Melawan Luka, Menantang Budaya, Merayakan Perlawanan 

Setiap kali tanggal 8 Maret tiba, dunia bergema dengan seruan merayakan perempuan. Bunga dibagikan, slogan disebar, seminar digelar. Namun, saya selalu bertanya, apa yang benar-benar kita rayakan? Apakah kita merayakan perempuan yang masih harus bertahan di dunia yang menindasnya? Atau kita sekadar menenangkan nurani dengan perayaan yang menutupi kenyataan pahit bahwa tubuh perempuan masih diperlakukan sebagai medan kekuasaan dan kontrol?

Bagi saya, Hari Perempuan Internasional bukan soal perayaan, melainkan soal perlawanan. Ia bukan tentang menebar harapan kosong, melainkan tentang membongkar luka-luka yang selama ini dikubur dalam-dalam, tentang membongkar kekerasan yang disembunyikan oleh adat, agama, dan moralitas. Hari Perempuan Internasional adalah hari untuk menatap luka yang belum sembuh, menantang sistem yang melanggengkan ketidakadilan, dan bertanya dengan tajam: siapa yang diuntungkan dari diamnya kita?

Di Nusa Tenggara Timur, di tanah kelahiran saya, perempuan hidup dalam lapisan luka yang diwariskan. Luka yang bukan hanya diakibatkan oleh tangan-tangan kekerasan, tetapi juga oleh budaya yang membungkam dan agama yang kerap gagal berdiri di pihak korban. Tahun 2023, lebih dari seribu kasus kekerasan terhadap perempuan tercatat di NTT. Tapi data itu tak pernah cukup untuk menunjukkan betapa dalam luka yang harus dipikul oleh para perempuan yang memilih diam. Diam karena takut. Diam karena tahu bahwa ketika mereka bersuara, yang akan dilawan bukan hanya pelaku, tapi juga sistem yang melindungi pelaku dengan dalih budaya dan adat.

Ambil contoh belis, sebuah tradisi yang sering dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap perempuan. Namun, dalam banyak kasus, belis justru menjadi penjara. Perempuan yang sudah “dibayar” dengan belis dianggap sebagai milik, dan kekerasan terhadapnya dimaklumi sebagai “urusan rumah tangga.” Ketika perempuan mengalami kekerasan, mereka sulit keluar dari relasi yang membelenggu, karena belis bukan hanya soal ekonomi, tapi juga soal harga diri keluarga. Menolak suami bisa berarti mencoreng harga diri keluarga besar, menolak budaya bisa berarti dianggap durhaka terhadap leluhur. Dalam konteks ini, budaya bukan sekadar warisan leluhur, tapi alat penindasan yang melanggengkan kekuasaan atas tubuh perempuan. Dan kita harus berani bertanya: sampai kapan budaya digunakan untuk membenarkan luka? Sampai kapan budaya digunakan untuk membungkam ketidakadilan?

Bukan hanya budaya yang harus dikritik. Agama juga sering berdiri di pihak yang salah. Dalam banyak kasus kekerasan, agama hadir bukan untuk membela korban, tetapi untuk memaksakan perdamaian semu. Berapa banyak perempuan yang didorong untuk “mengampuni” demi menjaga harmoni keluarga, sementara luka mereka diabaikan? Berapa banyak gereja yang memilih diam ketika tahu ada jemaat yang disakiti oleh pasangannya? Narasi keagamaan yang sering kali menekankan tentang kesetiaan dan ketaatan dalam pernikahan, tak jarang menjadi senjata untuk menekan perempuan agar bertahan dalam relasi yang merusak. Perempuan diajarkan untuk menerima, untuk bersabar, untuk percaya bahwa penderitaan adalah bagian dari panggilan iman. Tapi di mana letak keadilan dalam teologi seperti ini? Di mana Allah ketika perempuan dilukai oleh tangan yang seharusnya melindungi? Jika agama tidak bisa berpihak pada korban, maka agama itu gagal menjadi jalan keadilan. Jika budaya tidak mampu menghormati kemanusiaan perempuan, maka budaya itu harus dikritik habis-habisan.

Kita sering bicara tentang perlindungan perempuan. Tapi mari bertanya dengan lebih kritis: perlindungan seperti apa yang kita maksud? Apakah perlindungan yang membungkam perempuan agar tetap tinggal dalam relasi yang merusak? Apakah perlindungan yang mendikte perempuan tentang bagaimana mereka harus berpakaian, berbicara, atau bertindak? Perlindungan macam apa yang mencabut kebebasan perempuan untuk menentukan nasibnya sendiri? Perempuan tidak butuh perlindungan yang memenjarakan. Perempuan butuh ruang aman yang memberdayakan mereka untuk bersuara, membuat pilihan, dan berani melawan ketidakadilan. Karena perlindungan tanpa kebebasan hanyalah bentuk lain dari penindasan. Dan kebebasan tanpa keadilan adalah ilusi.

Jika Hari Perempuan Internasional adalah soal perayaan, maka kita harus bertanya: apa yang kita rayakan? Apakah kita merayakan ketabahan perempuan yang dipaksa bertahan dalam relasi yang membunuh jiwa mereka? Apakah kita merayakan kemampuan perempuan untuk terus tersenyum di balik luka yang disangkal? Atau kita sebenarnya merayakan keberhasilan sistem yang berhasil menormalkan ketidakadilan? Bagi saya, Hari Perempuan Internasional bukan soal selebrasi, tapi soal konfrontasi. Ini adalah hari untuk menggugat sistem yang menindas, untuk membongkar budaya yang mengekang, untuk menantang teologi yang membungkam. Ini adalah hari untuk mengingat bahwa tubuh perempuan bukan milik siapa pun selain dirinya sendiri. Bahwa suara perempuan tidak boleh diredam oleh rasa malu atau takut. Bahwa setiap perempuan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri, bebas dari tekanan budaya, agama, atau moralitas yang sempit.

Hari ini, jika ada yang bertanya, apa yang bisa kita lakukan untuk memperingati Hari Perempuan Internasional? Jawaban saya sederhana: lawan. Lawan kekerasan. Lawan budaya yang membungkam. Lawan agama yang gagal berpihak pada korban. Lawan segala bentuk ketidakadilan yang merampas kemanusiaan perempuan. Karena perlawanan adalah bentuk cinta yang paling murni. Cinta terhadap sesama perempuan yang masih berjuang dalam diam. Cinta terhadap diri sendiri yang menolak tunduk pada penindasan. Dan cinta terhadap dunia yang kita harapkan bisa lebih adil dan manusiawi.

Kontributor: Sherly Leneng

Email: kaka.leneng@gmail.com

Post Related

Scroll to Top