Seruan Aksi Nyata untuk NTT yang Berkelanjutan dan Berkeadilan
Kupang, NTT – 20 Desember 2024 – Indonesia telah menggelar pesta demokrasi secara serentak di seluruh Indonesia pada akhir November 2024 lalu termasuk Nusa Tenggara Timur. Dari ketiga kandidat pasangan calon kepala daerah, pasangan Emanuel Melkiades Laka Lena dan Johanis Asadoma (Melki – Johni) berhasil meraih suara terbanyak yakni 1.004.055 suara atau 37,33 persen.
Tahun ini Nusa Tenggara Timur menginjak usia yang ke-66 dan merupakan perayaan ulang tahun pertama bagi pasangan Melki-Johni sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih periode 2024 – 2029. Momentum ini sekaligus sebagai refleksi perjalanan politik yang akan dimulai sebentar lagi.
Sebagai pasangan gubernur dan wakil gubernur terpilih, penting untuk menaruh konteks NTT sebagai provinsi yang mengedepankan isu keberlanjutan, terutama pada konteks pangan, konteks wilayah kepulauan, dan inklusi. Kekayaan alam dan budaya NTT selain sebagai anugerah sekaligus menjadi tantangan serius akibat perubahan iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kerentanan pangan. Apalagi NTT merupakan salah satu provinsi kepulauan dengan karakteristik iklim mikro yang berbeda-beda. Berdasarkan Proyeksi Hasil Long Form SP2020 kondisi pertengahan tahun (Juni) 2023, jumlah penduduk NTT usia 15 tahun ke atas yang bekerja mencapai 5,57 juta orang. Dari total ini, sebagian besar masyarakat NTT bekerja di sektor pertanian dan sebagian kecil di sektor kelautan. Sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan menyerap tenaga kerja mencapai 1,42 juta orang (49,06 persen) pekerja dan tertinggi dalam struktur ekonomi Provinsi NTT yaitu sebesar 29,24%.
Selama ini segala aktivitas petani, nelayan disesuaikan dengan keadaan iklim dan kondisi geografis di sekitar mereka. Termasuk sistem pertanian yang dilakukan masyarakat yaitu pertanian lahan kering. Sedangkan untuk nelayan, sebagian besar adalah nelayan artisanal (nelayan tradisional yang memiliki alat tangkap sederhana dan wilayah tangkap di sekitar pesisir pantai) atau yang lebih umum disebut nelayan tradisional. Menurut Adger, et.al (2003), risiko yang terkait dengan perubahan iklim nyata tetapi sangat tidak pasti. Kerentanan masyarakat terhadap risiko yang terkait dengan perubahan iklim dapat memperburuk tantangan sosial dan ekonomi yang sedang berlangsung, khususnya bagi bagian masyarakat yang bergantung pada sumber daya yang sensitif terhadap perubahan iklim. Risiko tampak jelas dalam pertanian, perikanan, dan banyak komponen lain yang merupakan sumber mata pencaharian.
Dampak perubahan iklim seperti kekeringan ekstrim, banjir, dan kenaikan suhu telah mengganggu kehidupan masyarakat, khususnya kelompok rentan. Di sisi lain, masalah struktural inklusi sosial masih menjadi pekerjaan rumah, di mana perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan kelompok minoritas seringkali terpinggirkan dari akses layanan atas hak dan kesempatan.
Laporan Assessment ke 6 IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) tahun 2022, menekankan pada pentingnya adaptasi berkeadilan yang merupakan proses penyesuaian terhadap dampak perubahan iklim dengan memprioritaskan kelompok rentan dan terpinggirkan agar tidak semakin dirugikan. Laporan AR6 menekankan bahwa adaptasi yang efektif dan adil membutuhkan pendekatan yang terintegrasi, inklusif, dan transformatif yang mempertimbangkan kerentanan, ketidaksetaraan, dan keadilan sosial yang diwujudkan dengan mengintegrasikan aspek inklusivitas, kesetaraan, dan partisipasi publik dalam perencanaan, implementasi, dan pemantauan program adaptasi. Namun hingga saat ini, aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim masih bersifat terpisah sehingga berbagai indikator pembangunan belum memasukan dan melihat pentingnya indikator kemampuan adaptif. Padahal jelas bahwa pengurangan kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim juga harus dilihat sebagai isu keadilan iklim dan pembangunan yang berkeadilan iklim (IPCC, 2022).
