Apakah Ada Keadilan Iklim di Balik Transisi Energi?

Transisi energi dari fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) tampaknya menyimpan solusi sesat bagi hutan dan masyarakat yang bergantung padanya. Proses ini berisiko mengorbankan jutaan hektare hutan tanpa memberikan manfaat nyata. Proyek-proyek transisi energi yang diberi label “ramah lingkungan” justru menjadi ancaman nyata, seperti pembukaan hutan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) guna memenuhi target bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025 (Sumber: Tempo, “Transisi Energi, Transisi Deforestasi”).

Transisi Energi dan Hutan Tanaman Energi: Harapan atau Ancaman?

Hutan Tanaman Energi (HTE) adalah kawasan hutan yang dikelola untuk menghasilkan bioenergi dari kayu, limbah pertanian, atau kotoran hewan. Pemerintah Indonesia melihat HTE sebagai langkah strategis untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil. Namun, kenyataannya, proyek ini sering mengorbankan ekosistem alami dan masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada hutan.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), lebih dari 4,65 juta hektare hutan telah dialihfungsikan menjadi HTE, dengan angka yang terus bertambah karena izin-izin baru yang diterbitkan. Dampak alih fungsi ini meliputi degradasi ekosistem, konflik agraria, dan kerugian sosial. 

Statistik deforestasi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sebagai berikut:

Tahun Luas Hektare (Ha)
2018 – 2019 462.458,5 Ha
2019 – 2020 115.459,8 Ha
2020 – 2021 120,705,8 Ha
2021 – 2022 104,032,5 Ha

(Sumber: BPS, “Angka Deforestasi (Netto) Indonesia di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2013-2022”)

Meski trennya menurun, kerusakan hutan tetap signifikan. Selain itu, masyarakat adat di berbagai daerah semakin kehilangan ruang hidup mereka. Di Jambi, misalnya, ekspansi HTE meminggirkan suku Anak Dalam yang semakin kesulitan mengakses tanah adat mereka (Sumber: Mongabay, “Nestapa Suku Anak Dalam di Tanah Menang”).

Kontroversi Kasus Hutan Tanaman Energi

Menurut Ketua Lingkaran Advokasi dan Riset (Link-AR), Borneo Ahmad Syukri, “Pembangunan HTE untuk biomassa kayu sebagai upaya transisi energi menimbulkan berbagai efek negatif.” Ia menambahkan bahwa pengembangan biomassa berbasis HTE dapat mempercepat deforestasi, memicu konflik lahan, dan perampasan tanah masyarakat adat (Sumber: Kompas, “Perluasan Hutan Tanaman Energi Dinilai Percepat Deforestasi di Kalimantan Barat”).

Contoh kasus nyata termasuk proyek PT Hijau Artha Nusa (HAN) di Desa Nalo Gedang, Jambi, yang menyebabkan konflik agraria dengan masyarakat lokal (Sumber: Kilas Jambi, “Jejak Kotor di Lahan Konsesi Investasi Hijau”). Hal serupa terjadi di Bangka Belitung, di mana 2.758 hektare hutan hilang selama 2017-2021 karena alih fungsi lahan untuk tanaman energi (Sumber: Betahita, “Kebun Energi Ancam Hutan Bangka Belitung”).

Di Kalimantan Barat, pemerintah mendorong pembangunan pembangkit listrik tenaga biomassa (PLTBm) sesuai Peraturan Presiden No.22 Tahun 2017. Akibatnya, 56.372 hektare hutan alam di tujuh konsesi HTE terancam hilang (Sumber: Mongabay, “Energi Biomassa Ancam Hutan Kalimantan Barat”).

Keadilan Iklim Bagi Transisi Energi di Indonesia

Indonesia berkomitmen dalam Paris Agreement 2015 untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 41% pada 2030. Namun, pembukaan lahan skala besar untuk proyek-proyek transisi energi justru berisiko melanggar komitmen tersebut. Pada Juni 2024, 32 organisasi masyarakat sipil mengajukan surat terbuka kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), menekankan pentingnya transisi energi yang adil dan tidak mengorbankan hutan serta masyarakat adat (Sumber: PIKUL, “Surat Terbuka: Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Berpartisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia, Second NDC”).

