuan yang memimpin dengan usia yang masih sangat muda. 

Sebagai kepala dusun, Saya  tidak hanya mengurus tentang wilayah tapi juga sebagai penengah masalah tingkat RT/RW. Nah, banyak yang tidak datang melapor kalau ada masalah karena dirasa saya perempuan dan masih muda. Kadang kurang ada respect dari masyarakat dengan anggapan kalau perempuan dia masih muda jadi belum bisa ambil keputusan sendiri” – Enjelita Oematan (Kepala Dusun, Desa O’besi)

Pengabaian terhadap suara perempuan masih sering terjadi hingga saat ini. Seperti yang juga terjadi di Desa O’besi, Kecamatan Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Perempuan yang tidak memiliki status sosial yang tinggi cenderung tidak dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan penting di Desa. Pada tanggal 01 November 2022, Kolektif perempuan Desa O’besi yang tergabung dalam Gerakan Perempuan Pejuang Alam (GP2A) mendesak pemerintah desa untuk menerbitkan Surat Keputusan (SK) kolektif yang mengatur tentang peran dan hak perempuan O’besi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam. Menurut mereka adanya SK mempermudah mereka untuk terlibat dalam kegiatan penting di Desa terutama hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan Sumber Daya Alam. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan O’besi sadar atas peran mereka terhadap keseimbangan kehidupan.

Perempuan masyarakat adat memiliki pandangan yang jauh lebih ke depan dibandingkan laki-laki. Namun karena posisinya dianggap lebih rendah dari laki-laki, maka pendapat mereka sering diabaikan. Urusan tradisional perempuan seringkali tidak dianggap oleh laki-laki maupun oleh sistem yang berlaku.  Urusan dapur misalnya, sering dianggap remeh dibandingkan soal ganti rugi tanah. Padahal amat mungkin dapur tidak bisa terus berasap jika dijual. Dalam banyak hal justru urusan domestik, urusan dapur adalah inti dari sebuah keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. Perempuan sebagai “manajer” dalam keluarga memiliki peran untuk mengatur agar seluruh keluarganya mendapatkan akses makanan yang cukup dan kesehatan yang layak. Namun, ketika sumber penghidupan yang digunakan untuk menghidupi satu keluarga diganggu, perempuan adalah manusia pertama yang paling terguncang. Banyak kasus yang telah membuktikan bahwa perempuan adalah kelompok paling rentan terhadap perubahan-perubahan. Peristiwa-peristiwa  perlawanan para perempuan yang terjadi di Kendeng, Mollo dan Pubabu adalah bentuk kekhawatiran perempuan terhadap keberlangsungan urusan domestik mereka yang tidak bisa dilepaskan dari keutuhan alam dan lingkungan hidup. *** (EG)

Post Related

Scroll to Top