“Aksi adaptasi dan mitigasi terhadap perubahan iklim berdampak pada masyarakat dan lingkungan. Peristiwa cuaca ekstrem, seperti kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah, serta kebakaran hutan dan lahan, telah mengakibatkan banyak orang kehilangan tempat tinggal, menimbulkan korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, dan masyarakat adat, serta mengganggu perekonomian lokal. Kelompok-kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, perempuan, anak-anak, lansia, masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan, petani kecil, serta nelayan tradisional menghadapi beban yang jauh lebih berat akibat kurangnya kemampuan dan dukungan untuk bertahan” (Torry Kuswardono, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul).
Dalam konteks RPJMD dan visi misi Pemerintah Daerah, adaptasi berkeadilan harus diterjemahkan menjadi isu utama dalam dokumen perencanaan yang mempertimbangkan kerentanan spesifik kelompok marginal (misalnya, masyarakat adat, perempuan, kelompok disabilitas, petani kecil, dan nelayan), NTT sebagai provinsi kepulauan terhadap dampak perubahan iklim, serta memberdayakan mereka melalui peningkatan kapasitas, mampu mengakses terhadap sumber daya, dan penguatan kelembagaan lokal, sehingga kesejahteraan dan ketahanan kelompok marginal terhadap perubahan iklim terjamin selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan. Tidak hanya mengangkat capaian pertumbuhan ekonomi semata tanpa adanya komitmen dan upaya nyata dalam penanganan perubahan iklim yang berkeadilan.
Di sektor ketahanan pangan, prevalensi Ketidakcukupan Pangan di NTT sebesar 13,74%, lebih tinggi dari nasional dan wilayah Nusa Tenggara (Bali dan NTB). Hasil penelusuran kompas.id menyebutkan bahwa NTT mengalami defisit beras yang cukup besar, mencapai 125.390 ton pada triwulan pertama tahun 2024. Pasokan lokal hanya mampu memenuhi 23% dari kebutuhan beras masyarakat. Rata-rata produktivitas padi di NTT hanya 4,15 ton per hektar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan provinsi lain seperti Bali dan Jawa Timur. Artinya bahwa masyarakat NTT masih mengalami ketergantungan beras yang dipasok dari daerah luar NTT dan rata-rata orang NTT mengkonsumsi beras 117,19 Kg beras dalam satu tahun (sumber : kompas.id).
Hasil penelusuran Yayasan PIKUL (2013) dalam pemetaan pangan lokal yang dilakukan di Pulau Timor bagian barat (Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan), Pulau Rote Ndao, Pulau Sabu dan Pulau Lembata menemukan 36 jenis sumber pangan baik berupa serealia (jagung, padi, sorgum, jali, jewawut), umbi umbian (keladi, talas, singkong, ganyong, ubi jalar dan berbagai umbi hutan) serta beragam kacang kacangan. Berbagai jenis pangan lokal tersebut masih dibudidayakan di kebun-kebun, pekarangan, bekas kebun maupun tumbuh liar di hutan dan dirawat alam.
Pangan lokal ini seharusnya dilihat bukan hanya sekedar pemenuhan pangan dan gizi keluarga tetapi juga sebagai warisan leluhur yang adaptif terhadap perubahan iklim. Melky – Johni, dalam Program Prioritas 5 tahun kedepan menyebutkan “hilirisasi hasil pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kelautan” tetapi perlu diingat bahwa hilirisasi tersebut akan menghadapi tantangan perubahan iklim yang mengancam keanekaragaman hayati termasuk ketersediaan pangan lokal. Pangan lokal dapat menjadi opsi ketahanan pangan yang berkelanjutan, sekaligus sebagai alat mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dengan mengandalkan sumber daya pangan lokal, masyarakat menjadi lebih mandiri dan tidak bergantung pada rantai pasok pangan global yang sangat rentan perubahan iklim. Disamping itu, pangan lokal juga mampu memutus atau mengurangi emisi karbon akibat proses pendistribusian yang jauh.
Dalam momentum ulang tahun Provinsi NTT yang ke-66 sekaligus terpilihnya gubernur dan wakil gubernur baru periode 2024/2029, Yayasan PIKUL mendesak pemerintahan gubernur baru untuk mempertimbangkan hal-hal dibawah ini :
- Keadilan Iklim yang Nyata: Untuk mencapai keadilan iklim, penting menjadikan kelompok rentan dan terpinggirkan di daerah yang terdampak perubahan iklim sebagai prioritas, karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi secara mandiri. Pemerintah provinsi harus mengambil langkah-langkah konkret untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, melakukan adaptasi terhadap perubahan iklim, dan melibatkan masyarakat dalam upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Hal ini mencakup peralihan ke energi terbarukan, perlindungan ekosistem penting, dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dampak perubahan iklim.