Dalam dokumen Second Nationally Determined Contribution (SNDC), Indonesia menempatkan masyarakat adat sebagai subjek utama dalam pengendalian krisis iklim. Hal ini mencakup pengakuan hukum atas tanah adat dan pendekatan lanskap berkelanjutan untuk mengintegrasikan resiliensi sosial, ekonomi, dan ekosistem (Sumber: PIKUL, “Rekomendasi Second NDC Berkeadilan, 27 Agustus 2024”).

Kondisi di Nusa Tenggara Timur (NTT)

Masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur (NTT) menghadapi tantangan besar akibat perampasan lahan oleh pemerintah, khususnya terkait alih fungsi Hutan Adat menjadi Hutan Tanaman Energi (HTE). Salah satu konflik utama terjadi di kawasan Hutan Pubabu-Besipae yang melibatkan masyarakat adat Pubabu-Besipae, Kot’Olin, dan Pemerintah Provinsi NTT (Sumber: Wawancara Yuven Nonga, WALHI NTT).

Kehidupan dan Tradisi yang Terancam

Perampasan Hutan Adat Pubabu tidak hanya menghilangkan mata pencaharian utama masyarakat adat, tetapi juga mengancam budaya dan tradisi mereka yang erat kaitannya dengan pengelolaan hutan. Masyarakat tetap berjuang mempertahankan hak atas tanah adat meskipun pemerintah mengklaim bahwa lahan tersebut telah diserahkan oleh tetua adat pada 1985 (Sumber: Betahita, “Konflik Panjang Masyarakat Adat Pubabu-Besipae dan Pemerintah NTT”).

Hutan Tanaman Energi di Tanah Konflik

Pada tahun 2022, Pemerintah Provinsi NTT, dipimpin oleh Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat, menggagas penanaman pohon Lamtoro Teramba dan Kaliandra di kawasan konflik Besipae dan Kot’Olin. Program ini melibatkan masyarakat dari empat desa, empat sekolah, dan berbagai institusi, termasuk Universitas Nusa Cendana, PLN, serta PT Bio Energi. Selain itu, pemerintah menyerahkan 25 ekor sapi, mesin pencacah kayu, dan 40.000 anakan Lamtoro serta Kaliandra untuk mendukung produksi biomassa (Sumber: RRI NTT, “Pemprov NTT, Jadikan Besipae Sebagai Hutan Energi dan Peternakan Rakyat”).

Ironisnya, program ini dilakukan di atas tanah yang masih berstatus sengketa, memperburuk ketegangan dengan masyarakat adat yang masih memperjuangkan hak mereka atas Hutan Pubabu. 

Hutan Pubabu, juga dikenal sebagai Hutan Kio atau Hutan Besipae, merupakan hutan adat yang dikelola masyarakat dari Desa Oe Ekam, Desa Mio, Desa Polo, dan Desa Linamnutu. Masyarakat adat menjaga kelestarian hutan melalui pengelolaan berbasis musyawarah, termasuk membatasi aktivitas seperti perburuan binatang liar (Sumber: Wawancara Yuven Nonga, WALHI NTT).

Permasalahan mulai muncul sejak 1982 ketika pemerintah memberikan izin kepada pihak Australia untuk mengembangkan proyek peternakan di kawasan tersebut. Namun, proyek ini hanya bertahan hingga 1987 karena lahan tidak mencukupi untuk pengelolaan peternakan terpadu. Setelah proyek berakhir, pemerintah tetap menguasai lahan masyarakat, termasuk kawasan Hutan Pubabu (Sumber: Koran Timor, “Hutan Besipae: Konflik Tanah, Pembangunan, dan Perjuangan Perempuan NTT yang Tak Kunjung Usai”).

Pemerintah melanjutkan pengelolaan melalui berbagai program, seperti Gerakan Rehabilitasi Hutan Nasional (GERHAN) oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Namun, program ini justru menyebabkan kerusakan hutan seluas 1.050 hektare akibat pembabatan untuk penanaman Hutan Tanaman Industri (HTI) dengan kayu monokultur (Sumber: Wawancara Yuven Nonga, WALHI NTT). Situasi ini memicu ketegangan antara pemerintah dan masyarakat adat Besipae.

Dalam rekomendasi Second NDC Masyarakat Sipil Indonesia terkait transisi energi berkeadilan menekankan pengalihan investasi ke energi terbarukan yang terdesentralisasi dan demokratis. Pendekatan lanskap diusulkan untuk memastikan sistem energi terintegrasi dengan ekosistem, meminimalkan dampak sosial dan lingkungan, serta mendukung pengelolaan air dan tanah yang berkelanjutan. 

Second NDC (Second Nationally Determined Contribution) adalah dokumen komitmen nasional yang diajukan oleh suatu negara kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai bagian dari implementasi Paris Agreement. Dokumen ini memuat target, strategi, dan rencana aksi suatu negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan beradaptasi terhadap perubahan iklim. 

Keadilan bagi masyarakat terdampak menjadi prioritas melalui penyediaan pelatihan, jaringan pengaman sosial, serta evaluasi dampak dan pemberian kompensasi serta rehabilitasi. Selain itu, rekomendasi ini juga menyoroti pentingnya keterlibatan perempuan, kelompok muda, dan penyandang disabilitas dalam proses transisi, serta memastikan akses energi terjangkau bagi masyarakat miskin dan rentan melalui subsidi dan proyek berbasis komunitas (Sumber: PIKUL, “Rekomendasi Second NDC Berkeadilan, 27 Agustus 2024”).

Transisi energi adalah langkah penting dalam mengatasi krisis iklim, tetapi harus dilakukan secara adil dan berkelanjutan. Perlindungan hutan, pengakuan hak masyarakat adat, dan pengelolaan yang inklusif adalah syarat utama untuk mencapai tujuan tersebut. Jadi bagaimana? Apakah Ada Keadilan Iklim di Balik Transisi Energi?

Penulis: Vania Daniela Bunga

Sumber: 

  1. Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Angka Deforestasi (Netto) Indonesia di Dalam dan di Luar Kawasan Hutan Tahun 2013-2022. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://www.bps.go.id/
  2. Betahita. (2023). Kebun Energi Ancam Hutan Bangka Belitung. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://www.betahita.id/.
  3. Dewan Energi Nasional. (2024). Transisi Energi Berkeadilan di Indonesia. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://den.go.id/.
  4. Forest Watch Indonesia (FWI). (2023). Data tentang Hutan Tanaman Energi. Diakses pada 7 Januari 2025, dari https://fwi.or.id/.
  5. Kilas Jambi. (2023). Jejak Kotor di Lahan Konsesi Investasi Hijau. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.kilasjambi.com/.
  6. Kompas. (2023). Perluasan Hutan Tanaman Energi Dinilai Percepat Deforestasi di Kalimantan Barat. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.kompas.id/.
  7. Koran Timor. (2023). Hutan Besipae: Konflik Tanah, Pembangunan, dan Perjuangan Perempuan NTT yang Tak Kunjung Usai. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.korantimor.co.id/.
  8. Mongabay Indonesia. (2023). Nestapa Suku Anak Dalam di Tanah Menang. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.mongabay.co.id
  9. RRI. (2023). Peran Energi Terbarukan dalam Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia. Diakses pada 15 Januari 2025, dari https://rri.co.id/.
  10. PIKUL. (2024). Surat Terbuka: Lindungi Rakyat Indonesia Hari Ini dan Esok: Pastikan Berpartisipasi Bermakna dalam Penyusunan Komitmen Iklim Indonesia (Second NDC). Diakses pada 15 Januari 2025, dari https://pikul.or.id/.
  11. Tempo. (2023). Transisi Energi, Transisi Deforestasi. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.tempo.co/
  12. Victory News. (2023). Tegas Tolak Proyek Geothermal di Wilayah Keuskupan Agung Ende. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.victorynews.id/.
  13. WALHI. (2023). Geothermal di Indonesia: Dilema Potensi dan Eksploitasi. Diakses pada 13 Januari 2025, dari https://www.walhi.or.id/.
  14. Wawancara dengan Yuven Nonga, WALHI NTT. (2025). Diskusi tentang Hutan Tanaman Energi, Pubabu dan Kot’Olin, Wawancara Tatap Muka Dilakukan pada 14 Januari 2025.

Post Related

Scroll to Top