- Adaptasi Berkeadilan : Adaptasi harus mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan spesifik kelompok rentan, termasuk nelayan tradisional dan perempuan nelayan. Ini mencakup pengakuan terhadap hak-hak dasar mereka seperti hak atas tempat tinggal, keamanan pangan, dan akses ke sumber daya ekonomi. Penyusunan kebijakan dan strategi adaptasi harus inklusif, melibatkan berbagai kelompok rentan dalam setiap tahap dari perencanaan hingga evaluasi. Keterlibatan penuh masyarakat diharapkan dapat meningkatkan efektivitas tindakan adaptasi.
- Adaptasi terhadap Perubahan Ekologis: Memastikan ruang kelola masyarakat yang sangat bergantung pada lingkungan (petani, nelayan) mendapat perlindungan dengan membatasi aktivitas di luar dari aktivitas yang mampu menghancurkan dan membuat mereka semakin rentan. Memastikan bahwa semua pelaku usaha perikanan, petani dapat merasakan kesejahteraan yang berkeadilan. Hal ini mencakup akses yang adil terhadap sumber daya perikanan dan pertanian, serta mendapat manfaat dari kebijakan yang ada.
- Inklusi Sosial yang Komprehensif: Dalam konteks adaptasi berkeadilan, penting untuk melindungi hak-hak perempuan nelayan dan perempuan petani dan perempuan yang beraktivitas/merawat hutan yang seringkali terabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan harus memastikan bahwa perempuan memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang ekonomi yang setara. Pemerintah harus memastikan bahwa semua warga NTT, tanpa diskriminasi, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, keadilan hukum, dan partisipasi politik. Prioritas harus diberikan kepada kelompok rentan untuk mengatasi ketidaksetaraan yang mereka hadapi.
- Ketahanan Pangan Berkelanjutan dan Berdaulat: Pemerintah harus mendukung pertanian berkelanjutan, diversifikasi pangan lokal, dan sistem distribusi yang adil. Yayasan PIKUL mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam mewujudkan sistem pangan yang berdaulat dan berkelanjutan.
“Dengan semangat ulang tahun Provinsi NTT serta Kepemimpinan yang baru, diharapkan para pemimpin memiliki komitmen merumuskan masa depan NTT dalam menghadapi tantangan Ekologis dengan upaya konkret, dan mampu mendorong sejumlah perubahan positif melalui ruang-ruang dialog, keterlibatan masyarakat terutama sekali kelompok rentan dalam pemenuhan hak dan pada akhirnya mampu menciptakan masa depan NTT yang berkelanjutan, adil dan inklusif” tegas Dina Soro, Manager Advokasi dan Kampanye Yayasan PIKUL.
Pemerintahan NTT yang baru tidak boleh melupakan NTT sebagai provinsi kepulauan dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan ancaman nyata krisis iklim di depan mata yang dapat mengancam upaya-upaya untuk mewujudkan visi-misi membangun NTT sesuai dengan semboyan gubernur dan wakil gubernur NTT terpilihPemerintahan NTT yang baru tidak boleh melupakan NTT sebagai provinsi kepulauan dengan kekayaan keanekaragaman hayatinya dan ancaman nyata krisis iklim di depan mata yang dapat mengancam upaya-upaya untuk mewujudkan visi-misi membangun NTT sesuai dengan semboyan gubernur dan wakil gubernur NTT terpilih.
Informasi Tentang Yayasan PIKUL
Yayasan PIKUL adalah organisasi yang bergerak di bidang advokasi dan pendampingan masyarakat marginal di NTT. Fokus utama yayasan adalah isu perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya. Yayasan PIKUL juga aktif dalam isu perubahan iklim dan ketahanan pangan, dengan pendekatan partisipatif dan pemberdayaan masyarakat.
Narahubung :
Dina Soro – Manajer Advokasi dan Kampanye Yayasan Pikul – Dina@pikul.id
Agnes Dau – Community Engagement Yayasan PIKUL – Agnesdau@pikul.id
Elsy Grazia – Media Officer Yayasan PIKUL- Elsy@pikul.id